Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kinerja Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik korupsi kian mengkhawatirkan.
Penanganan perkara yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari seakan berjalan di tempat.
Langkah Kejaksaan Agung mengandung banyak kejanggalan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kinerja Kejaksaan Agung dalam membongkar praktik korupsi kian mengkhawatirkan. Penanganan perkara yang melibatkan anggotanya, jaksa Pinangki Sirna Malasari, dalam kasus pelarian Djoko Tjandra seakan berjalan di tempat. Alih-alih segera menuntaskan, Kejaksaan Agung malah terlihat kompak bahu-membahu membantu mengamankan jaksa tersebut dari jerat hukum.
Kejaksaan Agung, misalnya, tidak memberikan akses bagi Komisi Kejaksaan untuk dapat memeriksa Pinangki, padahal Komisi telah melayangkan dua kali surat panggilan terhadap Pinangki. Alih-alih memenuhi panggilan tersebut, Pinangki justru menolak diperiksa. Tak lama kemudian, dua jaksa agung muda menyurati Komisi dan mengatakan bahwa Pinangki tidak perlu lagi diperiksa karena telah menjalani hal yang sama di Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung.
Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Kejaksaan menyebutkan bahwa semua jaksa wajib memberikan keterangan yang diminta oleh Komisi dalam rangka pemeriksaan. Dalih bahwa Pinangki telah diperiksa oleh pihak internal Kejaksaan Agung tidak dapat dibenarkan. Semestinya Kejaksaan kooperatif dan menganjurkan Pinangki memenuhi panggilan Komisi.
Kejaksaan Agung kemudian tiba-tiba mengeluarkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 yang menjelaskan bahwa tindakan pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga melakukan tindak pidana harus atas seizin Jaksa Agung. Tentu kebijakan ini menimbulkan prasangka buruk karena pada waktu yang sama Kejaksaan sedang menangani dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggotanya. Bukan tidak mungkin kebijakan ini dibuat untuk menutup akses penegak hukum lain yang ingin memeriksa Pinangki.
Kejaksaan Agung sempat berencana ingin memberikan bantuan hukum kepada Pinangki dengan alasan bahwa hal itu sesuai dengan mandat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) Persatuan Jaksa Indonesia. Namun Pasal 2 AD dan ART itu menyebutkan bahwa pembelaan dan pendampingan anggota yang menghadapi masalah hukum itu terkait dengan tugas dan profesinya, sedangkan tindakan Pinangki jelas tidak ada kaitannya dengan tugas dan profesinya sebagai seorang jaksa karena pertemuan itu dilakukan tanpa persetujuan atasan dan berhubungan dengan seorang buron Kejaksaan.
Selain itu, Kejaksaan Agung tak kunjung melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menangani perkara Pinangki. Hal ini berbeda jauh dengan Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI yang telah mengundang lembaga antirasuah itu untuk dapat mengikuti gelar perkara dalam kasus indikasi suap atas surat jalan Djoko Tjandra dan penghapusan data "red notice". Resistansi Kejaksaan ini semakin menimbulkan kesan bahwa Kejaksaan ingin melokalisasi penanganan perkara yang melibatkan anggotanya.
Masalah lain adalah terbakarnya gedung utama Kejaksaan Agung. Berbagai spekulasi pun timbul, termasuk dugaan ada pihak tertentu yang sengaja membakar agar dapat mengaburkan fakta-fakta dalam perkara Pinangki. Kebakaran itu juga menghanguskan ruangan jaksa tersebut, sehingga rekaman kamera keamanan di sana pun ada kemungkinan ikut hilang, padahal rekaman tersebut dapat mengungkap siapa saja yang selama ini bertemu dengan Pinangki.
Atas dasar berbagai kejanggalan itu, semestinya perkara Pinangki tidak lagi ditangani oleh Kejaksaan Agung. Selain kental dengan konflik kepentingan, perkara itu dikhawatirkan hanya akan berhenti pada sosok Pinangki. Untuk itu, KPK seharusnya dapat segera mengambil alih penanganannya. Pasal 10 A Undang-Undang KPK telah membuka ruang bagi lembaga itu untuk mengambil alih penyidikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan. KPK juga diberi kewenangan untuk menangani perkara yang melibatkan unsur Kejaksaan Agung.
Sengkarut skandal Djoko Tjandra masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi penegak hukum. Jika salah satu institusi masih terus mengedepankan ego sektoralnya, bukan tidak mungkin perkara ini akan terus menggantung tak berujung. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo