Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Ontran-Ontran Demo krasi Bumi Ronggolawe

15 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hotman M. Siahaan

  • Guru Besar Sosiologi pada FISIP Universitas Airlangga

    TUBAN, kabupaten di pantai utara Jawa Timur, 6 Mei lalu, dilanda kerusuhan dan amuk massa ketika hasil perhitungan suara sementara pemilihan kepala daerah menunjukkan kemenangan angka tipis untuk Haeny Relawati–Lilik Soehardjono, mengalahkan pasangan Noor Nahar Hussein-Go Tjong Ping. Amuk massa membakar kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten, pendapa kabupaten, kantor Dewan Pimpinan Daerah Golkar, bahkan harta milik pribadi keluarga Haeny berupa hotel, rumah pribadi, gudang perusahaan, juga merusak beberapa pompa bensin milik suami Haeny, pengusaha kaya di Tuban.

    Inilah kerusuhan pemilihan kepala daerah pertama di Jawa Timur. Provinsi ini sudah menyelenggarakan 18 pemilihan secara langsung, bupati maupun wali kota, dengan- aman, mulus, tanpa gejolak. Lalu kenapa Tuban geger? Apakah karena rakyat Bumi Ronggolawe tidak siap berdemokrasi?

    Kalau penyebabnya akibat kecurangan, manipulasi suara, atau money politics sekalipun, mengapa amuk harus terjadi? Mengapa bukan cuma kantor KPU kabupaten atau pendapa kabupaten yang dibakar massa? Mengapa amuk juga ditujukan pada hotel, rumah, gudang perusahaan, bahkan pompa bensin yang menjadi aset pribadi keluarga Haeny? Bukankah itu bisa jadi alat untuk memahami akar kekerasan politik itu sendiri?

    Tuban adalah legenda ontran-ontran. Pramoedya Ananta- Toer dalam karyanya, Arus Balik, menulis bahwa sejak zaman-zaman yang tidak dapat diingat lagi Tuban terlalu sering dihembalang bencana perang dan kerusuhan. -Namun buminya tak juga jenuh tersiram darah putra dan putrinya, juga darah musuh-musuhnya yang datang menyerbu. Tuban pernah disapu bersih oleh balatentara Kubilai Khan pada abad ke-12.

    Tuban adalah simbol kultur perlawanan, bahkan sejak -zaman Majapahit. Bukankah penguasa Tuban pada awal abad ke-14, Adipati Ronggolawe, salah seorang pendiri Maja-pahit, yang kemudian malah menentang penguasa tertinggi raja Majapahit pertama Sri Baginda Kertarajasa? Balatentara Kertarajasa lalu menyerbu Tuban dan membinasakan kota itu, termasuk Ronggolawe.

    Kegagahan Adipati Ronggolawe adalah simbol kultur perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan pusat sekalipun. -Itulah kultur perlawanan Tuban, yang boleh jadi masih tersisa, ketika menyikapi hasil pemilihan kepala daerah antara dua kubu, di tengah perubahan sosial yang melanda Tuban akibat industrialisasi, termasuk pabrik semen raksasa yang sejak Orde Baru hingga kini masih menyisakan ber-bagai masalah konflik pertanahan dengan rakyat.

    Tuban yang pernah begitu penting posisi ekonomi politik-nya pada masa lalu memang bukanlah Tuban yang sekarang ini. Wajah beberapa desa di wilayah ini saat ini penuh kubangan galian tanah untuk industri semen. Di mana-mana tampak bukit tandus. Tambaknya tidak lagi meningkatkan ekonomi rakyat. Industrialisasi di Tuban boleh jadi tidak menyejahterakan para kawula alit: pusat ekonomi nela-yan konon dikendalikan oknum tertentu, rute angkutan dan transportasi umum kota konon pula direkayasa sedemikian rupa untuk melewati pompa bensin milik pengusaha ter-tentu. Sebagian cerita itu mungkin cuma isu politik yang tidak berdasar, namun bukan mustahil sebagian lagi konon benar adanya.

    Itulah Tuban, yang tidak seperti dalam 17 pemilihan daerah lain di Jawa Timur. Di kota itu pemilihan rakyat secara langsung cuma melibatkan dua pasangan calon, sekalipun dengan usungan koalisi beberapa partai politik. Posisi head to head sedemikian itu sejak dini potensial membelah pendukung dan simpatisan secara bipolar. Haeny Relawati-Lilik Soehardjono (HeLi), incumbent (yang sedang memegang jabatan bupati) yang diusung Partai Golkar, versus Noor Nahar Hussein-Go Tjong Ping (NonsTop) yang diusung -koalisi PKB-PDIP.

    Proses pencalonan juga ditandai berbagai isu yang me-micu gejolak. Salah satu calon dituduh menggunakan ijazah palsu, yang oleh simpatisannya dinilai sebagai pembunuhan karakter oleh pihak lawan yang kebetulan berkuasa. Bahkan proses legalisasi ijazah calon bersangkutan baru ber-hasil melalui demonstrasi para pendukungnya ke Kantor Dinas Pendidikan Nasional setempat. Kasus itu sendiri konon membawa korban nyawa.

    Demokrasi ternyata bukan mesin otomatis begitu prinsip-prinsip dan prosedurnya disisipkan. Suatu masyarakat demokratis juga membutuhkan komitmen untuk mene-rima, konflik tidak dapat dihindarkan dan toleransi diperlukan. Banyak konflik dalam masyarakat demokratis bukan antara- pihak yang jelas-jelas salah atau benar, tapi antara berbagai penafsiran yang berbeda atas hak-hak demokratis dan priori-tas sosial. Karena itu, ontran-ontran demokrasi- dalam pemilihan kepala daerah Tuban ini bisa diterangkan melalui penafsiran adanya fenomena deprivasi relatif (perampasan- hak) yang hebat, meluas, dan menyangkut berbagai segi kehidupan yang menyentuh para calon elite maupun- massa- rakyat, kalau mengikuti jalan pikiran Robert Ted Gurr dalam buku klasiknya, Why Men Rebel.

    Kekerasan politik terjadi ketika masyarakat marah, karena- ada jurang pemisah antara barang-barang berharga dan kesempatan, atau kemampuan yang dianggap menjadi haknya yang sebenarnya untuk mendapatkan barang-barang berharga tersebut. Makin besar kecenderungan fenome-na deprivasi relatif, makin menyangkut berbagai segi kehidupan masyarakat, makin memungkinkan terjadinya kekerasan politik dan kolektif.

    Dengan kata lain, penyebab utama terjadinya kekerasan politik dan kolektif adalah berkembangnya ketidakpuasan, politisasi dari ketidakpuasan itu, dan aktualisasinya dalam aksi-aksi kekerasan terhadap sasaran aktor-aktor politik. Gerakan sosial politik rakyat secara konseptual memang sarat interpretasi sebagai gerakan menentang kekuasaan dominan, digerakkan oleh ideologi anti-ekstorsi atau ideologi anti-pemerasan, menekankan penolakan terhadap sistem kekuasaan yang dianggap tidak adil dan menindas, ditandai kejengkelan moral yang kuat untuk menentang kaum yang punya hak-hak istimewa dan berkuasa.

    Ontran-ontran demokrasi di Tuban ini boleh jadi tak dapat dilepaskan dari kondisi struktural yang ada, di mana struktur sosial merupakan konsekuensi ketimpangan distribusi kekuasaan, kekayaan, dan prestise, yang menimbulkan perbedaan kepentingan di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda jenjang. Menurut Susan Eckstein dalam bukunya Power and Popular Protest, apabila rakyat miskin memberontak, itu tidak berarti secara intrinsik mere-ka dilahirkan untuk membuat kerusuhan. Mereka memberontak karena terbatasnya berbagai sarana alternatif yang mampu menyuarakan pandangan dan tekanan mereka terhadap perubahan. Keresahan atau keluhan dan kekecewaan adalah endemis pada struktur sosial. Keresahan serta keluh-an kekecewaan itu tidak dapat mereka perhitungkan bagi pertumbuhan gerakan sosial.

    Rakyat biasanya bersedia mengambil risiko melakukan konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadil-an tak dapat ditoleransi lagi, dan jika tuntutan kebutuhan mereka melonjak tiba-tiba, sementara institusi lokal dan nasional serta kondisi kultural cenderung meminta mereka menggunakan jubah kolektif. Hasil sementara pemilihan kepala daerah dengan perbedaan angka tipis, berbagai isu kecurangan yang diyakini terjadi, hanyalah pemicu dari seluruh keresahan yang telah berakar secara endemis dalam struktur sosial masyarakat Tuban selama ini.

    Karena itu, setidaknya ada tiga faktor yang juga layak di-simak dalam ontran-ontran pemilihan kepala daerah di -Tuban ini. Pertama, rendahnya political trust (tingkat ke-per-cayaan rakyat) terhadap hasil pemilihan. Mereka tak -percaya apakah pemilihan itu akan memberikan harapan- masa depan- lebih baik. Political trust berarti kepercayaan rakyat- ter-hadap komponen-komponen sistem politik. -Banyaknya kelompok yang terlibat dalam gerakan kekerasan politik me-rupakan indikasi berkurangnya kepercayaan rakyat ter-hadap sistem yang ada, apakah legislatif, eksekutif, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten, rekrutmen calon bupati, maupun kelompok kepentingan. Rendahnya kepercayaan rak-yat akan mendorong lahirnya gerakan sosial-, termasuk ke-rusuhan.

    Faktor kedua, rendahnya political efficacy, yaitu tingkat kepercayaan bahwa rakyat (pemilih) akan dapat mempengaruhi sistem politik. Hal ini menyangkut kemampuan rakyat untuk berperan atau mempengaruhi komponen-komponen sistem politik. Mereka yang merasa mampu mempengaruhi sistem politik akan potensial berpartisipasi dalam gerakan sosial politik.

    Faktor ketiga, subjective dissatisfaction, atau gejala deprivasi relatif, yaitu adanya perasaan dimarginalkan, di-singkirkan, merasa diperlakukan tidak adil. Makin tinggi ketidakpuasan subyektif, makin tinggi pula ketidakpercaya-an rakyat terhadap sistem yang ada, maka makin potensial pula kekerasan politik rakyat meruyak.

    Apakah itu yang tengah terjadi di Bumi Ronggolawe? Tanya-kan saja pada masyarakat jelata di Tuban sekarang ini, siapakah penguasa ekonomi politik di seantero kota -kabupaten itu. Sungguh mudah mereka menjawabnya!

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus