Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buruknya implementasi kebijakan publik adalah soal komunikasi.
Banyak opini negatif muncul karena komunikasi kebijakan yang masih diberi peran pinggiran.
Pemerintahan Jokowi harus memperbaiki komunikasi kebijakannya.
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu masalah mendasar yang menyebabkan buruknya implementasi kebijakan publik di Indonesia adalah soal komunikasi. Banyak opini publik yang terbentuk dengan tendensi negatif karena komunikasi kebijakan masih diberi peran pinggiran. Sebut saja, misalnya, bagaimana masalah mendasar dalam penanganan pandemi Covid-19, dari pembatasan sosial berskala besar (PSBB), distribusi bantuan, hingga vaksin.
Kunci utama negara demokratis adalah keterbukaan menerima masukan dan memberi porsi memadai bagi komunikasi deliberatif. Ini jenis komunikasi yang menghargai dan menghormati proses kolaborasi, partisipasi, dan konsultasi, bukan komunikasi instruksi yang memaksakan kehendak kelompok berkuasa. Catatan kritis ilmuwan Paul-Michel Foucault dalam Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977 (1980) hingga sekarang masih relevan untuk dijadikan renungan. Menurut dia, kekuasaan kerap kali dipahami keliru, yakni sebagai kapasitas agen dalam memaksakan kehendaknya kepada orang atau pihak yang tak berdaya. Dampaknya, kekuasaan miskin penghormatan dan dukungan yang berpengaruh pada hilangnya kepercayaan meskipun bisa jadi kelompok yang tak puas tersebut menjadi mayoritas diam.
Sebagus apa pun kebijakan, ia akan menjadi sia-sia dan berantakan jika komunikasinya amburadul, seperti ragam kebijakan kontroversial pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam menangani pandemi Covid-19. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, misalnya, justru didominasi opini bahwa peraturan ini membuka celah bagi pejabat untuk korupsi. kebijakan soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga dianggap keluar pada waktu yang tidak tepat, sehingga semakin terasa menyesakkan masyarakat akibat lemahnya narasi komunikasi pemerintah.
Kebijakan yang sangat kontroversial adalah tetap digelarnya pemilihan kepala daerah di tengah angka kasus Covid-19 tinggi. Sejumlah organisasi massa Islam, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta lembaga swadaya masyarakat kompak meminta pemilihan tidak digelar. Polemik berbulan-bulan tersebut menandai adanya proses yang kurang baik antara kehendak yang dibangun pemerintah, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Perwakilan Rakyat dengan harapan masyarakat. Argumen mengapa pemerintah tetap menggelar pilkada seharusnya masif disebar ke khalayak luas. Begitu pula dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Clarke E. Cochran dalam American Public Policy: Introduction (1999) menyebutkan, kebijakan publik merupakan hasil dari pertarungan dalam pemerintahan, sehingga seseorang mendapatkan sesuatu. Dalam menyusun dan mengesahkan undang-undang sudah pasti ada pergulatan, dialektika, dan bahkan mungkin pertarungan nilai, gagasan, serta kepentingan. Pemerintah juga tentu memiliki proyeksi terhadap prospek penerimaan khalayak atas kebijakan tersebut. Itulah mengapa sebelum kebijakan publik tersebut memapar khalayak, sudah seharusnya peta jalan komunikasinya juga disusun dan dilaksanakan. Sangat mungkin separuh lebih masalah kebijakan muncul karena buruknya komunikasi.
Paling tidak ada tiga komponen utama yang mesti diperbaiki dalam salah kaprah komunikasi kebijakan ini. Pertama, sumber daya manusia (SDM). Komunikasi Jokowi tidaklah cukup. Ia harus ditunjang oleh ragam orang yang berkompeten dalam mengelola isu dan manajemen krisis.
Kedua, penyiapan dan optimalisasi peran organ komunikasi kebijakan. Salah satu karakter utama birokrasi adalah ketergantungan antar-sektor. Setiap komunikasi kebijakan memerlukan koordinasi lintas sektoral. Birokrasi sesungguhnya sudah memiliki SDM untuk menangani komunikasi organisasi. Masalahnya terletak pada koordinasi yang kerap melahirkan persoalan serius, yakni kuatnya ego sektoral.
Ketiga, protokol komunikasi yang jelas dan menjadi panduan. Komunikasi itu bersifat irreversible. Apa yang sudah disampaikan tidak bisa ditarik lagi. Contohnya, beredarnya surat Staf Khusus Milenial, Aminuddin Ma’ruf, yang memerintahkan Dewan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam menghadiri pertemuan yang membahas Undang-Undang Cipta Kerja. Surat ini menjadi blunder. Meskipun istana mengklarifikasi, tapi prinsip irreversible berlaku.
Pemerintah Jokowi harus menempatkan penanganan komunikasi kebijakan sebagai hal utama. Kini saatnya untuk menghentikan salah kaprah komunikasi kebijakan. •
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo