Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANCAKAN kursi komisaris badan usaha milik negara makin menjadi-jadi di ujung pemerintahan Presiden Joko Widodo. Bagi-bagi jatah kursi itu menjadi alat politik Jokowi untuk menunjukkan peran dan kontribusinya dalam menyiapkan pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak pemilihan presiden 2024, tercatat 17 pendukung Prabowo dan Gibran menduduki posisi penting. Yang paling anyar, dua pengurus partai politik yang dekat dengan Prabowo diangkat sebagai komisaris PT Perusahaan Listrik Negara. Keduanya adalah Burhanuddin Abdullah Harahap, yang masih tercatat sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra, serta Andi Arief, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski Demokrat menyebutkan bahwa Andi Arief telah dinonaktifkan dari kepengurusan partai, tak dimungkiri pemilihan Andi tidak terlepas dari tugasnya saat pilpres 2024 sebagai bagian tim sukses Prabowo-Gibran. Begitu pula Burhanuddin.
Pengangkatan yang tidak mempertimbangkan aspek profesionalitas dan cenderung sebagai balas budi politik itu melanggar peraturan yang dibuat Menteri BUMN Erick Thohir sendiri. Peraturan Menteri BUMN Nomor 3 Tahun 2023 tentang Organ dan Sumber Daya Manusia BUMN, khususnya Pasal 18, mengatur bahwa, untuk dapat diangkat sebagai anggota dewan komisaris, seseorang harus memenuhi persyaratan, antara lain bukan pengurus partai.
Secara definisi, komisaris merupakan organ persero yang bertugas mengawasi dan menasihati jajaran direksi dalam menjalankan perusahaan. Undang-Undang BUMN mengatur pertimbangan kelayakan seseorang menjadi komisaris. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang BUMN menyebutkan bahwa anggota komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi, serta pemahaman masalah manajemen perusahaan. Itu sebabnya, komisaris mesti memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha perseroan serta dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya.
Penempatan kursi komisaris di sejumlah BUMN yang tidak sesuai dengan syarat dalam Undang-Undang BUMN mencederai tata kelola perusahaan yang baik, merusak budaya profesionalitas, serta memicu spekulasi bisnis yang negatif.
Selain itu, sebagai ujung tombak perekonomian, BUMN mesti memiliki langkah pencegahan korupsi. Pencegahan ini tidak hanya mencakup upaya menghindari korupsi dan melaporkan gratifikasi, tapi juga mengatur adanya konflik kepentingan.
Survei yang dilakukan Transparency International Indonesia pada Maret 2021 menunjukkan bahwa 14,73 persen jabatan komisaris BUMN diisi tokoh berlatar belakang relawan calon presiden hingga anggota partai. Angka ini setara dengan 71 dari 482 komisaris saat itu. Selain itu, terdapat 51,66 persen kursi komisaris yang diduduki pejabat birokrasi sebagai perwakilan pemerintah selaku pemegang saham BUMN. Sedangkan dari kalangan profesional hanya sekitar 17,63 persen. Sisanya berasal dari aparat penegak hukum, personel militer, dan mantan menteri.
Melihat komposisi itu, tak mengherankan, 21 BUMN dan satu anak usaha BUMN saat ini berstatus titip kelola dan ditangani PT Perusahaan Pengelola Aset. Dari 21 perusahaan itu, hanya empat yang memiliki potensi pulih. Adapun operasi enam perusahaan lain ada kemungkinan akan dihentikan melalui likuidasi ataupun pembubaran.
Praktik bagi-bagi jabatan dapat merugikan keberlangsungan BUMN sebagai perusahaan. Dengan mengabaikan sistem merit, pemilihan posisi penting yang tidak berdasarkan kompetensi dan integritas bakal merusak transparansi serta akuntabilitas pengelolaan perseroan.