Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Hak Sosial Orang Sakit dan Harga Obat Melejit

Orang sakit yang membutuhkan obat bukan konsumen biasa. Perlu jaminan hak mereka untuk mendapat obat terpenuhi.

15 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Orang sakit tak bisa disamakan dengan konsumen biasa dalam pasar bebas.

  • Mereka punya hak sosial untuk mendapat obat secara wajar.

  • Pemerintah harus menjamin agar hak sosial mereka terpenuhi.

A. Margana
Wartawan dan Pegiat Komunikasi Sosial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah akhirnya memangkas harga "obat" Covid-19 yang sempat melejit dan menghilang dengan pembatasan harga baru. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mematok harga eceran tertinggi (HET) sebelas jenis obat pada masa pandemi ini (Tempo, 8 Juli 2021). Keputusan itu diambil setelah terjadi gejolak harga gila-gilaan di tengah ledakan jumlah pasien Covid-19 pada masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat darurat setelah angka kasus menembus 2,1 juta lebih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lonjakan jumlah pasien di rumah sakit dan isolasi mandiri pasti diincar sebagai sasaran empuk oleh para pedagang obat untuk menaikkan harga. Sebelum ada ketentuan pembatasan harga itu, sebenarnya sudah ada HET untuk masing-masing obat tersebut. Oseltamivir, misalnya, tertulis pada kemasannya dengan HET Rp 20.185 per kapsul, tapi di pasar harganya sempat melonjak hingga Rp 60 ribu lebih. Dalam batas harga yang baru, obat jenis ini dibanderol Rp 26 ribu.

Penetapan HET merupakan kebijakan pemerintah untuk menjinakkan harga obat karena obat tidak bisa diperdagangkan dengan mekanisme pasar bebas seperti barang kebutuhan yang lain. Produsen dan pedagang tidak bisa sesuka hati menaikkan harga obat untuk bisa mengeruk untung besar.

Orang sakit yang mencari obat secara harafiah memang dapat dibilang sebagai konsumen. Artinya, kalau diartikan seperti itu, orang sakit mendapat perlindungan sebagai konsumen seperti tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun tampaknya sudut pandang seperti itu terlalu sempit karena orang sakit memilik keterbatasan, sehingga tidak bisa serta-merta diperlakukan seperti konsumen barang-barang kebutuhan lain dalam aturan pasar bebas.

Orang sakit tidak punya banyak pilihan. Orang sakit tidak menikmati kebebasan sebagai konsumen di pasar. Seperti kasus pasien Covid-19, mereka perlu segera mendapatkan obat. Kalau tidak cepat memperolehnya, mereka bisa meninggal. Obat yang dicari juga terbatas dan tidak banyak alternatif. Bahkan jenis obat yang akan dibeli pun sudah ditetapkan dalam resep dokter. Jadi, orang sakit tidak memiliki kebebasan memilih seperti konsumen barang kebutuhan di pasar bebas.

Orang sakit dengan demikian tidak bisa disepadankan dengan konsumen. Mereka memiliki kemendesakan untuk memperoleh obat. Kalau tidak segera mendapatkan obat, ada ancaman atau risiko kematian. Pada dasarnya, setiap orang sakit mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan rumah sakit atau mendapatkan obat. Hak itu dalam ilmu etika disebut sebagai hak sosial. Orang sakit harus bisa mendapatkan obat dengan harga yang wajar untuk kesembuhan sakitnya. Hak sosial ini perlu dijamin oleh ketentuan publik atau diatur sedemikian rupa agar setiap orang yang sakit bisa mendapatkan obat dengan mudah dan dengan harga yang wajar.

Ketentuan HET obat Covid-19 di atas boleh dibilang sebagai salah satu bentuk pemenuhan hak sosial bagi orang sakit. Pengaturan dari pemerintah itu dimaksudkan agar produsen dan pedagang obat tidak memberlakukan obat sebagai barang konsumen yang diperdagangkan di pasar bebas.

Pengusaha dan pedagang obat memang berhak mendapatkan keuntungan. Tapi tidaklah etis kalau mereka memanfaatkan kemendesakan orang sakit dengan melejitkan harga obat sesuka hati untuk menangguk keuntungan.

Mungkin pemerintah layak memikirkan untuk melindungi hak sosial orang sakit. Seperti dalam kasus pasien Covid-19 pada masa PPKM darurat kali ini, mereka tiba-tiba dicekik dengan harga obat yang dinaikkan gila-gilaan dan dipermainkan dengan "menghilangkan" barang di pasar.

Pemerintah diharapkan bisa merumuskan ketentuan agar para pelaku usaha dan pedagang obat-obatan tidak berperilaku seperti pedagang barang kebutuhan bagi konsumen umum. Ancaman akan mencabut izin tampaknya hanyalah gertakan sesaat. Selain penetapan HET dan pengawasan pelaksanaannya, perlu ada ketentuan tentang tata niaga obat yang mampu melindungi hak dasar orang sakit. Tata niaga itu tentu tidak mengacu pada permainan pasar bebas karena orang sakit tidak memiliki kebebasan sebagai konsumen.

Keputusan memberikan pelayanan kesehatan bagi mereka yang melakukan isolasi mandiri dengan telemedicine juga merupakan upaya untuk meredam gejolak harga obat saat ini. Apalagi pemerintah akan memberikan obat secara gratis bagi peserta isolasi mandiri.

Orang sakit memang sedang membutuhkan obat. Namun mereka mempunyai hak sosial untuk bisa sembuh dan mendapatkan pelayanan obat dengan mudah dan dengan harga yang wajar. Apalagi di apotek, biasanya orang sakit tak pernah melakukan tawar-menawar seperti membeli barang lain di toko atau pasar. Berapa pun harga yang ditetapkan oleh apotek, orang sakit langsung membayarnya. Itulah bedanya orang sakit dengan konsumen di pasar bebas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Iwan Kurniawan

Iwan Kurniawan

Kini meliput isu internasional. Sebelumnya menulis berbagai topik, termasuk politik, sains, dan seni. Pengasuh rubrik Pendapat dan kurator sastra di Koran Tempo serta co-founder Yayasan Mutimedia Sastra. Menulis buku Semiologi Roland Bhartes (2001), Isu-isu Internasional Dewasa Ini: Dari Perang, Hak Asasi Manusia, hingga Pemanasan Global (2008), dan Empat Menyemai Gambut: Praktik-praktik Revitalisasi Ekonomi di Desa Peduli Gambut (Kemitraan Partnership, 2020). Lulusan Filsafat Universitas Gadjah Mada.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus