Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Optimisme Mohamad Sadli

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri

  • Direktur LPEM FE-UI

    Mereka yang pesimistis mungkin baik belajar tentang optimisme dari Profesor Sadli. Dengan sebuah keyakinan yang tak palsu, Mohamad Sadli adalah sebuah optimisme. Ia tak pernah menganggap tak ada jalan keluar dari satu masalah. Ciri khasnya: datang dengan pertanyaan yang tajam dan tak mudah percaya dengan argumentasi lawan bicaranya. Ketika kita bicara tentang pertumbuhan ekonomi yang tak cukup tinggi dan pelbagai kendala institusi, Pak Sadli mengingatkan, pertumbuhan 5-6% harus dilihat dalam perspektif transisi ekonomi dan politik yang drastis Indonesia dibandingkan dengan negara lain.

    Tak terlalu salah, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang melakukan reformasi politik dan ekonomi secara radikal dalam waktu bersamaan di tengah krisis. Indonesia berubah dari sistem otoriter kepada demokrasi, dari sentralistis ke desentralisasi dalam satu malam. Sesuatu yang mungkin hanya bisa diperbandingkan dengan Filipina. Dan dibanding Filipina: Indonesia memang lebih di depan.

    Dalam situasi ekonomi yang kurang baik sekalipun, Prof Sadli tetap optimistis. Ia percaya kepada adagium: kebijakan yang baik justru lahir pada situasi ekonomi yang buruk, dan kebijakan yang buruk kerap muncul dalam situasi ekonomi yang baik. Ia tak pernah kehilangan sikap kritisnya. Saya masih ingat, ketika Soeharto membuat pernyataan pada awal 1998 bahwa ia rela menyerahkan bukan hanya harta tapi juga nyawa untuk menyelamatkan ekonomi di Indonesia, Sadli menjawab di salah satu media: kalau begitu, mulailah dari harta Soeharto. Saya mendapat forward email pernyataan Sadli justru dari Arief Budiman, yang kerap dianggap berseberangan dengan teknokrat. Perhatiannya untuk mencari apa yang terbaik bagi kepentingan bangsa begitu kuat. Pak Sadli tak pernah berhenti berpikir untuk mencari solusi masalah ekonomi di negeri ini. Dan idenya selalu asli.

    Cendekiawan par execellence ini meninggal dalam usia 85 tahun pada 8 Januari 2008. Ada penyesalan dalam diri saya karena tak sempat memberikan penghormatan terakhir kepadanya. Saya baru saja mendarat di New York ketika membuka telepon genggam dan menerima kabar duka: Pak Sadli meninggal dunia. Saya memang tak pernah menjadi murid langsungnya di Fakultas Ekonomi UI. Jarak waktu kami terlalu jauh. Namun saya mengikuti pemikirannya lewat tulisan, diskusi, atau obrolan informal.

    Saya praktis mengenal namanya sejak kecil dari cerita ayah saya yang kebetulan menjadi sekretaris jenderal ketika Pak Sadli menjadi Menteri Tenaga Kerja pada 1971-1973-an. Dari sana saya mendengar betapa cerdas dan orisinalnya Profesor Sadli. Sesuatu yang kemudian saya temukan faktanya. Saya mencoba tak menjadi melankolik ketika menulis obituari ini. Namun sulit buat saya melupakan kenangan obrolan di telepon—paling tidak seminggu sekali pada pagi hari—dengan Pak Sadli. ”Halo, Dede, Sadli di sini…,” begitu ia memulai percakapan teleponnya. Selanjutnya ia berbicara atau melakukan ”interogasi” untuk bahan tulisannya di Business News atau media massa lain. Saya katakan interogasi karena Pak Sadli akan mengorek semua informasi, mengajukan argumen kontranya, dan mengeksplorasi pemikiran alternatif. Saya heran, bagaimana ia masih tetap bersemangat untuk sebuah Indonesia yang centang-perenang ini di usianya yang tua, walau Sadli mengaku—seperti yang dikatakannya kepada saya—ia adalah seorang pemalas.

    Saya juga masih mengenang kesukaannya kepada gadget, terutama komputer. Kami pernah menghabiskan waktu—di sela-sela konferensi—untuk pergi ke Akibahara, pusat elektronik di Tokyo, yang kemudian diakhiri dengan makan udon sambil berdiri di salah satu warung Jepang. Yang lucu, ia berbicara kepada penjualnya dalam bahasa Indonesia. Saya terheran-heran dan bertanya kenapa ia menggunakan bahasa Indonesia. Dengan ringan ia menjawab: tidak ada bedanya berbicara bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, mereka toh nggak ngerti, jadi ngapain harus susah-susah bahasa Inggris! Begitu praktis dan rasional. Saya masih merekam episode itu dalam kepala saya.

    Dalam kesempatan lain, jika saya terpaksa bicara tentang model dan metode kuantitatif ekonomi dalam perdebatan, dengan rendah hati dan ringan dia mengatakan: ”Saya ­nggak ngerti tuh bahasa you, itu bahasa anak muda.” Tentu Prof Sadli terlalu rendah hati untuk soal ini. Ia mengambil kelas dari pemenang Nobel ekonomi Paul Samuelson yang amat terkenal dengan bukunya Foundations of Economic Analysis, yang merupakan salah satu fondasi pendekatan matematika dalam ekonomi. Selain itu ia juga mengambil kelas statistik dari Prof Robert Solow—yang juga pemenang Nobel ekonomi. Setelah menamatkan masternya di universitas yang sangat bergengsi, Massachusetts Institute of Technology (MIT), ia melanjutkan ke University of California at Berkeley di bawah bimbingan Prof Fred Balderston, seorang ahli matematika ekonomi. Di Berkeley, Pak Sadli mempersiapkan bahan disertasinya yang kemudian diselesaikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

    Apa yang bisa diceritakan dari salah satu ekonom terbaik Indonesia ini? Banyak yang menganggap teknokrat—termasuk Sadli—sebagai pembela utama ekonomi pasar. Saya kira pandangan ini tak sepenuhnya benar. Para teknokrat, termasuk Sadli, lebih tepat dikategorikan Keynesian. Me­reka percaya kepada pasar tetapi melihat begitu pentingnya pe­ran pemerintah. Hal ini tercermin pada pandangannya dalam kebijakan industrialisasi. Saya masih menyimpan sebuah email diskusi pribadi kami, tertanggal 27 September 1998, tentang proteksi pada 1970- an. Ia menulis (saya kutip lengkap): Protection ini juga didasarkan atas gagasan/persepsi bahwa pasar dalam negeri masih luas sekali setelah industri yang sebelumnya mengalami kehancuran dan proses de-industrialization di zaman Orla. Saya sendiri (maksudnya Sadli), walaupun pada waktu itu bukan menteri industri (menteri industri zaman itu adalah M. Jusuf, dan Sekjennya Barli Halim), mendukung policy ini as part of my investment promotion policy sebagai Ketua Panitia Penanaman Mo­dal Asing dan Dalam Negeri. Menarik, ia melihat pentingnya peran kebijakan industri dan peran pemerintah. Ia tak menyerahkan sepenuhnya persoalan kepada mekanisme pasar. Sesuatu yang banyak dikritik orang tentang dirinya.

    Namun amat salah jika kemudian kita menyimpulkan bahwa guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menteri dalam beberapa kabinet pada 1970-an, mantan Direktur LPEM-FEUI, dan penulis kolom yang amat produktif ini seorang yang tak percaya pasar. Saya ingat salah satu argumennya tentang bagaimana tidak efektifnya proteksi atau intervensi pemerintah. Ini saya kutip dari salah satu emailnya kepada saya: Yang juga penting dan harus dibahas adalah leakages dalam semua system ini… Sebagai catatan pinggir bisa dikemukakan bahwa negara kepulauan seperti Indonesia yang berbatasan dengan Singapore yang merupakan free port (contoh lain Filipina yang dekat Hong Kong) ada natural limit untuk protection karena ”biaya penyelundupan adalah sekitar 15% dari ongkos pengadaan.…”

    Pak Sadli dengan bahasa terang menyatakan: proteksi perdagangan tak akan efektif, dan hanya meningkatkan disparitas harga antara pasar domestik dan pasar internasional, sehingga pada akhirnya justru mendorong penyelundupan. Sambil bergurau ia mengatakan: jangan khawa­tir proteksi naik, karena proteksi akan ada limitasinya dan pasar akan menghukumnya melalui penyelundupan. Se­suatu yang mungkin bagi banyak orang akan sulit diterima. Dan saya kira ekonom kelahiran 10 Juni 1922 ini benar. Itu sebabnya Sadli sejak tahun 1980-an gigih mendukung pen­tingnya peran pasar. Lalu bagaimana kita merekonsiliasi dua pandangan yang seperti bertentangan ini?

    Saya kira justru di sini Pak Sadli menarik. Ia tak dogmatis. Ia tidak final. Ia tak terlalu gegabah untuk percaya kepada satu jawaban tunggal dalam kehidupan. Ini mengingatkan saya pada risalah yang berjudul The Methodology of Positive Economics yang ditulis oleh pemenang Nobel ekonomi Milton Friedman. Di sana Friedman menulis: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya.

    Mudahnya, jika sebuah teori cocok dengan faktanya, ada kemungkinan—walau tak ada jaminan—teori itu benar. Namun, ketika fakta bertentangan dengan teori, teori pasti salah. Jadi, tidak ada teori yang benar, yang ada hanyalah teori yang belum terbukti salah. Itu sebabnya Prof Sadli begitu terbuka melihat persoalan kegagalan pemerintah dan kegagalan pasar. Itu sebabnya pula jangan mencoba datang dengan sesuatu yang normatif ketika berargumentasi de­ngannya. Dengan ringan ekonom ini akan mengatakan: ah, itu wishful thinking.

    Kepergian Pak Sadli adalah sebuah kehilangan besar bagi kita semua. Telepon pada pagi hari dari Pak Sadli tak akan pernah lagi berdering. Namun kita yang ditinggalkannya mungkin perlu ingat satu hal: ia selalu riang, tak pernah bersedih. Karena itu mereka yang pesimistis mungkin baik belajar tentang optimisme dari Profesor Sadli.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus