Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Haryo Kuncoro
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persis 30 hari setelah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan akhirnya disahkan pemerintah. Omnibus law sektor keuangan ini memuat sejumlah ketentuan anyar terhadap empat otoritas finansial, yakni Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan fundamental yang sangat signifikan tampaknya juga berlaku pada kiprah OJK. Otoritas mikroprudensial di Tanah Air itu pada awalnya diplot sebagai lembaga independen yang diberi mandat untuk menjalankan fungsi pengaturan, pengawasan, dan pelindungan terhadap pelaku sektor keuangan. Untuk melaksanakan ketiga fungsi itu, OJK diberi kewenangan untuk menarik biaya dari lembaga jasa keuangan sebagai iuran tahunan. Secara yuridis, iuran ini didasarkan pada Undang-Undang OJK, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK, dan Peraturan OJK Nomor 3/POJK.02/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK.
Persoalan mendasar yang sering muncul sebelumnya adalah perihal kredibilitas. Bagaimana OJK mampu melakukan fungsi regulasi, supervisi, dan proteksi secara profesional jika lembaga jasa keuangan yang diatur itu sekaligus adalah “penyandang dana” OJK.
Setelah omnibus law keuangan diberlakukan, “penyandang dana” tadi masih tetap harus membayar iuran. Ia dibayarkan kepada pemerintah (Kementerian Keuangan), alih-alih kepada OJK, sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). OJK lantas menarik dana tersebut untuk kegiatannya.
Sampai di titik ini, kredibilitas regulasi OJK bisa “diselamatkan”. OJK nantinya tidak akan terbebani oleh perasaan sungkan terhadap institusi keuangan yang diawasinya. Artinya, kalau terjadi apa-apa, OJK tetap mampu bersikap obyektif dengan mengutamakan pelindungan kepada semua pemangku kepentingan.
Harapan tersebut tidak mengada-ada. Apalagi jumlah komisioner OJK diperluas, dari sembilan menjadi 11 orang. Area kerja tertentu yang acap kali menjadi asal sumber persoalan di industri keuangan dipecah. Setiap pecahan area kerja yang lebih spesifik dikepalai oleh komisioner, sehingga memperkuat pelaksanaan tugas OJK.
Kalaupun skenario di atas kesampaian, persoalan belum berakhir. Penarikan dana dari bendahara negara secara implisit memposisikan OJK secara finansial tidak lagi independen. Artinya, OJK independen terhadap lembaga jasa keuangan, tapi punya ketergantungan finansial pada Kementerian Keuangan.
Lagi-lagi, kredibilitas OJK akan diperdebatkan, terutama jika menyangkut kinerja lembaga jasa keuangan yang berstatus badan usaha milik negara (BUMN). OJK niscaya akan menghadapi benturan kepentingan dengan Kementerian Keuangan sebagai pemegang saham mayoritas lembaga jasa keuangan “pelat merah”.
Kemiripan cerita juga akan berlaku dalam hubungannya dengan Kementerian BUMN. Arah kebijakan umum lembaga jasa keuangan BUMN digariskan oleh Kementerian BUMN. Benturan kepentingan terjadi ketika strategi BUMN bersinggungan dengan kebijakan OJK. Walhasil, OJK akan dititipi “pesan” lembaga jasa keuangan BUMN lewat Kementerian BUMN.
Pembentukan Badan Supervisi OJK, layaknya Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), agaknya tidak sampai menyasar ke masalah semacam ini. Badan Supervisi OJK, toh, hanya sebatas mengawasi tata kelola internal OJK, alih-alih persoalan vertikal dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN.
Dengan demikian, omnibus law keuangan ternyata belum sepenuhnya menghadirkan solusi yang komprehensif bagi semua persoalan yang muncul di sektor keuangan. Beberapa solusi yang ditawarkan regulasi itu untuk menanggulangi persoalan di satu aspek malah berpotensi menimbulkan persoalan baru di aspek yang lain.
Kedudukan OJK perlu dikembalikan ke jati dirinya. Tugas pokok dan fungsi OJK sebelumnya diemban oleh BI. Bila BI sejak awal independen secara finansial, OJK akan tetap dibiayai PNBP hasil iuran.
Output dari independensi BI secara finansial bisa dilihat. Sejak Undang-Undang Bank Sentral disahkan pada 1999, kebijakan BI dipercaya pasar. Krisis keuangan global pada 2008 menjadi bukti efektivitas kebijakan BI dalam mengawal stabilitas pasar keuangan. Bahkan, pada masa pandemi Covid-19, kemandirian finansial BI mampu turut membiayai skema berbagi beban (burden sharing).
Karena itu, sudah sepatutnya OJK juga diberi kemandirian finansial. Mengacu pada BI, OJK sebagai institusi independen perlu memiliki cadangan yang bisa dikelola demi kemandirian finansial, sehingga kebijakannya kredibel. Tanpa independensi finansial, hari-hari OJK senantiasa akan berhadapan dengan ujian kredibilitas.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo