Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi memberikan Bintang Mahaputra Nararya kepada dua sosok oposan, Fadly Zon dan Fahri Hamzah.
Pemberikan tanda kehormatan adalah bentuk politik akomodasi yang menggunakan cara halus dan simbolik.
Tanda kehormatan itu seharusnya jangan menjadi instrumen kekuasaan untuk politik akomodasi.
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian tanda kehormatan Bintang Mahaputra Nararya kepada dua sosok yang selama ini dikenal sebagai oposan pemerintahan Jokowi, Fadly Zon dan Fahri Hamzah, menuai polemik. Muncul kritik bertubi-tubi, apa urgensi pemberian tanda kehormatan tersebut? Lebih jauh lagi, harus ada kejelasan tujuan dan kualifikasi dalam pemberian tanda kehormatan dari negara kepada seseorang atau lembaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, tanda kehormatan dimaknai sebagai penghargaan negara yang diberikan oleh presiden kepada seseorang, kesatuan, institusi pemerintah, atau organisasi atas darmabakti serta kesetiaan luar biasa terhadap bangsa dan negara. Ada tiga jenis tanda kehormatan, yakni Bintang, Satyalencana, dan Samkaryanugraha. Tanda kehormatan bintang sendiri terdiri atas bintang sipil dan bintang militer. Khusus untuk bintang sipil ada tujuh jenis, salah satunya Bintang Mahaputra. Fahri dan Fadly diberi Bintang Mahaputra Nararya. Selain Nararya, ada Bintang Mahaputra Pratama, Utama, Adipradana, dan Adipurna.
Namun setiap rezim yang berkuasa sering memiliki tafsir subyektif. Pemberian tanda kehormatan kerap dilakukan atas dasar hubungan kekuasaan. Sejak era Sukarno, Soeharto, hingga Jokowi, pemberian tanda kehormatan tidak selalu dilandasi kualifikasi kelayakan dan kepatutan yang benar-benar menakjubkan. Bisa dibilang, sebagian dari pemberian tanda kehormatan menjadi instrumen politik rezim yang berkuasa.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menyebutkan syarat umum penerima tanda kehormatan antara lain memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, serta tidak pernah dipidana. Di sini sangat terbuka celah tafsir tentang siapa yang berhak menerima. Pun jika membaca syarat khususnya, seperti berjasa luar biasa serta darmabakti diakui secara luas di tingkat nasional dan internasional, masih memungkinkan tafsir terbuka oleh penguasa. Misalnya, salah satu dasar pemberian tanda kehormatan kepada Fahri dan Fadly adalah mereka pejabat negara yang sudah menyelesaikan jabatannya selama satu periode. Apakah sesederhana itu? Apakah semua pejabat yang menjadi pemimpin di Dewan Perwakilan Rakyat dalam satu periode jabatan bersama Fadly Zon dan Fahri juga menerima bintang kehormatan yang sama?
Dari sisi normatif dan pendekatan legal formalistis, pemberian tanda kehormatan kepada keduanya tak bisa dipersoalkan. Namun, secara substantif, pemberian tanda kehormatan seyogianya tidaklah menjadi kemubaziran simbol (symbol pleonasm) akibat terlalu longgarnya kriteria yang ditetapkan penguasa.
Tanda kehormatan sering diletakkan dalam konteks pendekatan public relation politik, sebut saja model pendekatan Grunigian. Menurut Grunig dan Hunt dalam Managing Public Relations (1984), tindakan pokok pendekatan ini adalah mengembangkan keuntungan bersama. Dalam konteks tanda kehormatan, pemerintah bisa mendapat dukungan dari orang-orang yang diberi kemuliaan dengan tanda kehormatan itu, sementara bagi penerima ada justifikasi atas ketokohannya di republik ini. Keuntungan bersama ini akan menjadi prakondisi bagi hubungan baik, konstruktif, dan bahkan bisa menjadi jembatan transisi bagi orang atau pihak yang awalnya mungkin menjadi kekuatan oposan.
Ada dua konsep politik akomodasi rezim yang berkuasa. Pertama, office power, yang biasanya dengan melakukan akomodasi politik melalui pemberian jabatan di pemerintahan atau penugasan lain yang merepresentasikan kewenangan rezim, seperti menteri, duta besar, komisaris badan usaha milik negara, staf ahli, atau tenaga ahli. Ini bisa kita lihat dalam pengangkatan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan, Ali Mochtar Ngabalin sebagai tenaga ahli di Kantor Staf Presiden, dan orang-orang yang dulunya adalah oposan. Kedua, symbolic power, yakni akomodasi yang biasanya menggunakan cara halus dan simbolis, seperti pemberian tanda kehormatan. Politik akomodasi ini keduanya sama, yakni cara persuasif dengan titik tekan pada pelibatan ego yang didorong oleh penerimaan.
Pemberian tanda kehormatan kepada oposan ini juga bisa dipandang sebagai strategi pure publicity atau publisitas yang menggunakan latar kejadian alamiah. Latar situasi yang dimaksud dalam konteks ini adalah hari ulang tahun Republik Indonesia ke-75. Artinya, hal ini akan dinarasikan sebagai peristiwa lumrah dan banyak orang yang diberi tanda kehormatan serupa. Sepintas tampak biasa, tapi kalau ditelisik lebih jauh tidaklah sama. Pemberian tanda kehormatan kepada sosok oposan memberikan popularitas kepada pemerintah. Ada sejumlah narasi yang diresonansikan bahwa Jokowi sangatlah demokratis, yang terbukti dari pemberian tanda kehormatan yang tak pandang bulu, termasuk kepada orang yang kerap mengkritiknya.
Bagi masyarakat, yang lebih hakiki sebenarnya bukan soal Fadly dan Fahri, melainkan tanda kehormatan itu seharusnya tidak menjadi instrumen kekuasaan untuk politik akomodasi. Penghargaan negara harus diberikan kepada orang yang benar-benar layak. Untuk bangsa dan negara janganlah asal coba-coba.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo