Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Memutus Rente Impor Pangan

Korupsi pangan berakar dari kebijakan pengendalian impor berbasis kuota. Melibatkan pengusaha, birokrat pemberi izin, dan politikus.

12 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Investigasi Tempo mengungkap jatah preman buah impor.

  • Korupsi pangan berakar dari kebijakan pengendalian impor berbasis kuota.

  • Permainan impor ini melibatkan pengusaha, birokrat pemberi izin, dan politikus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk kesekian kalinya, majalah Tempo edisi 31 Oktober 2020 mengupas patgulipat impor pangan. Jika sebelumnya pada bawang putih dan daging sapi, kali ini investigasi Tempo mengungkap jatah preman buah impor.

Impor pangan masih akan menjadi aktivitas rutin Indonesia ke depan, terutama untuk pangan yang tidak bisa kita hasilkan sendiri atau produksi domestik yang masih kurang mencukupi. Hal ini terjadi pada banyak komoditas, seperti beras, jagung, gula, kedelai, gandum, ubi kayu, bawang putih, garam, daging sapi, dan susu.

Sepuluh komoditas ini bukan hanya nilai impornya tinggi, tapi volumenya juga besar. Pada 2018, tujuh komoditas pertama volume impornya mencapai 27,3 juta ton, naik dari 21,7 juta ton pada 2014 (Santosa, 2019). Nilainya pun bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Impor bawang putih, misalnya, pada 2018 mencapai 582 ribu ton senilai US$ 497 juta atau sekitar Rp 7,1 triliun. Nilai dan volume yang besar menjadi insentif menarik bagi pemburu rente untuk melanggengkan tata kelola impor pangan tetap karut-marut.

Permainan impor pangan ini melibatkan segitiga pelaku: pengusaha sebagai penyuap, birokrat sebagai pemberi izin impor atau pengatur kuota, dan politikus yang memperdagangkan pengaruh. Jalinan ini terpilin rapi dan memanfaatkan celah-celah sempit yang memungkinkan permainan kotor langgeng. Masyarakat selalu dicekoki bahwa segala macam izin itu sekarang sudah bersalin rupa, dari membuka peluang transaksional lewat pertemuan menjadi serba daring. Namun yang namanya izin atau rekomendasi tetap perlu intervensi manusia buat meluluskannya.

Korupsi pangan berakar dari kebijakan pengendalian impor berbasis kuota. Lewat cara ini, pemerintah membagi kuota impor kepada importir sesuai dengan kebutuhan domestik. Rezim ini berpotensi melahirkan masalah hukum, baik dari sisi pidana maupun hukum persaingan usaha. Dari sisi pidana, rezim kuota bisa memfasilitasi persekongkolan antara pemberi dan calon penerima kuota. Adapun dari sisi hukum, persaingan usaha rezim kuota berpotensi memfasilitasi terjadinya praktik kartel, yaitu persekongkolan antar-pelaku usaha dalam menetapkan harga dan mengatur pasokan ke pasar (Rauf, 2016).

Saat ini, rezim kuota dikendalikan lewat dua mekanisme, rekomendasi impor dari kementerian teknis dan surat persetujuan impor (SPI) dari Kementerian Perdagangan. Misalnya, rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) untuk impor buah dari Kementerian Pertanian. RIPH menjadi syarat mengajukan SPI. Sialnya, seperti ditulis Tempo kali ini dan edisi sebelumnya, kedua syarat ini kemudian diperdagangkan. Benar kata sebagian ekonom bahwa kebijakan berbasis rezim kuota (dengan RIPH dan SPI) itu ibarat barang dagangan yang akan tunduk pada mekanisme pasar. Harga ditentukan oleh pasar. Ketika pasokan kecil (karena kuota), sedangkan permintaan tinggi, harganya akan tinggi.

Praktik culas dimulai dari penetapan penerima kuota impor yang tidak transparan. Aturan ada tapi sekadar formalitas. Dalam beberapa kasus, kuota impor bisa terkonsentrasi pada segelintir grup perusahaan. Hal ini kemudian membuat struktur pasar komoditas pangan menjadi oligopoli, terpusat pada hanya sejumput pemain besar. Sebagai pengendali dan penguasa pasokan di pasar, para pemburu rente bisa memainkan harga seperti roller coaster. Mereka tinggal menentukan harga yang diinginkan. Mereka juga punya keleluasaan menciptakan kelangkaan semu di pasar. Pasar seolah-olah langka, padahal stok menumpuk di gudang. Pemerintah pun mati kutu dan konsumen tercekik harga.

Harus ada kemauan kuat dari pemerintah untuk memutus mata rantai perburuan rente impor pangan. Langkah ini dimulai dari hulu: menggenjot produktivitas dan efisiensi pertanian, terutama komoditas penting. Tujuannya untuk menekan disparitas biaya produksi dan harga pangan domestik dengan harga di pasar dunia. Untuk buah tropis, Indonesia semestinya berjaya karena bisa berproduksi sepanjang tahun. Lalu pemerintah mengganti rezim kuota dengan tarif impor yang lebih adil dan transparan. Adil karena memberikan peluang yang sama kepada semua pelaku usaha. Transparan karena tak ada yang ditutup-tutupi. Negara akan diuntungkan karena tarif mengalir ke kas negara, bukan ke pencoleng.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus