Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan menjadi Kepala Kepolisian RI baru.
Polisi tidak hanya bergerak atas dasar kehadiran negara, tapi juga atas dasar paradigma kehadiran masyarakat.
Pembenahan internal Polri perlu dilakukan, dari masalah penyiksaan hingga penegakan hukum di daerah zona terorisme.
Edwin Partogi Pasaribu
Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam waktu dekat, bila tidak ada aral melintang, Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo akan menjadi Kepala Kepolisian RI (Polri) baru. Hal ini tidak hanya dapat dilihat sebagai pergantian rutin karena pejabat lama pensiun. Urgensi jabatan ini terlihat dari bursa calon yang selalu ramai di jagat pemberitaan karena jabatan prestisius tersebut didambakan banyak jenderal polisi, termasuk koleganya, politikus, dan pemangku kepentingan lain. Pergantian Kapolri juga dimaknai sebagai harapan akan perubahan paradigma kepolisian dalam menanggapi perkembangan zaman, pandemi Covid-19, dan dinamika penegakan hukum yang masih punya banyak catatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai aktor keamanan nasional, polisi sesungguhnya tidak hanya bergerak atas dasar kehadiran negara, tapi juga atas dasar paradigma kehadiran masyarakat. Dua paradigma yang berbeda ini dapat membawa konsekuensi yang sangat khas bagi polisi. Jika ditempatkan secara menyeluruh pada paradigma negara, polisi sebagai institusi akan didorong untuk masuk ke suatu sistem politik yang non-demokratis, baik dalam bentuk totaliter maupun otoriter.
Terminologi "negara polisi" (police state), "polisi politik", dan "militarized police" dapat muncul jika paradigma itu digunakan secara maksimal dan ekstrem. Substansi dari seluruh terminologi ini adalah bahwa polisi hadir terutama untuk memperkuat keutuhan negara (state building) dan memelihara rezim (regime preservation). Kehadiran polisi untuk pembangunan negara berarti polisi sebagai aktor keamanan, seperti halnya tentara, yang dapat digunakan dan instrumental mengatasi konflik yang dapat merongrong dan meruntuhkan negara, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Kehadiran polisi untuk pemeliharaan rezim berarti ia digunakan sebagai instrumen efektif untuk membungkam dan meniadakan oposisi politik terhadap pemerintah.
Sangat berbeda dengan paradigma di atas, paradigma masyarakat menempatkan kehadiran polisi bukan untuk melayani kepentingan rezim, melainkan untuk melayani kepentingan masyarakat. Karena itu, polisi, menurut paradigma ini, akan ditempatkan dalam kerangka sistem politik yang demokratis. Dalam kasus yang ekstrem, paradigma ini bahkan mengatakan, jika negara runtuh, polisi masih tetap hadir karena masyarakat membutuhkannya.
Penggunaan beberapa istilah, seperti "polisi sipil" (civilian police), "pemolisian demokratis" (democratic policing), "pemolisian komunitas" (community policing), dan "pemolisian kolektif" (collective policing) sangat dipengaruhi oleh paradigma ini. Substansinya, polisi harus lebih dekat kepada masyarakat daripada kepada negara, harus dikendalikan, dan masyarakat memiliki kemampuan melakukan pemolisian bagi dirinya (Keliat, 2008).
Beberapa catatan publik yang muncul akhir-akhir ini dapat menjadi pekerjaan rumah bagi Kapolri baru. Pertama, mekanisme penegakan hukum seperti apa yang akan diterapkan Kapolri dalam menyikapi kasus penyiksaan yang dilakukan oknum anggotanya? Praktik penyiksaan masih menjadi catatan masyarakat sipil. Tindakan brutal polisi ini dapat dilihat dari data Kontras, yang mencatat 62 kasus penyiksaan sepanjang Mei 2019-Juni 2020. Pelaku dominannya polisi, sebanyak 48 kasus. Dari keseluruhan kasus, terdapat 220 korban dengan rincian 199 korban luka dan 21 korban tewas.
Menurut catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada 2020 terdapat 13 permohonan perlindungan perkara penyiksaan, turun dari tahun 2019 dengan 24 permohonan. Penurunannya sebesar 54 persen. Namun, bila merujuk pada jumlah terlindung, pada 2020 terdapat 37 terlindung LPSK dari peristiwa penyiksaan. Peristiwa terakhir yang menarik perhatian adalah yang dikenal sebagai peristiwa KM 50, yang menewaskan enam anggota laskar Front Pembela Islam. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia meminta agar peristiwa ini diproses dalam mekanisme peradilan pidana umum. Sebaiknya Kapolri mencontoh Kepala Staf Angkatan Darat yang dengan tegas memproses hukum oknum TNI dalam peristiwa Intan Jaya di Papua.
Dalam kasus penyiksaan, di lapangan masih ditemui banyak tantangan, seperti intervensi oknum kepada korban atau keluarganya agar mencabut laporan. Hal ini dilakukan baik dengan penyelesaian secara "kekeluargaan" maupun intimidasi dan ancaman laporan balik, seperti pencemaran nama.
Umumnya, kasus penyiksaan diselesaikan dengan mekanisme internal etik atau disiplin dibanding proses peradilan pidana. Hal ini membuat masyarakat mempertanyakan prinsip persamaan di depan hukum dan efek jeranya. Penyiksaan memang masih menyisakan masalah regulasi karena tidak ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sehingga disamakan dengan penganiayaan. Namun penyiksaan sebenarnya telah diatur dalam beberapa regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Kedua, bagaimana Kapolri menyikapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir? Kepolisian Daerah Metro Jaya telah menangani 443 kasus hoaks dan ujaran kebencian pada 2020. Sebanyak 1.448 akun media sosial telah ditutup dan 14 kasus disidik hingga tuntas. Pertanyaan yang sering muncul atas perkara ini adalah sejauh mana Polri bertindak imparsial tanpa melihat afiliasi politik dari para pelakunya.
Ketiga, bagaimana pendekatan restorative justice yang akan dikembangkan Polri? Telah menjadi rahasia umum bahwa penjara saat ini kelebihan kapasitas. Hal ini, secara sederhana, disebabkan oleh tingginya jumlah narapidana yang masuk, tak berbanding lurus dengan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Situasi ini sebaiknya disikapi Polri dengan menggunakan pendekatan restorative justice sebagai alternatif penyelesaian tindak pidana, misalnya, untuk narapidana dengan ancaman hukuman di bawah 5 tahun penjara, guna memberikan keadilan dan keseimbangan bagi pelaku maupun korban serta mencegah penyebaran Covid-19 di penjara.
Keempat, bagaimana upaya Kapolri dalam memerangi korupsi di korpsnya? Kasus surat palsu Joko Tjandra, yang tidak terlepas dari praktik suap, telah menyeret dua jenderal polisi sebagai terdakwa. Apresiasi patut diberikan kepada Polri yang menindak oknum jenderal dalam perkara ini. Namun praktik suap dan pungutan liar masih kerap menjadi keluhan masyarakat ketika berhadapan dengan polisi. Ini merupakan tugas Kapolri agar pelayanan dan proses hukum yang berlangsung di lembaganya bersih dari praktik transaksional yang dapat menghilangkan kepercayaan publik terhadap organisasi layanan masyarakat ini.
Tentu kita berharap istilah yang disampaikan Maurice Punch dalam bukunya, Police Corruption: Deviance, Accountability, and Reform in Policing (2009), tidak perlu kita sematkan kepada Polri. Maurice mengatakan, "Soal sebenarnya bukan apel yang busuk. Soalnya adalah kebunnya yang busuk."
Kelima, kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan masih menjadi keprihatinan nasional. Pada masa pandemi, menurut catatan LPSK, terdapat 245 permohonan atas kasus ini pada 2020, turun 31,75 persen dibanding pada 2019. Korban bukan hanya orang dewasa dan anak-anak, tapi juga anak di bawah usia 5 tahun. Pelaku dalam perkara ini beragam. Sebanyak 30,3 persen pelaku dari kalangan keluarga dan 37,1 persen adalah orang yang tidak dikenal. Salah satu modus yang berkembang dari kejahatan ini adalah grooming hingga pemerasan. Namun banyak pelaku lainnya terpengaruh konten pornografi di media sosial. Polri dituntut aktif melakukan patroli siber untuk memerangi konten pornografi di dunia maya.
Keenam, bagaimana strategi kolaborasi dan sinergi Polri dalam penegakan hukum bersama LPSK, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan lainnya? Koordinasi dan sinergi merupakan situasi yang diharapkan agar tercapai kolaborasi bagi kepentingan penegakan hukum. Namun praktiknya tidaklah mudah. Ego sektoral selalu menjadi penghambat. Kapolri diharapkan mampu membangun koordinasi dan sinergi ini yang tidak hanya berhenti sebagai slogan. LPSK mengapresiasi kolaborasi yang telah terbangun dengan Polri dalam kasus terorisme dan perdagangan orang. LPSK berharap kolaborasi serupa dapat dilakukan dalam penanganan kasus korupsi dan tindak pidana lainnya.
Ketujuh, bagaimana strategi Polri untuk meningkatkan keamanan dan penegakan hukum di daerah zona terorisme, seperti Sulawesi Tengah dan kelompok kekerasan bersenjata di Papua, yang berpotensi menyebabkan jatuhnya korban dari kalangan masyarakat? Misalnya, banyak permukiman di pedalaman Sulawesi Tengah yang kurang mendapat perhatian keamanan sehingga terjadi kasus Sigi. Saya melihat kurang optimalnya perhatian Polri terhadap anggotanya yang ditugaskan di Intan Jaya, Papua. Polri sepatutnya meningkatkan perhatian kepada anggota yang bertugas di zona merah dengan memberikan penghargaan, perlengkapan teknologi, dan kendaraan serta waktu penugasan yang mempertimbangkan situasi psikologis anggota.
Semoga Kapolri baru dapat menuntaskan tugas berat ini. Program Polri Profesional, Modern, dan Terpercaya (Promoter) yang pernah dicanangkan mantan Kepala Polri Tito Karnavian masih layak dilanjutkan. Prestasi yang telah diraih selama ini harus terus ditingkatkan dengan membuktikan diri sebagai abdi negara bagi terciptanya keamanan, ketertiban, dan penegakan hukum yang imparsial. Jadilah Kapolri yang "merah-putih", untuk bangsa dan negara, bukan yang mengabdi kepada golongan tertentu. Ini tentu tidak mudah, tapi tak terhindarkan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo