Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Jerat Korupsi Pajak untuk Korporasi

Korupsi kembali terjadi di Direktorat Jenderal Pajak. Dapatkah KPK menjerat korporasi yang terlibat?

16 Maret 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Praktik korupsi kembali terjadi di Direktorat Jenderal Pajak.

  • Perusahaan yang terlibat belum ditetapkan sebagai tersangka.

  • Undang-undang memungkinkan KPK menyeret korporasi ke meja hijau.

Emerson Yuntho
Wakil Direktur Visi Integritas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Praktik korupsi suap kembali terjadi di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Meski belum diumumkan secara resmi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan telah menetapkan dua petinggi di direktorat itu sebagai tersangka kasus suap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petinggi tersebut adalah Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Angin Prayitno Aji dan Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Dadan Ramdani. Keduanya diduga menerima suap hingga Rp 50 miliar dari konsultan pajak yang berhubungan dengan pengurusan pajak dari tiga perusahaan besar di sektor pertambangan, perkebunan, dan perbankan.

Penetapan Angin Prayitno dan Dadan Ramdani sebagai tersangka pada akhirnya menambah daftar hitam kasus korupsi yang melibatkan jajaran Direktorat Jenderal Pajak. Dalam catatan Visi Integritas, selama kurun waktu 2010-2020, tercatat sedikitnya 30 pegawai dan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut dalam kasus penyuapan. Nilai suap yang diterima sangat fantastis, dari ratusan juta hingga puluhan miliar rupiah.

Dalam kasus suap yang melibatkan Angin dan Dadan, KPK juga menetapkan empat konsultan pajak sebagai tersangka. Sayangnya, perusahaan yang menerima keuntungan dari praktik suap pajak ini belum juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Padahal tidak masuk akal jika perusahaan tidak mengetahui dan tidak terlibat praktik penyuapan kepada pejabat pajak tersebut.

Apakah perusahaan atau korporasi yang menyuap pegawai pajak bisa dijerat dengan tindak pidana korupsi? Berdasarkan teori dan praktik sesungguhnya korporasi dapat dijerat dalam kasus korupsi, termasuk korupsi penyuapan kepada pegawai maupun pejabat perpajakan.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menegaskan bahwa subyek hukum pelaku korupsi tidak hanya orang, tapi juga badan hukum atau korporasi. Bila korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

Berbeda dengan subyek orang, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda dan pidana tambahan lainnya. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi, antara lain, adalah a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak, b) pembayaran uang pengganti, c) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama satu tahun, dan d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Upaya menjerat korporasi yang terlibat korupsi juga diperkuat dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Peraturan ini menetapkan syarat sebuah korporasi dapat dijerat dengan tindak pidana adalah korporasi yang mendapatkan keuntungan dari sebuah tindak pidana, membiarkan terjadinya tindak pidana, dan tidak mencegah terjadinya tindak pidana. Pidana pokok untuk korporasi yang terbukti bersalah adalah denda dan jika tidak dibayar pengurusnya dapat dikenai hukuman kurungan hingga 2 bulan.

Dalam praktiknya, hingga saat ini, sudah 15 korporasi, baik swasta maupun badan usaha milik negara, yang dijerat dalam kasus korupsi oleh institusi penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Rinciannya, sembilan kasus korupsi ditangani oleh kejaksaan, lima kasus oleh KPK, dan satu kasus oleh kepolisian.

Setidaknya sudah ada dua korporasi yang telah dijatuhi hukuman karena terbukti korupsi. Pada 2013, Pengadilan Negeri Banjarmasin menjatuhkan hukuman kepada PT Giri Jaladhi Wana karena terlibat dalam korupsi pengelolaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin. Selain menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1,3 miliar, hakim menghukum penutupan sementara perusahaan itu selama enam bulan.

Korporasi lainnya adalah PT Nusa Konstruksi Enjinering (NKE). Pada 2019, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memutuskan NKE terbukti melakukan korupsi dalam proyek pembangunan Rumah Sakit Khusus Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana pada tahun anggaran 2009-2010. Hakim lalu menjatuhkan denda Rp 700 juta, pembayaran uang pengganti sebesar Rp 85 miliar, dan mencabut hak perusahaan itu dalam mengikuti lelang proyek pemerintah selama enam bulan.

Lima dari 15 korporasi tersebut telah dijadikan tersangka karena menyuap pejabat kantor pajak. Pada 2018, Kejaksaan Agung diberitakan telah menetapkan lima tersangka korporasi dalam kasus korupsi dalam pengurusan pajak, yang terdiri atas PT Zebit Solution, PT Roda Nusantara, PT Japfa Santori, PT Citra Panji Manunggal, dan PT Sinar Meadow Internasional Indonesia. Kelima perusahaan tersebut diduga memberikan suap hingga Rp 4,6 miliar kepada Pranoto Aries Wibowo, pejabat Kantor Pelayanan Pajak Semarang.

Berdasarkan hal-hal tersebut dan diperkuat dengan bukti-bukti yang cukup, KPK sebaiknya tidak perlu ragu untuk menetapkan status tersangka terhadap korporasi yang menyuap pegawai pajak. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah menyatakan akan mendukung langkah KPK dalam menuntaskan kasus suap perpajakan dan sekaligus membersihkan para "pengkhianat" di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Menjerat korporasi yang menyuap pegawai pajak penting dilakukan. Tidak saja membuat jera pelaku korporasi, hal ini juga menjadi peringatan bagi korporasi yang lain untuk tidak melakukan tindakan tercela serupa di kemudian hari. Upaya ini juga sejalan dengan program aksi pencegahan korupsi yang digagas oleh KPK dan pemerintah, khususnya untuk mengoptimalkan penerimaan keuangan negara dari pajak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus