Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Laku-tidaknya surat utang negara dapat dipengaruhi oleh imbal hasilnya.
Imbal hasil SUN dan SBN Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara anggota ASEAN yang lain.
Nilai surat utang bisa turun dan tak laku di mata investor.
Aswin Rivai
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir Juni lalu, pemerintah telah melelang tujuh surat utang negara (SUN) dengan total penawaran hampir Rp 70 triliun. Jumlah yang dimenangi sebesar Rp 12,60 triliun dengan tanggal jatuh tempo pada 15 Februari 2031. Namun jumlah penawaran tersebut turun 10,83 persen dibanding penawaran SUN sebelumnya yang sebesar Rp 78,45 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Laku-tidaknya surat utang dapat dipengaruhi oleh imbal hasilnya (yield). Imbal hasil yang tinggi akan menarik investor, tapi menekan belanja negara karena pemerintah harus membayar bunganya setiap tahun. Sebaliknya, imbal hasil yang rendah tentu akan mengurangi minat investor.
Sebagian pihak menilai imbal hasil SUN dan surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah terlalu tinggi, tapi sebagian pihak lain menganggapnya masih wajar. Kontroversi tersebut sudah terjadi selama hampir lima tahun belakangan ini.
Kelompok pengkritik menilai imbal hasil SUN Indonesia lebih tinggi daripada negara anggota ASEAN yang lain. Untuk surat utang bertenor 10 tahun, pemerintah Indonesia per 5 Juli 2021 memberikan imbal hasil 6,685 persen. Pemerintah Filipina hanya memberikan 3,89 persen, Vietnam 3,05 persen, Malaysia 3,22 persen, Thailand 1,74 persen, India 6,09 persen, dan Singapura 1,52 persen. Jika dibanding negara maju lain, imbal hasilnya jauh lebih tinggi. Jerman memberikan imbal hasil surat utang 10 tahunnya minus 0,23 persen, Jepang 0,034 persen, dan Cina 3,104 persen.
Melihat fakta ini, apakah imbal hasil SUN dapat dianggap wajar? Jika dilihat dari peringkat utang yang mengukur risiko pengembalian utang, Indonesia dikategorikan bukan yang sangat berisiko. Vietnam lebih berisiko (peringkat S&P BB atau speculative grade). Indonesia BBB dan Filipina BBB+ atau lower medium grade, sementara Malaysia lebih baik peringkatnya dengan A- atau upper medium grade dan Singapura terbaik, yaitu AAA atau prime grade.
Mengapa Vietnam, yang lebih berisiko, imbal hasil surat utangnya lebih rendah? Mengapa Filipina, yang risikonya sama dengan Indonesia, bisa lebih rendah imbal hasilnya? Biasanya, semakin berisiko suatu negara, investor diberi kompensasi dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Tapi kelihatannya tidak demikian dengan Indonesia.
Begitu juga jika diperhitungkan pendapatan per kapitanya. Pendapatan per kapita Indonesia lebih tinggi daripada Vietnam dan Filipina sehingga seharusnya memberikan imbal hasil yang lebih rendah.
Besaran imbal hasil surat utang dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama pasokan dan permintaan, nilai suku bunga The Fed atau bank sentral Amerika Serikat, sentimen pasar keuangan domestik maupun global, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kondisi ekonomi makro. Yang paling utama mempengaruhi keputusan investor untuk membeli surat utang, baik secara empiris maupun teoretis, adalah suku bunga bank (Berk, DeMarzo, & Harford, 2012), yang dalam konteks ini adalah suku bunga The Fed yang diikuti oleh suku bunga bank-bank komersial di setiap negara.
Imbal hasil surat utang Vietnam dan Filipina bisa lebih rendah karena suku bunga bank sentralnya lebih rendah. Imbal hasil surat utang negara harus benar-benar lebih tinggi dari suku bunga bank komersial agar dapat menarik minat investor untuk membeli. Jika tidak, investor akan lebih memilih deposito, yang relatif lebih likuid dibanding surat utang.
Masalahnya, suku bunga deposito bank di Indonesia cenderung tinggi, terutama sebelum periode pandemi Covid-19, karena margin bersih bank juga tinggi, yaitu sekitar 5 persen, jauh lebih tinggi daripada margin bersih bank-bank di negara ASEAN lain. Ketidakefisienan bank-bank di Indonesia ini menyebabkan tingginya ongkos pendanaan bank.
Suku bunga bank sentral di negara-negara Asia relatif lebih rendah, seperti Filipina sebesar 2,0 persen, Malaysia 1,75 persen, Singapura 0,25 persen, India 4,0 persen, dan Thailand 0,50 persen. Dengan begitu, imbal hasil surat utang negara-negara tersebut juga rendah. Jika imbal hasil surat utang Indonesia diturunkan menjadi lebih rendah atau menyamai suku bunga deposito bank, investor akan beralih ke deposito, yang tentunya akan menurunkan minat untuk membeli surat utang negara.
Hubungan suku bunga dan imbal hasil surat utang ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Misalnya, suku bunga bank naik menjadi 5 persen, maka surat utang yang baru akan dikeluarkan dengan imbal hasil di atas 5 persen, katakanlah 7 persen. Dengan demikian, nilai surat utang lama dengan imbal hasil 5 persen akan turun dibanding saat pertama kali dibeli. Sebab, jika investor dapat menginvestasikan dana, katakanlah, Rp 1 miliar dan membeli surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi atau mendepositokannya dengan suku bunga di atas 5 persen, mengapa mereka harus membeli surat utang lama yang imbal hasilnya lebih rendah? Karena itu, nilai surat utang lama menjadi lebih rendah dari Rp 1 miliar, sehingga surat utang lama tersebut akan diperdagangkan dengan nilai diskonto atau harga yang lebih rendah.
Sebaliknya, jika suku bunga bank turun setelah investor membeli surat utang, nilai surat utang di tangan investor akan naik karena investor lain tidak dapat membeli surat utang baru tersebut dengan nilai imbal hasil yang tinggi. Maka surat utang yang baru tersebut akan dapat diperdagangkan dengan nilai premium atau nilai yang lebih tinggi. Jadi nilai surat utang negara sangat bergantung pada suku bunga The Fed dan pada akhirnya ditentukan oleh suku bunga bank-bank komersial di setiap negara.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menurunkan imbal hasil surat utangnya? Pemerintah dapat mengelola portofolio utang untuk menurunkan biaya dan memitigasi risiko, seperti operasi membeli kembali (buyback) surat utang yang memiliki imbal hasil tinggi dan menukar (debt switching) surat utang yang imbal hasilnya tinggi dengan yang lebih rendah. Di samping itu, bila Bank Indonesia masih menjaga suku bunga tetap rendah dan The Fed masih belum ada rencana pasti untuk menaikkan suku bunga acuannya serta likuiditas investor di bank-bank komersial masih tinggi, selama masa darurat Covid-19 ini, pemerintah berkesempatan menurunkan imbal hasil surat utang yang diterbitkannya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo