Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Enrico Simanjuntak
Mahasiswa Program Doktor Hukum Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Pemerintah akan segera mengajukan dua rancangan omnibus law terkait dengan penciptaan lapangan kerja dan perpajakan. Satu di antara 12 kluster cakupan omnibus law itu adalah bidang administrasi pemerintahan. Kluster ini akan berkaitan langsung dengan kluster lain, yaitu bidang penyederhanaan perizinan dan persyaratan investasi. Dengan kata lain, substansi yang saat ini diatur melalui Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menjadi semacam undang-undang payung (umbrella act) akan disesuaikan mengikuti pragmatisme omnibus law.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Idealnya, perubahan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tidak semata-mata didasari valuasi ekonomi sub-sektor tertentu yang sifatnya pragmatis-parsial, melainkan analisis diagnostik yang mendalam dan komprehensif untuk membenahi kualitas administrasi pemerintahan secara total dan menyeluruh. Seyogianya bidang administrasi pemerintahan menjadi omnibus law tersendiri, bukan subordinasi bidang lain. Dalam konteks ini, tepatlah usul Fraksi NasDem di Dewan Perwakilan Rakyat yang mengajukan rancangan Undang-Undang Hukum Administrasi Umum dengan pendekatan omnibus law dalam Program Legislasi Nasional 2020.
Hukum administrasi umum biasa disebut general procedure administrative act (GAPA) (Jean-Bernard Auby, 2014). Ini menyangkut jantung dari aturan dasar bagaimana pemerintah bekerja mengurus kepentingan publik. Hukum administrasi penting untuk mengatur setiap tindak-tanduk aparat pemerintah agar sesuai dengan prinsip negara hukum dengan penekanan pada prosedur administrasi, yakni bagaimana dasar dan cara aparat pemerintah bekerja. Di Jerman dikenal istilah hukum administrasi adalah konkretisasi hukum konstitusi.
Pemerintah Federal Jerman, melalui GTZ, lembaga kerja sama teknis milik pemerintah, dulu sangat intens membantu penyusunan draf awal rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang bekerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kendati dilakukan sejak 2004, pembahasan akhirnya seperti antiklimaks yang tidak pada waktunya. Proses finalisasi rumusannya cenderung terburu-buru dengan disahkan pada 17 Oktober 2014, beberapa saat sebelum masa kerja anggota DPR 2009-2014 berakhir.
Setelah itu tersisa persoalan: meskipun undang-undang itu memiliki visi besar sebagai undang-undang payung, di sana-sini isinya terlampau minimalis dan terbatas, tidak sesuai dengan ambisinya. Ambil contoh isu perizinan (dispensasi dan/atau konsesi) yang hanya diatur batas waktu penerbitannya, yakni paling lama 10 hari, jika tidak ditentukan lain oleh peraturan berbeda. Apakah perizinan menganut rezim terintegrasi atau terfragmentasi tidak diatur sama sekali.
Pentingnya orientasi pilihan seperti itu kemudian justru "dikudeta" secara parsial oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS). Ini pada akhirnya merendahkan berbagai peraturan setingkat undang-undang di atasnya.
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, sebagai lex generalis, memang seharusnya lebih dulu dibuat atau,-jika tidak demikian,-kehadirannya harus mampu memaksa berbagai undang-undang sektoral (lex specialis) atau produk legislasi lain yang berkaitan dengannya untuk tetap seirama dan senapas dengan maksud dan tujuannya, yakni sebagai landasan dasar setiap keputusan/tindakan administrasi pemerintahan.
Usul pembuatan omnibus law di bidang hukum administrasi (umum) atau terkait dengan bidang ini, selain sebagai kesempatan merapikan berbagai peraturan yang tumpang-tindih dan mengandung konflik, dapat digunakan sebagai momentum revitalisasi kitab Undang-Undang Hukum Administrasi Umum yang sekarang, yakni Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Tantangan terbesar kebijakan omnibus law kemudian adalah bagaimana mengidentifikasi dan mengharmoniskan kompleksitas berbagai undang-undang sektoral yang kurang selaras (misalnya Undang-Undang Pelayanan Publik, Undang-Undang Ombudsman, dsb) atau tidak koheren dengan undang-undang induk.
Ini belum termasuk bagaimana memposisikan relevansi aneka produk hukum lain terkait atau tidak dengan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan. Contohnya, dalam skala tertentu, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan merupakan hukum material bagi Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Terkait tapi terpisah. Kategori legislasi dan regulasi seperti ini tersebar luas dan membentuk irisan dan/atau himpunan legal matriks dalam spektrum multi-universe.
Pendek kata, pemetaan belantara legislasi dan regulasi seperti itu tentu tidak akan mudah dilakukan dan secara singkat dapat dilaksanakan. Apalagi berbagai pemangku kepentingan terkait harus dilibatkan, seperti akademikus, praktisi, dan masyarakat sipil. Kisah sukses harmonisasi secara bertahap dan berkelanjutan adalah Algemene wet bestuursrecht atau Undang-Undang Hukum Administrasi Umum di Belanda pada 1998 dan 2009. Ini merupakan inspirasi dalam menyiasati kebutuhan konsistensi dengan kelenturan suatu undang-undang.