Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kesehatan Jiwa di Masa Pandemi

Di masa pandemi, gejala orang dengan gangguan jiwa meningkat. Apa yang dapat dilakukan pemerintah?

9 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kesehatan jiwa belum menjadi prioritas pembangunan nasional.

  • Di masa pandemi gejala orang dengan gangguan jiwa meningkat.

  • Pemerintah menambah anggaran untuk kesehatan jiwa tapi perlu memilih akan dialokasikan untuk apa.


Nova Riyanti Yusuf

Ketua Panitia Kerja RUU Kesehatan Jiwa DPR 2012-2014

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tanggal 10 Oktober diperingati sebagai Hari Kesehatan Jiwa Sedunia. Tema tahun ini adalah "Kesehatan Jiwa untuk Semua" dengan berfokus pada investasi dan akses yang lebih luas untuk setiap orang dan di mana saja. Peringatan ini bersamaan dengan adanya pandemi Covid-19. Dalam upaya mengendalikan penyebaran infeksi, semua orang harus masuk ke sebuah laboratorium eksperimen kesehatan jiwa manusia terbesar bernama "lockdown". Risiko lockdown dapat berupa kelelahan emosi, amarah, kecemasan, insomnia, dan gejala-gejala stres pascatrauma.

Bagi Indonesia, tema itu tidaklah sulit untuk diwujudkan karena sudah punya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sebagai fondasi pembangunan pelayanan kesehatan jiwa. Beberapa aspek yang diatur adalah terminologi non-diskriminatif "orang dengan gangguan jiwa"; upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif; sistem pelayanan kesehatan jiwa dasar; dan rujukan sesuai dengan implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) serta sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa. Namun, hingga kini, tidak ada satu pun peraturan turunannya dilahirkan.

Pada Mei lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Executive Summary: United Nations Policy Brief of Covid-19 and the Need for Action on Mental Health. PBB menekankan bahwa respons terhadap Covid-19 terhalang oleh keterbatasan upaya promotif, preventif, dan kuratif kesehatan jiwa yang sudah terjadi sejak sebelum masa pandemi. Pemerintah di berbagai negara tidak mau berinvestasi atau memprioritaskan berbagai kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa.

Keterbelakangan ini juga terjadi di Indonesia, yang anggaran kesehatan jiwanya berada di luar talangan JKN dan pelayanan kuratif di rumah sakit minim. Peningkatan alokasi anggaran mungkin sulit karena memang tidak menjadi prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan tidak masuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Di masa pandemi, situs web Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) ramai dikunjungi orang yang ingin melakukan swaperiksa penapisan depresi, cemas, trauma psikologis, dan bunuh diri. Sebanyak 4.010 responden mengikuti swaperiksa. Sebanyak 64,8 persen mengalami masalah psikologis dan secara spesifik terdeteksi 65 persen cemas, 62 persen depresi, dan 75 persen trauma. Masalah psikologis terbanyak ditemukan pada kelompok usia 17-29 tahun dan di atas 60 tahun. Satu dari lima orang memiliki pemikiran "lebih baik mati" dan pikiran kematian terbanyak pada usia 18-29 tahun.

Pencegahan bunuh diri urgen untuk dilakukan. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian saya saat menyusun instrumen deteksi dini faktor risiko ide bunuh diri remaja pada 2019. Ada empat dimensi yang signifikan berpengaruh terhadap ide bunuh diri, yaitu perasaan tidak ada harapan, kesepian, perasaan sebagai beban, dan keinginan menjadi bagian dari sesuatu/kelompok yang bermakna. Di samping itu, terdeteksi 13,8 persen remaja di DKI Jakarta mempunyai faktor risiko ide bunuh diri yang tinggi. Hal ini menjadi alarm kehati-hatian mengingat keempat dimensi itu menjadi berlipat ganda di masa pandemi.

Khusus untuk anak dan remaja usia sekolah, Tempo.co merilis data bahwa persentase tingkat stres anak dan orang tua terus mengalami peningkatan akibat menjalani lockdown. Setelah 17-19 pekan, persentase stres orang tua mencapai 95,1 persen dan anak 95,5 persen. Berdasarkan data Tim Sinergi Mahadata UI Tanggap Covid-19, sebanyak 35 persen dari 3.388 responden menunjukkan gejala depresi.

Apa upaya pemerintah untuk menanganinya? Ada tambahan anggaran sebesar Rp 29 miliar. Pemerintah tentu harus menentukan anggaran ini akan dialokasikan untuk apa.

Sebagai contoh, jurnal Lancet menampilkan inisiatif kesehatan jiwa di Kamerun yang menggunakan bantuan teknologi. Negara itu menggunakan metode konseling pra-pemeriksaan, pasca-pemeriksaan, saat interpretasi hasil pemeriksaan laboratorium, psikoedukasi, dukungan psikososial, dan sesi-sesi relaksasi. Dukungan psikologis berjarak, seperti call centre, juga disediakan selain di pusat-pusat pelayanan. Siapa pun yang mendapat hasil pemeriksaan positif akan menerima dukungan psikologis melalui pesan pendek dan WhatsApp.

Apa pun langkah yang diambil, pemerintah harus mampu meredakan kekacauan jiwa masyarakat akibat pandemi yang tak berkesudahan. Jangan lupa pula soal mitigasi jangka panjang secara sosial dan ekonomi. Dengan adanya jiwa-jiwa yang sehat, produktivitas bangsa akan muncul.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus