Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Skenario Pembunuhan KPK

Sebanyak 75 pegawai KPK dinonaktifkan karena tidak lulus tes wawasan kebangsaan. Inilah akhir dari skenario pelemahan komisi antirasuah.

17 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tes wawasan kebangsaan berujung pada penonaktifan 75 pegawai KPK.

  • Tes ini melanggar hukum dan etika publik.

  • Apa sebenarnya motif pimpinan KPK memaksakan penyelenggaraan tes ini?

Kurnia Ramadhana
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mimpi buruk itu pun akhirnya menjadi kenyataan. Setelah digempur habis-habisan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membenarkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kali ini giliran puluhan pegawai lembaga antirasuah itu dinonaktifkan karena gagal melewati tes wawasan kebangsaan. Hal ini kian menambah panjang rentetan kesuraman KPK di bawah komando Firli Bahuri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum masuk pada substansi tulisan, ada baiknya mengulas lebih dulu ihwal tes wawasan kebangsaan yang diikuti seluruh pegawai KPK. Penting untuk ditekankan bahwa tes yang diinisiasi oleh pimpinan KPK melalui Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 itu melanggar hukum dan etika publik. Betapa tidak, mekanisme tes ini sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang KPK yang baru dan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020. Bahkan Mahkamah menegaskan bahwa alih status kepegawaian KPK tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. Namun semua aturan itu dianggap angin lalu saja oleh pimpinan KPK.

Tes wawasan kebangsaan juga bertentangan dengan etika publik. Namun, untuk tiba pada kesimpulan ini, sebaiknya memahami lebih dulu definisi tes ini. Merujuk pada penjelasan Badan Kepegawaian Negara, tes wawasan kebangsaan adalah tes yang bertujuan menguji seberapa baik wawasan dan pengetahuan calon aparat sipil negara (ASN) tentang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, nasionalisme, bahasa Indonesia, dan pilar negara. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan kepada pegawai KPK sangat bertolak belakang dengan definisi tersebut, seperti apakah bersedia lepas jilbab, apakah ketika salat subuh membaca doa kunut, dan apakah bersedia menjadi istri kedua. Melihat pertanyaan itu, semakin jelas bahwa tes wawasan kebangsaan tersebut absurd, irasional, dan tidak relevan dengan kerja penindakan ataupun pencegahan korupsi.

Jadi, apa sebenarnya motif pimpinan KPK memaksakan penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan yang berujung pada penonaktifan 75 pegawai? Setidaknya ada empat analisis untuk memahami hal tersebut. Pertama, upaya pembalasan Firli Bahuri terhadap sikap sejumlah pegawai KPK. Dugaan ini terkonfirmasi tatkala nama-nama pegawai yang dulu sempat memeriksa dugaan pelanggaran etik Firli saat masih menjabat Deputi Penindakan, salah satunya Herry Muryanto, eks Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK, masuk dalam daftar pemberhentian. Selain itu, mayoritas penyidik yang diberhentikan juga sempat melayangkan protes kepada pimpinan KPK periode lalu saat Firli diduga melakukan banyak pelanggaran, seperti memperlakukan secara khusus seorang saksi, menghambat jalannya pengusutan sebuah perkara, tingkat kebocoran informasi yang tinggi, dan adanya kesulitan saat ingin melakukan penggeledahan.

Kedua, membubarkan Wadah Pegawai KPK. Jika dicermati, dari daftar nama pegawai yang diberhentikan, terdapat sejumlah pengurus inti organisasi internal kepegawaian KPK itu. Satu di antaranya adalah Yudi Purnomo, Ketua Wadah Pegawai. Sebelumnya, Wadah Pegawai dikenal sebagai organisasi yang kerap bersuara lantang tatkala ada upaya memperlemah lembaga antirasuah itu, mulai dari mengkritik kebijakan pimpinan KPK, penolakan revisi Undang-Undang KPK, hingga mengkritik calon pimpinan KPK bermasalah. Ini semakin mengkonfirmasi langkah Firli yang ingin menihilkan nilai demokrasi di tubuh KPK.

Ketiga, menghambat jalannya perkara besar yang sedang diusut KPK. Bisa dibayangkan, mayoritas karyawan yang diberhentikan oleh Firli adalah penyidik perkara besar, seperti Novel Baswedan, penyidik perkara korupsi KTP elektronik dan suap serta gratifikasi Nurhadi; Praswad Nugraha, penyidik perkara korupsi bantuan sosial di Kementerian Sosial; dan Ambarita Damanik, penyidik perkara suap ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jika pemberhentian ini tidak dicegah, bukan tidak mungkin perkara besar tersebut akan mandek dan berpotensi dihentikan penyidikannya.

Keempat, menyasar posisi-posisi jabatan strategis di KPK. Dari daftar nama yang beredar di pemberitaan, terdapat orang-orang yang mengisi jabatan penting di KPK, seperti Chandra Sulistio, Kepala Biro Sumber Daya Manusia; Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi; Giri Suprapdiono, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi; serta Rasamala Aritonang, Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum. Besar kemungkinan Firli ingin menempatkan orang-orangnya untuk mengisi jabatan strategis itu agar bisa mengontrol sumber daya manusia dan menguasai jaringan KPK serta menciptakan produk hukum kontroversial lainnya.

Di luar itu, ada satu fenomena menarik di balik pengumuman tes wawasan kebangsaan, yakni kemunculan para pendengung (buzzer) yang membawa narasi usang di media sosial dan membela Firli Bahuri. Salah satunya adalah Denny Siregar, yang kompak menggaungkan isu Taliban dan radikalisme di KPK. Ini memperlihatkan kegagalan berpikir yang diikuti analisis dangkal dalam menanggapi suatu permasalahan. Ini sekaligus juga menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam menghasilkan argumentasi kuat tatkala mayoritas masyarakat memprotes hasil tes wawasan kebangsaan ini.

Menyikapi persoalan ini, Dewan Pengawas KPK, yang memiliki mandat berupa pengawasan, evaluasi, dan memeriksa dugaan pelanggaran etik, mesti segera bertindak. Sebab, pelanggaran yang dilakukan oleh pimpinan KPK ini telah tampak secara terang benderang. Dewan harus memanggil, menyidangkan, dan bahkan menjatuhkan hukuman bagi pimpinan KPK, yang kembali menciptakan kebijakan yang bertentangan dengan kode etik lembaga tersebut. Jika hal ini tidak juga dilakukan, menjadi wajar bila masyarakat menilai bahwa kehadiran Dewan tak lebih dari sekadar "tukang stempel" yang mengesahkan kebijakan kontroversial pimpinan KPK.

Inilah akhir dari skenario pelemahan KPK sepanjang era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah tampak tak merasa cukup merevisi Undang-Undang KPK dan memasukkan pimpinan bermasalah, tapi lembaga antirasuah ini harus pula kehilangan punggawa-punggawa terbaiknya melalui tes wawasan kebangsaan. Maka, kesimpulan yang dapat diambil untuk menutup tulisan ini adalah sejak awal negara memang tidak menginginkan pemberantasan korupsi berjalan secara optimal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus