Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH gagasan dan rekam jejak kandidat dibongkar, apa lagi yang bisa kita kuliti dari calon presiden dan wakilnya? Setelah tujuh bulan kampanye, nyaris tak ada yang tersisa. Pandangan, ide, masa lalu, bahkan gosip seputar calon sudah diuarkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin ini saatnya membaca kandidat dari orang sekeliling: mereka yang tak cuma dekat, tapi bisa mempengaruhi pikiran dan keputusan nomine jika nanti terpilih dalam pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sekitar kandidat inkumben Joko Widodo, misalnya, ada keluarga dekat, orang partai, dan para penggawa Istana yang selama ini menjadi pintu masuk informasi Presiden. Di sekeliling Prabowo Subianto: para ajudan, keluarga besar Sumitro Djojohadikusumo, keluarga besar Soeharto, teman selama bekerja dalam dinas militer, dan para aktivis partai. Jangan dilupakan: anak semata wayang Didit Hediprasetyo.
Tentu tidak selalu keputusan presiden terpilih ditentukan oleh mereka. Terkadang beleid penting tidak juga sepenuhnya merupakan kehendak presiden sendiri. Dalam politik, ada bauran yang tidak dapat ditolak: kepentingan pribadi dan kelompok, pembentukan citra, negosiasi dengan parlemen dan partai politik, selain tekanan publik.
Namun, dalam kepungan pelbagai kepentingan, pendapat orang sekeliling jadi penting. Dekat secara fisik dan psikologis, mereka bisa menjadi penentu. Sejarah tujuh presiden sepanjang Indonesia merdeka menunjukkan bagaimana orang dekat bisa menentukan kebijakan, bahkan hitam-putihnya pemerintahan.
Yang paling akhir adalah Joko Widodo. Lima tahun memerintah, Jokowi menyediakan banyak contoh. Di antaranya penetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar menggantikan Sudirman Said, Juli 2016. Lama bermukim di Amerika Serikat, Arcandra diusulkan antara lain oleh kerabat Presiden. Belakangan diketahui Arcandra memiliki dua kewarganegaraan: Indonesia dan Amerika. Pengangkatan Arcandra dikritik publik dan Presiden membatalkan keputusannya sebulan kemudian. Setelah Arcandra melepas paspor Amerikanya, Presiden mengangkatnya lagi sebagai Wakil Menteri Energi.
Dari kalangan partai politik, ada Surya Paloh. Di awal pemerintahan, Ketua Partai NasDem ini membawa Sam Pa, pemilik perusahaan multinasional Sonangol EP, ke Istana. Kepada Jokowi, pengusaha asal Cina itu menjanjikan impor minyak dengan diskon 15 persen. Kuat diduga Sam Pa menawarkan proyek lain. Alih-alih memberi rabat, Sam Pa malah ditangkap polisi Tiongkok karena sejumlah tuduhan kejahatan.
Di kubu Prabowo, ada Ratna Sarumpaet. Menjadi bagian dari garda depan pembela Prabowo, Ratna diketahui berbohong perihal operasi plastik yang dia jalani kepada lingkaran dekat Prabowo, ia mengaku dianiaya. Tidak ada jaminan Ratna akan menjadi anggota tim inti Prabowo jika sang kandidat menjadi presiden. Tapi peristiwa Ratna Sarumpaet membuktikan perilaku lancung bisa terjadi di kalangan dekat sejak masa pencalonan.
Dari masa silam, kita mendengar cerita tentang Soewondo, tukang pijat Presiden Abdurrahman Wahid yang belakangan terseret kasus korupsi Badan Urusan Logistik. Di era Megawati Soekarnoputri, ada Jacob Nursalim, pengusaha yang dikenal dekat dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati. Jacob adalah adik Sjamsul Nursalim, obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Pada era Megawati, pemerintah mengeluarkan status release and discharge kepada Sjamsul atas kewajibannya membayar utang BLBI.
Presiden terpilih harus waspada terhadap permainan orang dekat. Bukan sekadar orang lama yang sudah dikenalnya, orang baru akan menghampiri segera setelah kandidat terpilih. Bagai lampu, kandidat akan dikerubungi laron. Mereka mungkin seperti punakawan: lucu, menyenangkan, menghibur, kadang juga pintar dan banyak ide. Dalam beberapa kasus, mereka royal membiayai kegiatan presiden, keluarga, sanak famili praktik lancung gratifikasi.
Tak ada salahnya memiliki orang kepercayaan. Tapi presiden terpilih harus memberikan jabatan resmi kepada mereka. Para pembisik tidak boleh hilir-mudik di Istana lalu menjual pengaruh kepada orang lain yang membutuhkan tanpa akuntabilitas sebagai penyelenggara negara. Jika dimasukkan ke struktur, sepak terjang mereka relatif mudah dikontrol. Aparat pun akan mudah mengusut jika mereka melakukan korupsi.
Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintah membentuk West Wing badan khusus untuk menampung orang kepercayaan presiden. Mereka menjadi penasihat resmi kepala negara, termasuk memberikan argumen pembanding atas kebijakan para menteri di kabinet.
Membaca kandidat dari profil orang dekatnya barangkali bisa membantu kita menentukan sosok presiden pilihan. Tentu saja, di bilik suara, keputusan sepenuhnya di tangan Anda.