Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembungkaman aktivis di Kalimantan Timur dengan modus tes swab menjadi ancaman baru di masa pandemi.
Pemerintah tampaknya lebih takut kepada sikap kritis masyarakat ketimbang kepada virus corona.
Pemerintah harus memastikan bahwa penanggulangan wabah adalah semata-mata untuk kepentingan kesehatan publik.
Julio Achmadi
anggota Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konflik di berbagai wilayah Indonesia tidak berhenti selama masa pandemi Covid-19. Beberapa kasus kekerasan justru mencuat, khususnya terhadap mereka yang aktif melakukan kerja-kerja pembelaan hak asasi manusia dan mengkritik pemerintah. Upaya pembungkaman tiga aktivis di Kalimantan Timur dengan modus tes swab pada Juli lalu menjadi indikasi munculnya ancaman baru di tengah pandemi corona. Pemerintah harus memastikan bahwa penanggulangan wabah adalah semata-mata untuk kepentingan kesehatan publik dan menjamin tidak terjadinya pemanfaatan situasi demi kepentingan pihak tertentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus pembungkaman aktivis itu diawali pada 29 Juli lalu ketika lima orang petugas, yang mengaku berasal dari Dinas Kesehatan Kota Samarinda, mendatangi kantor Sekretariat Kelompok Kerja 30 atau Pokja 30 dan kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur, yang letaknya bersebelahan, dengan alasan mengambil sampel dahak sejumlah aktivis untuk mendeteksi Covid-19. Keesokan harinya, petugas menyatakan tiga aktivis dinyatakan positif corona dan diminta menjalani karantina di rumah sakit tanpa menyerahkan bukti hasil tes. Mereka menolaknya. Keesokannya lagi, serombongan polisi, anggota Satuan Polisi Pamong Praja, dan petugas Dinas Kesehatan menjemput paksa tiga aktivis tersebut. Direktur Walhi Kalimantan Timur Yohana Tiko mencurigai tes swab dijadikan alat pembungkaman baru akibat aktivitas para aktivis yang sedang mengadvokasi kasus tumpahan minyak di Balikpapan, penolakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, serta Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).
Kasus yang menimpa tiga aktivis itu menunjukkan masih kacaunya prosedur penanganan Covid-19, khususnya terkait dengan pemenuhan hak pasien. Undang-Undang Kesehatan menjamin hak-hak pasien, termasuk untuk mendapatkan informasi tentang data kesehatan diri dari tenaga kesehatan. Berdasarkan undang-undang itu, mereka berhak memperoleh informasi mengenai hasil pemeriksaan laboratorium sebelum diproses lebih lanjut, dan juga berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya.
Prosedur penjemputan paksa itu juga tak sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020, yang menyatakan bahwa kasus konfirmasi tanpa gejala, atau yang dulu dikenal sebagai "orang tanpa gejala" (OTG), diminta menjalani isolasi mandiri. Pelibatan aparat gabungan polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja juga harus dicurigai telah melanggar fungsi dan wewenang mereka, karena tidak ada landasan hukum yang memberikan kewenangan kepada mereka untuk melakukan penjemputan paksa dalam kasus Covid-19.
Kasus ini merupakan bentuk pemberitahuan terselubung bahwa "aktivitasmu berada dalam pengawasan kami", terutama melalui tes swab, yang jika disalahgunakan dapat menjadi akses untuk memperoleh data pribadi seseorang. Dugaan pembungkaman terhadap aktivis lingkungan hidup ini bukanlah suatu hal yang mengada-ada, terutama jika kita melihat peningkatan kekerasan yang ditujukan secara sistematis terhadap pembela hak asasi di masa pandemi. Selain kriminalisasi, modus lain adalah pembubaran diskusi kritis, seperti yang terjadi pada diskusi mengenai hukum pemberhentian presiden di Universitas Gadjah Mada; dan serangan digital, seperti yang terjadi terhadap Ravio Patra dan Tantowi Ansori. Bukan tidak mungkin nantinya tes swab akan menjadi modus baru yang semakin sering digunakan.
Kejadian-kejadian di atas jelas bukan kebetulan semata. Saya merasa ada pesan yang ingin disampaikan, yakni untuk tidak macam-macam selama pandemi jika tidak mau dihabisi. Pesan yang begitu represif dan intimidatif ini sejalan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengadopsi pendekatan keamanan di masa pandemi, seperti wacana darurat sipil, penerbitan Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 yang mengatur mengenai tindakan penghinaan terhadap pejabat negara selama pandemi, pelarangan demonstrasi, pelibatan para jenderal dalam Gugus Tugas Covid-19, hingga pelibatan kepolisian dan Tentara Nasional Indonesia di ruang-ruang publik dalam penanggulangan pandemi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih takut kepada sikap kritis masyarakat ketimbang kepada virus corona itu sendiri.
Pemerintah seharusnya justru menjamin perlindungan hak warga negara, bahkan di masa pandemi sekalipun. Tidak boleh ada celah aji mumpung bagi segelintir orang untuk memanfaatkannya demi kepentingan pihak tertentu. Untuk itu, pemerintah harus bergegas melakukan serangkaian tindakan sebagai berikut. Pertama, pemerintah harus memastikan bahwa tes swab dilakukan semata-mata untuk kepentingan kesehatan masyarakat. Kedua, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mendalami dugaan pelanggaran protokol kesehatan dan penyalahgunaan wewenang petugas dalam kasus Kalimantan Timur. Ketiga, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berkoordinasi dengan penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus kekerasan terhadap para aktivis.
Keempat, pemerintah mencabut semua aturan yang mengadopsi pendekatan keamanan yang berpotensi melanggar hak-hak sipil dan politik masyarakat serta berfokus pada pendekatan kesehatan. Kelima, Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah harus menunda pembahasan undang-undang yang bermasalah dalam situasi pandemi. Keenam, pemerintah secara aktif berupaya menyelesaikan konflik yang terus terjadi selama pandemi dan memastikan perlindungan terhadap masyarakat yang kritis dan terlibat dalam kerja-kerja pembelaan hak asasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo