Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Koalisi Melawan Penyiksaan

Fenomena penyiksaan di Indonesia sudah tergolong kritis. Perlu kolobarasi banyak lembaga untuk mencegahnya.

27 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia memasuki situasi kritis dalam hal praktik penyiksaan.

  • Sejumlah korban tewas dalam tahanan polisi.

  • Komnas HAM berkolaborasi dengan Komnas Perempuan, KPAI, LPSK, dan Ombudsman untuk mencegah penyiksaan.

Amiruddin al Rahab
Wakil Ketua Komnas HAM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indonesia kini memasuki situasi kritis dalam hal praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Ahli hukum hak asasi manusia internasional, Antonio Cassese (2005), menyatakan bahwa untuk melihat terjadinya penyiksaan cukup dengan melihat berita yang ada di surat-surat kabar. "Tindakan penyiksaan itu dilakukan bukan oleh individu yang memiliki kegemaran menyakiti orang lain, melainkan oleh pihak yang berwenang dan bertindak dalam kapasitas resminya," kata Cassese.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada kenyataannya, dalam triwulan pertama 2021, media massa dipenuhi oleh berita penyiksaan di tahanan polisi. Salah satu yang mencuat adalah kasus Herman. Warga Balikpapan, Kalimantan Timur, berusia 39 tahun itu tewas di tahanan setelah sehari sebelumnya dicokok polisi pada akhir 2020. Herman ditangkap karena diduga mencuri sebuah telepon seluler. Penyiksaan itu dilakukan oleh enam polisi. Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur bahkan datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memberikan keterangan tentang perilaku anggotanya tersebut.

Di Batam, Hendri Bakarie meninggal dalam tahanan polisi di Barelang pada Agustus 2020. Dia diduga tersangkut kasus narkoba. W, warga Tangerang Selatan, mati dalam tahanan polisi pada 2020. W diduga melakukan pencabulan terhadap anak-anak. Dua orang yang ditangkap polisi di Kepolisian Sektor Sungkal juga meninggal setelah ditahan, yaitu Joko Dodi dan Rudi Effendi. Keduanya diduga terlibat perampokan pada pertengahan 2020.

Tidak hanya itu. Pada Juli 2020, Sarpan, buruh bangunan berusia 57 tahun, babak belur disiksa dalam tahanan Kepolisian Sektor Percut Sei Tuan, Deli Serdang, karena diduga terlibat pembunuhan. Pada 2019 juga mencuat peristiwa penyiksaan dalam tahanan di Tasikmalaya yang menimpa Dani Suganda, yang diduga terlibat pembunuhan.

Enam kasus penyiksaan di tahanan kepolisian itu menunjukkan bahwa praktik penyiksaan masih subur terjadi. Beberapa peristiwa itu hanyalah puncak gunung es dari besar dan banyaknya tindakan penyiksaan di Indonesia.

Penyiksaan yang tidak dicegah sedari awal atau dibiarkan sama saja dengan memberikan izin secara tidak langsung agar penyiksaan terjadi. Penyiksaan adalah perbuatan yang membahayakan hak asasi manusia karena bisa menjadi pintu masuk bagi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia lainnya, seperti perampasan hak hidup. Penyiksaan juga kerap kali tidak mudah dideteksi karena terjadi di ruang-ruang tertutup, disembunyikan dari mata publik, dan korbannya acap kali diam karena takut mendapat siksaan yang lebih berat atau diancam jika buka mulut.

Setiap tahun selalu ada aduan mengenai penyiksaan ke Komnas HAM. Media massa bahkan juga sering memberitakan terjadinya penyiksaan setelah korbannya jatuh. Dalam perspektif hak asasi manusia, penyiksaan dan penghukuman yang sewenang-wenang dan tidak manusiawi merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Tindakan itu telah merendahkan harkat dan martabat manusia. Perbuatan seperti itu juga bertentangan dengan konstitusi dan hukum di Indonesia.

Namun, upaya untuk menyingkap dan mencegah praktik-praktik penyiksaan ini memerlukan banyak energi dan otoritas. Untuk itu, Komnas HAM, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bersepakat bekerja sama dalam mencegah praktik penyiksaan dan menyusun strategi bersama untuk mendorong terbentuknya mekanisme nasional pencegahan penyiksaan. Kerja sama ini disebut sebagai Koalisi untuk Pencegahan Penyiksaan.

Adanya mekanisme pencegahan penyiksaan nasional merupakan tuntutan konstitusional dan kebutuhan bagi hidup bersama yang bebas dari penyiksaan. Semua pihak mengakui bahwa tindak penyiksaan harus dihentikan dan keberulangannya harus dicegah. Tidak ada satu budaya pun, termasuk budaya bangsa Indonesia, yang membenarkan penyiksaan dan perbuatan kejam lainnya.

Kolaborasi dibutuhkan untuk mencegah dan menghentikan penyiksaan karena penyiksaan bisa terjadi karena penyalahgunaan kewenangan, kesalahan secara administrasi, korban dan saksi tidak dilindungi serta korbannya bisa pula anak-anak dan perempuan. Perpaduan energi dan kewenangan lima lembaga negara ini akan mampu mendorong lembaga-lembaga negara lain yang memiliki otoritas langsung atas tempat-tempat terjadinya penyiksaan itu agar bisa mencegahnya sedari dini. Lembaga itu di antaranya kepolisian, kejaksaan, lembaga pemasyarakatan, Tentara Nasional Indonesia, ataupun instansi lainnya yang memiliki tempat-tempat yang menyerupai tempat tahanan, seperti keimigrasian dan panti-panti sosial.

Sikap terbuka dan transparan dari instansi-instansi yang berwenang tersebut dalam bekerja seiring dengan Koalisi untuk Pencegahan Penyiksaan akan bisa lebih cepat menghasilkan perbaikan-perbaikan yang substansial. Hal itu juga akan meningkatkan keterampilan personel lembaga tersebut agar lebih cepat dan lebih baik dalam mencegah terjadinya penyiksaan.

Langkah-langkah pencegahan dan penghentian praktik-praktik penyiksaan sudah sungguh urgen. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan telah berumur 20 tahun. Ini merupakan undang-undang pertama di era reformasi yang menghormati hak asasi manusia. Sayangnya, undang-undang ini seperti terlupakan dan belum digubris oleh aparat negara sendiri, sehingga praktik penyiksaan terus terjadi.

Penyiksaan dalam tahanan harus dicegah dan dihentikan. Hal itu melanggar UUD 1945, tergolong pidana, dan merupakan tindakan biadab dan tak berperikemanusiaan.*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus