Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Nasib Perunggasan yang Tumbuh tanpa Pembangunan

Industri peternakan bertumbuh, tapi tanpa pembangunan. Kebijakan pemerintah yang berulang tak mengubah keadaan.

21 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peternak membagi-bagikan ayam hidup dan telur karena merugi.

  • Hal ini terjadi karena subsektor peternakan tumbuh tanpa pembangunan.

  • Kebijakan pemerintah hanya menguntungkan peternak skala besar.

Khudori
Komite Pendayagunaan Pertanian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti sudah kehabisan akal, peternak unggas sepanjang pekan lalu memutuskan untuk membagi-bagikan ayam hidup dan telur kepada masyarakat. Aksi ini digelar merata di sentra-sentra produsen ayam dan telur di Provinsi Jawa. Langkah ini ditempuh untuk mengetuk hati para pembuat kebijakan agar mengambil langkah nyata guna menyelamatkan peternak dari harga yang rendah. Diskusi, mediasi, hingga turun ke jalan telah mereka lakoni sejak 2018, tapi tak ada hasil nyata. "Bencana" ini sebenarnya berakar dari sejarah panjang industri unggas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sektor peternakan, terutama perunggasan, terus tumbuh dalam beberapa dekade ini. Pada tahap awal perkembangannya, sektor ini mengandalkan dimensi permintaan atau daya beli konsumen (demand driven). Dalam literatur, pembangunan subsektor peternakan yang banyak didorong permintaan atau pendapatan masyarakat disebut sebagai revolusi peternakan. Berkat pertumbuhannya yang luar biasa, sektor ini telah menjadi penyedia sumber protein dengan harga terjangkau bagi kantong masyarakat umum.

Kenyataan itu bisa dibaca dari dua fakta penting ini. Tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging ayam mencapai 70 persen, jauh lebih tinggi daripada partisipasi konsumsi daging sapi yang 16,8 persen. Adapun rata-rata konsumsi daging unggas sebesar 12,79 kilogram per kapita per tahun, jauh lebih besar daripada rata-rata konsumsi daging sapi yang 1,8 kilogram per kapita per tahun. Produksi daging unggas pada 2020 mencapai 3,48 juta ton, di atas kebutuhan konsumsi yang 3,44 juta ton. Dari daging ayam ini saja, nilai ekonominya sudah lebih dari Rp 104 triliun.

Nilai ekonominya semakin besar bila memperhitungkan nilai di industri pembibitan, pabrik pakan, budi daya, obat-obatan atau vaksin, peralatan, dan pascapanen. Semua lini industri ini setidaknya menyerap lebih dari 4 juta tenaga kerja. Sejak berkembang pada awal 1970-an, semua lini terus bergerak dan berekspansi mengikuti insting bisnis masing-masing. Baik peternak rakyat, mitra, usaha kecil dan besar, maupun korporasi telah terintegrasi. Banyak pihak masih yakin perunggasan merupakan industri yang mandiri, tak memerlukan intervensi birokrasi, sampai akhirnya terjadi bencana: pasokan berlebih.

Peternak rakyat angkat tangan. Pasokan berlebih tidak bisa mereka selesaikan sendiri. Apalagi para pelaku usaha telah terbelah dua dengan kepentingan yang saling bertentangan: peternak rakyat versus integrator. Peternak skala kecil memelihara kurang dari 5.000 ekor ayam, rendah modal dan akses pasar, serta berteknologi sederhana. Sebaliknya, integrator bermodal kuat, memakai teknologi modern, terintegrasi secara vertikal, dan mengendalikan pasar. Integrator juga mengembangkan pola kemitraan dengan peternak, yang mendapat kemudahan akses input produksi dan pasar. Situasi ini berlangsung lebih dari lima tahun terakhir.

Untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan, pemerintah menempuh cara cutting atau pemusnahan telur tertunas atau afkir dini induk ayam. Dalam beberapa kasus, cara ini menolong. Ibarat memadamkan kebakaran, api memang padam, tapi sumber api tiap saat tetap mengancam. Cara-cara reaktif, ad hoc, dan jangka pendek itu tidak menyentuh jantung atau akar masalah. Sudah 10 kali surat edaran Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian dikeluarkan untuk cutting, tapi harga ayam hidup jatuh di tingkat peternak terus berulang. Anehnya, jurus usang ini masih terus dipakai dan diandalkan.

Karena itu, kini saatnya mengkaji secara kritis langkah berulang yang ditempuh oleh pemerintah selama ini. Analisis kritis tersebut menjadi penting karena ada indikasi terdapat pihak-pihak tertentu yang diuntungkan dengan difasilitasi oleh kebijakan pemerintah di bidang pertanian ini. Di tengah keterpurukan peternak ayam mandiri (yang menurut kalkulasi mereka merugi lebih dari Rp 2 triliun sejak 2018), perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia tetap menangguk untung besar. Jika benar industri perunggasan sedang lesu, terutama karena pandemi Covid-19, semestinya pukulan ini menimpa semua pelaku.

Sepanjang 2020, ketika sektor pertanian tumbuh 1,75 persen, jauh di atas pertumbuhan ekonomi makro yang minus 2,07 persen, subsektor peternakan tumbuh negatif 0,33 persen. Hal ini terjadi karena harga daging ayam dan telur di level peternak amat rendah. Nasib peternak (mandiri) berada di titik nadir. Di sisi lain, integrator, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), misalnya, tetap untung. Pada 2020, JPFA membukukan penjualan Rp 36,96 triliun (turun 4,9 persen dari 2019 yang sebesar Rp 38,87 triliun) dan meraih laba Rp 2,48 triliun (turun 20,48 persen dari 2019 yang sebesar Rp 3,12 triliun). Pada kuartal I 2021, JPFA membukukan penjualan Rp 10,7 triliun (naik 11,4 persen dari periode yang sama) dan laba bersih Rp 915 miliar (naik 119,4 persen).

Pendatang baru, PT Widodo Makmur Unggas Tbk (WMUU), yang masuk bursa pada awal tahun ini, pada kuartal I 2021 juga membukukan kenaikan penjualan 79,15 persen, dari Rp 287,68 miliar menjadi Rp 513,59 miliar. Pada periode yang sama, labanya melonjak, dari Rp 18,46 miliar menjadi Rp 39,78 miliar (naik 115,49 persen). Keuntungan serupa diraih perusahaan benih (salah satunya jagung untuk pakan ternak) dan agrokimia, BISI. Pada 2020, BISI membukukan penjualan sebesar Rp 1,8 triliun dengan laba bersih Rp 275,54 miliar. Laba tahun ini diproyeksikan menjadi Rp 400 miliar atau naik 45,16 persen. Perusahaan-perusahaan ini juga terus berekspansi.

Memang, pada kuartal I 2021, subsektor peternakan tumbuh 2,45 persen. Tapi pertumbuhan itu tidak dirasakan peternak rakyat. Langkah afkir dini memukul mereka karena biaya produksi, baik pakan maupun harga ayam sehari (DOC), naik. Harga pakan saat ini mencapai Rp 7.800 per kilogram, naik 19 persen dari tahun lalu. Di sisi lain, harga ayam hidup dan karkas di konsumen tetap mahal. Sementara itu, tidak ada jaminan harga ayam hidup di peternak stabil atau sesuai dengan harga acuan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 yang sebesar Rp 19-21 ribu per kilogram. Yang terjadi, harga ayam hidup sering jatuh rendah, sementara biaya produksi mencapai Rp 19.500 per kilogram.

Kesenjangan ini terjadi karena langkah cutting akan menguntungkan mereka yang punya overstock berupa telur yang masih di dalam pantat bibit ayam (PS). Di sisi lain, ada pula potensi overstock dari stok populasi untuk izin ekspor ekstra benih ayam (GPS). Ada pula alokasi impor GPS pada 2018-2020 kepada perusahaan integrator, yang sebagian ternyata emoh ikut cutting. Integrator pemilik overstock inilah yang menangguk untung besar dengan menggerus pangsa pasar perusahaan lain. Situasi ini harus menjadi perhatian Satuan Tugas Pangan dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Apa yang bisa dibaca dari situasi ini? Fenomena di perunggasan menggambarkan apa yang disebut Bungaran Saragih (2020) sebagai "tumbuh tanpa pembangunan". Ini ditandai dengan empat hal. Pertama, peternak rakyat tetap gurem, tercecer, dan tidak terorganisasi kala berkompetisi. Kedua, industri hilir perunggasan belum berkembang. Saat ini 90 persen daging ayam (produksi peternak rakyat dan integrator) dijual dalam bentuk hidup di lapak yang sama: pasar basah. Ketiga, hampir semua input produksi bergantung pada impor, yang bukan hanya GPS, tapi juga input pakan (bungkil jagung dan kedelai). Keempat, kebijakan publik yang mudah berubah dan tidak konsisten yang justru merugikan petani atau industri.

Situasi ini memerlukan perhatian serius. Ekonomi bisa saja tumbuh, tapi tidak menjadi lebih baik. Tumbuh artinya menjadi lebih besar dengan nilai bisnis bertambah. Namun pertumbuhan itu tidak disertai dengan peningkatan efisiensi, produktivitas, daya saing, kemampuan menghadapi risiko dan ketidakpastian, kemampuan mengikuti tuntutan pasar, serta tidak disertai dengan peningkatan keberlanjutan dan keadilan. Sejatinya, tumbuh tanpa pembangunan ini tak hanya pada perunggasan. Kita mengalami masalah berulang dari tahun ke tahun karena tak menyadari "pertumbuhan tanpa pembangunan" ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus