Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi memicu spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah.
Pemerintah gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim.
Pemerintah berusaha mendapat dukungan sebesar mungkin dari institusi peradilan melalui pembentukan undang-undang ini.
Idul Rishan
Penulis buku Kebijakan Reformasi Peradilan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu beragam spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Beragam kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.
Sedari awal, pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan, dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenai hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.
Kita tidak bisa menafikan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini, kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.
Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.
Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahulunya. Imbasnya, interpretasi hakim dalam memutus perkara kerap berseberangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.
Pola kedua, sebaliknya, hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.
Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan-kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interpretasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa di antaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma'ruf mencoba berjudi dengan perubahan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka, yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interpretasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya institusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo