Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Jalan untuk Akhiri Perbudakan di Lautan

Indonesia belum maksimal memberantas perdagangan manusia. Perlu regulasi dan pengawasan yang kuat.

12 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus perdagangan manusia justru meningkat di tengah situasi pandemi.

  • Indonesia menjadi sorotan karena belum maksimal memberantas perdagangan manusia.

  • Kementerian dan lembaga saling lempar tanggung jawab.

Wahyu Susilo
Direktur Eksekutif Migrant CARE

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Berbagai lembaga internasional melaporkan bahwa kecamuk pandemi Covid-19 telah memperlambat dan bahkan hampir menghentikan arus masif mobilitas manusia lintas batas, termasuk arus migrasi tenaga kerja. Namun perlambatan tersebut tidak menghentikan berlangsungnya praktik perdagangan manusia atau perbudakan modern. Dalam peringatan hari melawan perdagangan manusia sedunia pada 30 Juli lalu, terungkap bahwa praktik perdagangan manusia pada masa pandemi mengalami peningkatan, sementara upaya penanganannya terhambat karena adanya pembatasan mobilitas dan pengurangan layanan langsung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kejahatan perdagangan manusia di tengah samudra, seperti yang dialami para anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berbendera asing, juga mengalami peningkatan. Tahun lalu, masyarakat dikejutkan oleh kasus pelarungan jenazah ABK dan perlakuan buruk yang dialami oleh mereka. Perlakuan buruk tersebut terus berulang terjadi. Hal ini tergambar dari laporan kasus ABK Indonesia yang bekerja di kapal berbendera Taiwan “Yong Xing” dan kapal berbendera Cina “Tai Xing” (Koran Tempo, 2 Agustus 2021).

Dalam laporan tahunan “Trafficking in Person Report 2021” yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, situasi perdagangan manusia Indonesia belum memperlihatkan tanda-tanda membaik. Hal ini ditandai oleh peringkat Tier 2 yang terus memerangkap Indonesia selama lebih dari satu dekade. Peringkat Tier 2 ini dicirikan oleh tidak maksimalnya upaya pemberantasan perdagangan manusia, meskipun negara tersebut telah memiliki regulasi anti-perdagangan manusia. Indonesia memang sudah memiliki Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Bahkan, dalam laporan yang terbit pada 1 Juli lalu itu, Indonesia mendapat sorotan khusus ihwal situasi perbudakan modern di sektor maritim.

Praktik perdagangan manusia yang dialami ABK Indonesia terjadi karena ketiadaan regulasi perlindungan khusus untuk ABK dan sikap saling lempar tanggung jawab dari kementerian dan lembaga yang berhubungan dengan persoalan ini. Hingga saat ini, belum ada satu komitmen yang sama mengenai perlindungan ABK Indonesia dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

Adanya tumpang-tindih kewenangan dan sikap saling lempar tanggung jawab sesama institusi pemerintah ini dimanfaatkan oleh para perekrut ABK untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya tanpa pengawasan yang memadai. Kondisi ini diperburuk oleh keterlibatan aparat pemerintah dalam praktik busuk eksploitasi ABK. Pada Oktober 2016, terungkap praktik pungutan liar dalam penerbitan buku pelaut di Kementerian Perhubungan. Buku pelaut adalah paspor kedua yang wajib dimiliki ABK setelah memenuhi berbagai persyaratan lain. Ketika buku pelaut ini bisa diperdagangkan, hal itu menjadi petunjuk bahwa rekrutmen ABK berlangsung secara ugal-ugalan, tanpa seleksi yang ketat, dan mengandung korupsi. Sementara itu, aparat BP2MI, yang seharusnya menjadi pengawas proses perekrutan, juga terbukti terlibat dalam kasus ABK yang direkrut dan dikirim PT Rafa Samudera Bahari dan PT Putri Ocean Abadi.

Pada awal 2021, Kementerian Luar Negeri menyatakan akan segera menyusun peta jalan menuju Ratifikasi Konvensi ILO 188/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Langkah lain yang dilakukan adalah membuat nota kesepahaman untuk perlindungan ABK dengan negara-negara pemilik kapal penangkap ikan. Langkah ini akan menyempurnakan regulasi nasional perlindungan pekerja migran di sektor kelautan sesuai dengan mandat Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Harus diakui bahwa regulasi nasional ini memiliki kelemahan karena cenderung berorientasi pada pekerja daratan (land based) dan minim perspektif pekerja kelautan (sea based).

Sayang sekali penyusunan peta jalan ini terseok-seok karena Kementerian Ketenagakerjaan sebagai kementerian yang bertanggung jawab dalam perlindungan dan pengawasan ketenagakerjaan menyatakan bahwa belum ada urgensinya untuk meratifikasi konvensi ini. Bagi Kementerian Ketenagakerjaan, konvensi ini akan menambah beban tanggung jawab yang sudah berat. Ketidaksatupaduan langkah ini tentu akan memperpanjang derita para ABK.

Hal lain yang seharusnya segera dituntaskan untuk mengatasi perdagangan manusia adalah tersedianya instrumen pengawasan ketenagakerjaan di sektor maritim, dari saat perekrutan hingga saat bekerja. Hingga saat ini, kelembagaan dan personel inspektur ketenagakerjaan sama sekali tidak kompatibel untuk melaksanakan pengawasan. Tentu saja metode pengawasannya bukan sekadar pemeriksaan administrasi, tapi juga harus memanfaatkan teknologi informasi untuk memantau pergerakan kapal penangkap ikan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus