Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyebaran hoaks atau berita bohong mengenai Covid-19 terus terjadi.
Masalah kualitas literasi yang rendah dari masyarakat lebih mengkhawatirkan ketimbang perilaku penyebar hoaks.
Penanganan penyebaran berita hoaks tak bisa semata dengan cara menghukum orang.
Petrus Richard Sianturi
Pendiri Legal Talk Society
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebaran hoaks atau berita palsu mengenai Covid-19 telah menelan korban. Setelah kasus menghebohkan Jerinx, penabuh drum Superman is Dead, yang dipenjara karena didakwa menyebarkan ujaran kebencian dan pencemaran nama terhadap Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali, kini muncul kasus Louis Owien. Sang dokter terancam dipenjara karena mengaku tidak percaya pada Covid-19 dan dianggap telah menyebarkan kebohongan dan keonaran di masa pandemi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada banyak berita bohong yang tersebar selama pandemi, dan tentu pelakunya bukan hanya mereka berdua itu. Hingga Mei 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat tidak kurang dari 1.733 berita bohong mengenai Covid-19 dan vaksin tersebar di berbagai kanal media sosial. Berdasarkan Katadata Insight Center pada November 2021, 60 persen masyarakat masih mudah percaya pada hoaks. Hal ini juga bisa dipahami karena media sosial masih menjadi rujukan yang lebih diminati daripada, misalnya, situs resmi pemerintah atau koran-koran kredibel.
Fakta itu menunjukkan bahwa masalah kualitas literasi yang rendah dari masyarakat Indonesia lebih mengkhawatirkan ketimbang perilaku menyebarkan hoaks itu sendiri. Dihukumnya Jerinx ternyata tidak membuat bahkan seorang dokter untuk tak ikut menyebarkan berita bohong yang serupa: Covid-19 tidak ada atau saya tidak percaya Covid-19. Jadi, memperkuat sarana dan prasarana untuk perbaikan kualitas penyebaran informasi menjadi hal yang lebih krusial daripada merasa mencatat prestasi karena telah menghukum orang.
Perlu diakui dengan jujur bahwa penanganan pandemi sejak awal sering membingungkan. Saya tidak mau menyebutkan berapa kali kebijakan pengetatan kegiatan masyarakat berubah nama tanpa ada perubahan substansial dalam praktiknya. Belum lagi ketidakpastian hukum yang sering terjadi dalam penegakan aturan dalam penanganan pandemi. Ada pula kasus korupsi besar dua menteri aktif yang membuat rakyat marah. Tentu ada drama-drama politik lain yang melelahkan.
Mudah menyebarnya hoaks mengenai Covid-19 merupakan ekses langsung dari kondisi-kondisi di atas. Masyarakat disuguhi kebijakan yang membingungkan dan pada saat yang sama menerima serbuan "informasi alternatif" secara online. Informasi alternatif yang bermacam-macam ini memberi ruang bagi pembacanya, yang literasinya kurang baik, menjadi mudah percaya, apalagi di kalangan anak muda. Peneliti Stanford Graduate School of Education (2016) menemukan bahwa siswa tingkat sekolah menengah dan bahkan mahasiswa memiliki masalah dalam mengevaluasi kualitas informasi online.
Dalam konteks Indonesia, kondisi ini semakin parah dengan polarisasi yang masih terjadi akibat Pemilihan Umum 2019 karena kepercayaan orang pada suatu informasi juga ditentukan oleh identitas, motivasi, bahkan ideologi pribadi. Pada bagian ini, mereka menimbang informasi, termasuk informasi kredibel berdasarkan ilmu pengetahuan, tidak bisa lepas dari keyakinan mereka sendiri. Orang-orang semacam ini sengaja menolak kebenaran, bukan karena mereka tidak tahu bahwa itu yang benar, melainkan karena mereka tidak mau.
Lantas bagaimana melihat masalah ini dalam kacamata hukum. Jika yang terjadi adalah soal kepercayaan atau keyakinan orang, sehingga dia menegasikan kebenaran suatu informasi yang kredibel, apakah hukum (pidana) bisa bekerja?
Apa pun alasannya, keyakinan orang tidak bisa dihukum. Tapi ada syarat terbatas di Indonesia tentang hal ini. Keyakinan yang telah diimplementasikan dalam perbuatan bisa dihukum karena implementasi itu membuat ketidaktertiban di masyarakat. Masalahnya, ukuran ketidaktertiban ini tidak pernah jelas. Sebagai contoh, sejauh mana ketidaktertiban bisa dilihat karena dokter Louis yang berteriak tidak percaya Covid-19 itu? Bisakah ditentukan ukuran tentang berapa orang yang akhirnya mengikuti dokter itu sehingga membuat penanganan pandemi menjadi tidak efektif?
Untuk itu, kasus-kasus berita bohong, yang kelihatannya masih akan banyak terjadi di masa depan, tidak bisa ditempatkan semata-mata dalam soal hukum-menghukum. Fenomena Jerinx membuktikan bahwa penyebar berita bohong yang dihukum tidak memiliki korelasi positif dengan berkurangnya berita bohong di masyarakat. Pelakunya berkembang karena kejahatan ini juga sangat kompleks. Replikasi cara penyebaran berita bohong berjalan bersamaan dengan dilakukannya penegakan hukum, yang dalam istilah sederhana: sia-sia saja.
Upaya yang lebih masuk akal adalah pemerintah dan semua pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan mengenai pandemi ini betul-betul memperbaiki keputusan-keputusan politik mereka. Buat kebijakan yang terukur dan jelas. Berdayakan semua kanal online pemerintah untuk informasi-informasi yang didasari bukti dan berbasis ilmu pengetahuan. Pemerintah harus semakin memperbanyak kerja sama dengan masyarakat sipil dalam penyebaran informasi yang kredibel melalui berbagai macam kegiatan. Semua ini dilakukan untuk pelan-pelan memperbaiki kualitas literasi masyarakat kita.
Banyak orang masih berpikir bahwa hukum hanyalah soal pasal-pasal kaku dalam sebuah kitab undang-undang. Penegakan hukum juga berhubungan dengan budaya hukum masyarakatnya. Budaya hukum ini mengandung semangat preventif atau mencegah terjadinya suatu kejahatan. Pencegahan munculnya fenomena-fenomena Jerinx dan dokter Louis tidak tercapai hanya dengan menghukum, melainkan dengan memperbaiki kualitas literasi masyarakat, bukan nanti melainkan sekarang juga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo