Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Korupsi Keji Bantuan Sosial Pandemi

Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi tersangka kasus dugaan korupsi bantuan sosial. Perlukah dia dijatuhi hukuman mati?

9 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Sosial Juliari Batubara menjadi tersangka kasus dugaan korupsi bantuan sosial pandemi Covid-19.

  • Ada masalah serius dalam pengawasan internal di Kementerian Sosial.

  • Perlukah Juliari dijatuhi hukuman mati?

Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

”Persisnya, karena departemen itu, yang semestinya mengayomi rakyat, ternyata korupsinya gede-gedean, bahkan sampai hari ini,” begitulah alasan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur soal pembubaran Departemen Sosial pada 1999. Pernyataan itu kontekstual dengan kejadian saat ini, tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi program bantuan sosial pandemi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juliari bukan menteri sosial pertama yang tersandung kasus korupsi. Para pendahulunya juga telah diringkus oleh KPK, dari Bachtiar Chamsyah dalam kasus pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan sarung pada 2010 hingga bekas Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham pada 2018. Hal itu membuktikan bahwa terdapat masalah serius dalam pengawasan internal di Kementerian Sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus yang menjerat Juliari sebenarnya merupakan korupsi jenis konvensional dan lazim dilakukan pejabat lain, yakni seputar pengadaan barang dan jasa. Juliari diduga menjadikan pengadaan bantuan berupa paket bahan pokok untuk kebutuhan penanganan Covid-19 tahun 2020 yang bernilai sekitar Rp 5,9 triliun sebagai bancakan korupsi. Hal itu dilakukan dengan cara mengenakan fee sebesar Rp 10 ribu setiap paket bahan pokok yang dibagikan di Jakarta dan sekitarnya. Kementerian Sosial telah 12 kali menyalurkan paket tersebut dengan jumlah total 22,8 juta paket, sehingga potensi penyelewengan dana mencapai Rp 228 miliar.

Situasi pandemi memang membuka celah korupsi yang sangat besar. Selain karena anggaran yang dikeluarkan pemerintah sangat besar (Rp 692,2 triliun), ada fleksibilitas penggunaan dana karena adanya tuntutan daya serap tinggi. Karena itu, peran inspektorat menjadi penting, setidaknya untuk memastikan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan memastikan terciptanya pemerintahan yang baik (good governance). Selain itu, kehendak politik dari pejabat sangat krusial, sehingga terungkapnya praktik kotor bantuan sosial seperti ini semestinya mendorong Presiden Joko Widodo lebih selektif dalam memilih menteri sosial selanjutnya. Setidaknya Presiden harus menempatkan kompetensi dan integritas sebagai indikator utama, bukan justru memikirkan alokasi kader partai koalisi.

Potensi permasalahan dalam penyaluran bantuan sosial sebenarnya sudah jauh-jauh hari ditemukan oleh lembaga pengawasan. Temuan Ombudsman pada pertengahan tahun lalu menyebutkan, sejak dibukanya posko pengaduan pada April hingga Juni, mayoritas laporan yang masuk adalah soal bantuan sosial, yakni 1.242 laporan. KPK bahkan telah bertemu dengan Juliari untuk memberikan peringatan dini karena adanya informasi potensi penyimpangan penyaluran dana bantuan sosial. Tapi seluruh peringatan itu rasanya diabaikan begitu saja hanya demi meraup keuntungan di tengah kehidupan masyarakat yang terjepit pandemi.

Politik hukum dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sangat tegas terhadap pelaku kejahatan yang memanfaatkan situasi bencana sebagai bancakan korupsi. Pelakunya dapat diancam dengan hukuman mati. Undang-undang itu mensyaratkan tiga hal, yakni hal itu dilakukan ketika bencana alam nasional, pengulangan korupsi, atau pada masa krisis ekonomi dan moneter.

Kasus yang menjerat Juliari memang memenuhi syarat pertama dan ketiga. Tapi kasus yang menimpa Wakil Bendahara Umum PDIP tersebut merupakan tindak pidana suap, sehingga hukuman mati pada dasarnya tidak dapat dikenakan terhadapnya. Di sisi lain, efektivitas dari pidana mati sampai saat ini masih dipertanyakan dan selayaknya dihapus karena bertentangan dengan hak asasi manusia.

Lantas, apa hukuman yang layak bagi pejabat tamak dan tidak berperikemanusiaan seperti Juliari? Sebelum menjawabnya, KPK dapat menelusuri lebih dulu aset-aset Juliari. Jika fee bantuan sosial tersebut digunakan untuk hal-hal tertentu, seperti menyewa jet pribadi, hal itu dapat dijerat dengan pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU). Kombinasi antara UU Tipikor dan UU TPPU memungkinkan jaksa menuntutnya dengan tiga jerat hukuman, yakni pidana 20 tahun penjara, denda Rp 10 miliar, dan perampasan aset-aset.

Korupsi yang dilakukan di tengah bencana dan kemerosotan ekonomi merupakan tindakan yang keji dan sangat terkutuk. Dana bantuan sosial, yang sebenarnya belum cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, malah dirampok oleh pejabat. Tidak ada pilihan, hukum mesti ditegakkan agar dapat mengirim pesan kuat bagi calon-calon koruptor lainnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus