Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wacana bank digital kian menyita perhatian pelaku industri perbankan.
Sejumlah bank kecil mulai menempuh langkah tersebut.
Penerapan bank digital di Indonesia belum sesuai dengan definisi di tingkat global.
Remon Samora
Analis di Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Papua Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana bank digital kian menyita perhatian pelaku industri perbankan. Sejumlah bank kecil tercatat telah menempuh langkah tersebut untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat. Transformasi Bank Jago, Bank Neo Commerce, dan Bank Digital BCA seolah menegaskan fenomena ini. Harus diakui bahwa bank digital adalah sebuah keniscayaan di era revolusi bank 4.0.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sayangnya, penerapan bank digital di Tanah Air masih belum sesuai dengan definisi yang berlaku di tingkat global. Istilah bank digital dikenal luas sebagai neobank atau digital only bank. Tiga ciri utamanya adalah layanan keuangan melalui aplikasi digital, tidak memiliki kantor cabang fisik, dan didesain khusus untuk transaksi digital. Beberapa contoh neobank di antaranya Kakao Bank di Korea Selatan, WeBank dan MYbank di Cina, serta Monzo dan Atom di Inggris.
Dengan adanya klausul ketiadaan kantor cabang, bank digital di Indonesia belum sepenuhnya menganut konsep neobank. Perbedaan penafsiran tersebut ditengarai karena hingga saat ini belum ada dasar hukum yang mengatur tentang perbankan digital dalam konteks neobank. Ketentuan yang ada baru mengatur layanan perbankan digital sebagai produk dan belum menyentuh substansi model bisnisnya.
Absennya regulasi neobank nyatanya tidak menyurutkan semangat korporasi raksasa untuk menangkap peluang ini. Ada kesamaan pola oleh sejumlah bank besar dalam membentuk bank digital. Alih-alih melakukan transformasi internal secara langsung, bank besar justru memilih untuk mengubah anak usahanya yang notabene bank kecil menjadi bank digital. Contohnya adalah BCA lewat Bank Digital BCA dan BRI dengan BRI Agro.
Aksi korporasi ini terbilang rasional. Transformasi bank besar menjadi bank digital bukanlah perkara mudah. Di satu sisi, ekosistem dan infrastruktur fisik yang sudah dibangun menjadi keunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan. Namun, pada saat yang bersamaan, hal ini sekaligus menjadi perangkap untuk melakukan perubahan. Maka keputusan untuk berfokus pada kompetensi inti merupakan sesuatu yang wajar.
Di samping itu, model bisnis hibrida (campuran bank tradisional dan neobank) yang diusung oleh bank digital domestik juga masih dipertanyakan validitasnya. Diferensiasi antara bank tradisional dan bank digital masih belum tampak jelas. Bila berkaca pada kisah sukses di negara lain, mayoritas bank digital di sana tidak terbentuk dari transformasi bank tradisional. Implikasinya, opsi bank besar berubah menjadi bank digital cukup berisiko.
Di sisi lain, bank kecil justru dinilai lebih lincah dan mudah beradaptasi dengan perubahan. Dengan jumlah pegawai yang lebih sedikit, proses bisnis yang lebih sederhana, dan jumlah aset yang relatif minim, bank kecil sangat cocok menjadi proyek percontohan model bisnis bank digital. Bermodalkan teknologi Internet dan talenta digital yang mumpuni, proses transformasi bank kecil tidak akan menemukan kendala yang berarti.
Meskipun bank digital akan menjadi kenormalan baru di masa depan, kehadiran bank tradisional diyakini akan tetap bertahan. Ada tiga alasan yang mendasarinya. Pertama, bisnis utama jasa perbankan adalah kepercayaan. Akan selalu ada segmen nasabah perbankan yang lebih nyaman dengan layanan tatap muka. Dalam beberapa kasus, nasabah bahkan diwajibkan ke kantor bank karena adanya batasan jenis dan nominal transaksi yang bisa diproses lewat aplikasi digital.
Kedua, bank digital tetap membutuhkan bank tradisional untuk membangun sinergi jangka panjang, seperti kemitraan untuk memanfaatkan jaringan kantor dan mesin ATM yang sudah ada hingga ke pelosok daerah. Upaya ini tentu lebih efisien bagi bank digital daripada harus membangun infrastrukturnya sendiri.
Ketiga, eksistensi industri teknologi finansial dompet elektronik dan peer-to-peer lending (P2P) yang telah hadir lebih dulu nyatanya belum mampu mendisrupsi bank tradisional secara masif. Meskipun industri teknologi finansial tumbuh signifikan dari sisi volume transaksi maupun nilai pinjaman yang disalurkan, perbankan tradisional masih tetap mendominasi industri jasa keuangan. Kondisi yang sama akan berlaku bagi bank digital.
Studi Bank Dunia (2020) yang berjudul "Digital Banks: Lessons from Korea" menyimpulkan hal serupa. Dua bank digital di Korea Selatan, Kakao Bank dan K Bank, hanya menguasai 3,7 persen dari total kredit retail pada akhir 2019. Walaupun pangsanya terbilang kecil, rata-rata pertumbuhan tahunan kredit retail Kakao Bank bahkan bisa mencapai dua kali lipat.
Berangkat dari sejumlah argumentasi di atas, bank digital diprediksi menjamur dalam jangka menengah tapi dengan skala usaha terbatas. Kita mungkin belum akan menyaksikan satu bank digital yang menjadi game changer industri perbankan dalam waktu dekat. Ada dua kondisi prasyarat agar bank digital bertumbuh pesat: pergeseran pola pikir dari transformasi layanan digital ke transformasi institusi digital dan adanya stimulus dari sisi regulasi yang mampu merangsang inovasi oleh pelaku bank digital.
*) Tulisan ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili lembaga tempat bekerja.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo