Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kekhawatiran Setelah UU Kesehatan Disahkan

UU Kesehatan disahkan di tengah hujan protes dari asosiasi dokter dan tenaga medis. Bisa menambah komersialisasi kesehatan.

13 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bak Metro Mini kejar setoran, DPR dan pemerintah ngebut menyelesaikan omnibus law kesehatan. Alih-alih mendengar kritik dan masukan publik—terutama dari asosiasi dokter dan tenaga kesehatan—dua hari lalu, DPR malah cepat-cepat mengesahkan Undang-Undang Kesehatan. Wajar jika ada pihak yang ragu akan prosedur pengesahan aturan ini dan berencana menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejumlah pasal dalam UU Kesehatan sampai kini masih menjadi kontroversi di masyarakat. Salah satu yang ramai jadi sorotan adalah penghapusan alokasi anggaran wajib atau “mandatory spending” untuk bidang kesehatan. Pasal 171 ayat (1) dan (2) dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pemerintah mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk berbagai program peningkatan kualitas layanan kesehatan. Sekarang pasal itu dihapuskan untuk memberi ruang fiskal lebih luas kepada pemerintah. Gara-gara hilangnya pasal “mandatory spending”, Fraksi Demokrat dan Fraksi Keadilan Sejahtera menolak pengesahan aturan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kementerian Kesehatan memang menjamin alokasi anggaran kesehatan tidak akan berkurang. Namun, praktiknya di lapangan masih perlu ditunggu. Tak adanya keharusan bagi pemerintah daerah menyediakan anggaran untuk menutup biaya layanan rumah sakit atau menjalankan puskesmas pasti bakal berdampak pada kualitas dan biaya layanan kesehatan yang dinikmati publik. Akibat langsung dari hilangnya “mandatory spending” pada pencapaian indikator kunci kondisi kesehatan kita perlu ditelaah di lapangan. Jika dampaknya buruk, pemerintah harus berbesar hati mengoreksi kebijakannya yang keliru.

Soal lain yang juga banyak dikritik dari omnibus law kesehatan ini adalah pasal-pasal yang membuka ruang lebih besar bagi komersialisasi layanan kesehatan di Indonesia. Ini, salah satunya, tecermin dari perubahan struktur dan kewenangan Konsil Kedokteran Indonesia. Konsil—yang semula merupakan badan independen dan otonom—yang bertugas menerbitkan surat registrasi dokter dan menetapkan standar kompetensi dokter, kini berada di bawah Menteri Kesehatan. Walhasil, pemerintah bisa membuka jalan untuk mendatangkan dokter asing atau dokter Indonesia yang lulusan universitas di luar negeri.

Peran Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam memberikan rekomendasi bagi penerbitan surat izin praktik bagi para dokter juga dihapuskan. Bahkan, kini surat tanda registrasi dokter berlaku seumur hidup dan tidak lagi perlu diperpanjang setiap lima tahun. Lebih jauh lagi, kewajiban para dokter untuk bergabung dalam organisasi profesi juga dihapuskan. Dokter tak harus lagi jadi anggota IDI.

Dalam UU Kesehatan yang baru ini, peran asosiasi profesi untuk dokter dan tenaga medis lainnya memang benar-benar dikerdilkan, bahkan dihilangkan sama sekali. Ini bisa membuka jalan terjadinya insiden malapraktik yang meluas, atau minimal, menurunnya kompetensi dokter yang tak lagi harus diuji setiap lima tahun. Tanpa rekomendasi organisasi profesi dalam menerbitkan lisensi praktik dokter, tak ada lagi mekanisme pengaturan sendiri (self regulatory) di profesi kedokteran di Indonesia. Padahal, di semua profesi, pasti ada aturan semacam ini agar hanya kolega di profesi yang sama yang bisa memeriksa dugaan pelanggaran rekannya. Hal ini penting untuk memastikan tidak ada unsur kekuasaan atau subyektivitas personal dalam menjaga standar kompetensi dan etika di dalam suatu profesi.

Kementerian Kesehatan meyakini IDI dan asosiasi tenaga medis lainnya selama ini justru membatasi pertumbuhan jumlah dokter dan mempersulit pendidikan dokter spesialis yang sangat dibutuhkan masyarakat. Namun, menghilangkan sama sekali peran mereka bisa menimbulkan masalah baru. Perlu ada titik temu yang menyeimbangkan kebutuhan organisasi profesi menjaga standar kompetensi dan etik dengan kebutuhan pemerintah menyediakan dokter yang cukup untuk melayani seluruh warga Indonesia. Jangan sampai omnibus law kesehatan ini hanya melayani kepentingan segelintir orang dan melalaikan kepentingan publik yang lebih besar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus