Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peraturan pemerintah yang baru dapat mengubah zona inti di kawasan konservasi.
Kawasan strategis nasional akan menjadi selimut baru bagi investasi yang eksploitatif.
Investasi di kawasan konservasi seharusnya dengan pendekatan ekonomi hijau.
Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kehadiran Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan, yang ditetapkan pada 2 Februari lalu, harus ditanggapi secara hati-hati. Menurut peraturan itu, zona inti di kawasan konservasi dapat diubah apabila ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional (KSN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perkembangannya, makna KSN, yang awalnya menyangkut keutuhan dan keselamatan negara, berkembang menjadi tema bermacam-macam di bidang ekonomi. Apalagi kemudian dijelaskan lebih rinci soal pembangunan yang boleh dilakukan di kawasan tersebut, termasuk KSN wisata di kawasan konservasi.
KSN kemudian menjadi selimut baru investasi, termasuk di kawasan konservasi, yang mengarah pada eksploitasi dan penghancuran atau rekonstruksi ruang. Hal itu terjadi karena biasanya kebijakan rekonstruksi dapat menimbulkan risiko lebih besar di kawasan konservasi.
Kebijakan investasi di kawasan konservasi harus disesuaikan dengan peruntukan lahan area konservasi tersebut. Kita jangan latah menyambut investasi dengan menobatkan zona pemanfaatan untuk investasi yang bersifat eksploitatif. Sejatinya, fungsi kawasan pemanfaatan untuk investasi harus sejalan dengan kaidah konservasi. Kita sudah melihat adanya gejala peningkatan tekanan di kawasan konservasi melalui upaya reklamasi dan rekonstruksi area baru.
Selain itu, kejadian bencana di laut dan darat yang terjadi saat ini seharusnya menyadarkan pemerintah agar menyusun kembali pilihan terbaik dalam investasi. Catatan pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian selama masa pandemi 2020 yang positif seharusnya dijadikan momentum untuk membatasi aktivitas ekonomi yang berbasis eksploitasi sumber daya tidak pulih (irreversible resource). Banyak daerah di Indonesia yang pada awalnya mengalami kejayaan. Tapi eksploitasi sumber daya alam yang terjadi kemudian meninggalkan bencana yang berkepanjangan. Sebut saja dampak eksploitasi timah di Pulau Bangka-Belitung dan bauksit di Tanjung Pinang yang menyisakan kerusakan lingkungan luar biasa, baik di darat maupun di laut. Potensi ekonomi itu semestinya dikembangkan dengan baik tanpa harus melakukan eksploitasi.
Kekhawatiran saya bukan hanya itu. Pemberian perizinan perubahan kawasan konservasi yang sudah lebih dari 20 juta hektare di laut untuk investasi seperti membuka pintu bah kebencanaan di masa depan. Bisa dibayangkan jika perizinan pemanfaatan yang lebih besar di zona konservasi, apalagi perubahan tata kelola dari properti pemerintah menjadi properti swasta, akan memberikan efek yang luar biasa. Barang pemerintah yang dikelola swasta akan menjadi barang publik atau privat yang kemudian akan berimplikasi pada jasa biaya tinggi. Ekonomi biaya tinggi biasanya akan memberikan tekanan yang lebih tinggi, termasuk di kawasan konservasi.
Sehubungan dengan hal ini, setidaknya ada tiga risiko besar yang akan terjadi jika makna kawasan strategis nasional dijadikan tunggangan investor untuk mengubah kawasan konservasi. Pertama, program investasi yang berbalut kapitalisasi akan berpotensi mengubah dan mendegradasi sumber daya dan ekosistem. Kedua, amputasi peran daerah kabupaten oleh Undang-Undang Pesisir dan perizinan oleh Undang-Undang Cipta Kerja akan membuka peluang lemahnya pengawasan oleh daerah dan potensi kerusakan yang semakin tinggi. Ketiga, jurang lebar kemiskinan akan menjalar pada wilayah pulau-pulau kecil. Pada bagian ini, saya sangat prihatin saat melihat praktik pemilikan pulau dan pesisir yang terjadi di banyak tempat, yang telah meneguhkan hegemoni pemilik kapital sebagai pengendali lingkungan tersebut.
Model Investasi
Ketika kita menyadari bahwa perubahan kawasan konservasi akan berdampak penurunan daya dukung dan daya tampung dari keberlanjutan ekosistem dan sumber daya laut, seharusnya konsep kawasan strategis nasional yang ditetapkan harus diisi dengan pola ekonomi hijau (green economy), yang memberikan peluang kepada masyarakat untuk mengambil lebih banyak. Pemanfaatan ini merupakan bentuk keadilan terhadap sumber daya dalam mengurangi kemiskinan di daerah pesisir dan pulau kecil. Untuk itu, saya mengusulkan tifa pilihan model investasi yang tepat di kawasan konservasi.
Pertama, mendorong kawasan konservasi sebagai pusat ilmu pengetahuan dan teknologi serta inovasi dalam penguatan peran kampus merdeka. Pemilihan suatu daerah sebagai kawasan konservasi adalah karena kesadaran atas tingginya keragaman sumber daya dan daya dukungnya dalam mendukung sistem ekonomi berkelanjutan. Pusat ilmu ini tentu dimulai dari riset. Inovasi yang dihasilkan dan produk yang dihasilkan kemudian menjadi komoditas turunan dari sumber daya. Sebagai pusat ilmu, kawasan konservasi bisa disiapkan sebagai laboratorium untuk pendidikan konservasi, pengawasan, dan perlindungan plasma nutfah bagi mahasiswa. Kawasan konservasi bisa menjadi tempat magang mahasiswa, tempat penelitian nasional dan internasional, serta sebagai ruang hidup biota sumber daya pesisir.
Kedua, menyiapkan skema ekoeduturisme di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang dikelola masyarakat lokal. Sumber daya hayati di kawasan konservasi dapat menjadi daya tarik bagi masyarakat yang akan menikmati wisata dengan tidak mengubah ekosistem dan sumber dayanya. Selain itu, upaya pengawasan bisa langsung dilakukan oleh masyarakat terhadap berbagai upaya eksploitasi dan perusakan lainnya.
Ketiga, merancang model ekonomi konservasi dengan menjadikan kawasan konservasi sebagai pusat riset internasional serta pusat pengendali iklim dan ekonomi masyarakat. Ketersediaan ekosistem saat ini menjadi modal yang luar biasa besarnya untuk alat negosiasi politik dengan negara lain.
Praktik-praktik investasi seperti inilah yang seharusnya dikembangkan di kawasan konservasi, bukan dengan mengubah untuk kemudian direklamasi atau menjadi pemilikan swasta yang semakin dominan dalam ekosistem yang dilindungi. Dengan cara ini, kemudian masyarakat akan merasa mendapat peran dan pekerjaan dengan tidak mengganggu fungsi ekosistem dan tujuan pembangunan berkelanjutan.
Ketiga model di atas dapat dipilih sebagai salah satu jawaban untuk menyiapkan skenario investasi di kawasan konservasi. Kita harus mengubah pemikiran bahwa investasi di kawasan konservasi seharusnya melalui industri ilmu, lingkungan, dan jasa biodiversitas, bukan menjadikannya sebagai milik kapital. Kapitalisasi kawasan konservasi harus didasari konsep investasi hijau tanpa perlu merekonstruksi hal-hal yang sudah ditetapkan.
[*]
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo