Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FILM Mereka Kembali, menurut ukuran film Indonesia dapatlah
dikatakan film perang yang paling dahsyat dan gencar. Kalau
dihadapkan kepada banjir film perang dari luar negeri sekarang
ini, karya penduduk Jawa Barat ini akan mudah bertahan. Apalagi
karena yang dikisahkan itu Revo]usi Indonesia, yang tentu tidak
sama dengan perang di sembarang tempat lain.
Sebagian besar orang yang terlibat dalam Mereka Kembali rupanya
tahu medan perang dan akrab dengan pertempuran. Bagaimana
sebenarnya gajak perjurit, itu mereka tahu pula. Tak ada kesan
bahwa ada pangeran bungalow dan raja disko dan setan
metropolitan yang disuruh bersandiwara sebagai tentaa
ekstremis. Tak nampak ada nyonya-nyonya gedongan yang menyamar
sebagai rakyat jelata yang berlarian lintang-pukang didera
peluru-peluru perang.
Mereka yang paling tahu hal-ihwal perang ini untung saja
mengutamakan perang. Maka jadilah film perang yang
sebenar-benarnya. Kalau di sana-sini perlu muncul makhluk
gedongan, itu mereka serahkan saja kepada beberapa "artis"
metropolitan. Namanya memang gemerlapan, tapi soloknya sangat
dibatasi. Pelaku-pelaku utamanya ialah pasukan-pasukan perang.
***
Setamat pertunjukan, Letnan-Kolonel Lukman Madewa dari Dinas
Sejarah Militer di Bandung langsung mempersilakan sejumlah
penonton muda duduk membincangkan film ini. Dia langsung minta
kritik. Segala kritik akan dia terima dengan baik, dan akan
diperhatikannya dalam membuat film-film selanjutnya. Laku
tidak, itu soal nomor dua. Pokoknya dia mau membuat film-film
perjuangan bagi rakyat banyak.
Minuman penggeranyam lidah dipesan, dan lidah tergeranyam
rupanya lebih terangsang melontarkan kritik dan pertanyaan. Mau
tak mau ada saja kritik yang berasal dari kealpaan sejarah.
Kejutan pertama ialah bahwa film ini tidak membatasi diri kepada
perang antara kita dengan Belanda. Separuh film membentangkan
perang antara kita dan kita tanpa sepotong Belanda. Pahit
memang. Tapi mau bagaimana lagi. Begitulah sejarah revolusi
kita. Ataukah film dan sandiwara kita mau terus-terusan saja
menembaki Belanda melulu?
Seorang pemuda merasa bahwa perang antara kita dan kita itu
terlalu kejam. Jawab Lukman Madewa, banyak film kita sekarang
sebetulnya jauh lebih kejam. Tapi ya, semua itu keletulan bukan
kisall revolusi, jadi diterima orang saja.
Revolusi Indonesia itu rupanya sudah begitu diagungkan sehingga
orang hanya mau melihat kekejaman itu sebagai bikinan Belanda
dan Jepang saja, pokoknya bikinan orang asing. Dalam seluruh
sejarah Indonesia, begitu pula citranya. Sampai kapan kita harus
begitu terus?
Perwira Siliwangi ini menerangkan bahwa kekejaman. Mereka
Kembali itu tadinya disesuaikan dengan kenyataan yang
benar-benar terjadi dalam revolusi. Tapi ini sulit ditelan
sensor. Barangkali karena khawatir kalau Revolusi Indonesia
bakal kehilangan pamornya. Maka sibuklah sang gunting
berkerip-kerip. Kebenaran sejarah mesti dibatasi.
Seorang anggota Mahawarman berkeberatan bahwa orang bulenya cuma
satu dua gelintir saja. Kenapa pasukan Belanda itu terdiri dari
orang-orang bangsa dewek saja? Bukankah penonton nanti bakal
bingung?
Lukman Madewa kaget, Oh, iya ya. Memang, dia sangat kekurangan
orang bule. Maklumlah, film ini dibuat tahun 1972. Tapi dasar
perwira ini orang sejarah maka dia jelaskan bahwa banyak pasukan
Belanda itu terdiri dari bangsa kita melulu. Cuma komandannya
saja Belanda totok atau Indo. Ingatlah ini kalau saudara membaca
"KNIL" dalam buku sejarah, katanya.
Dan sambungnya: "Coba, saudara tahu semua mengenai kekejaman
Westerling. Tapi yang Westeriing dalam pasukan Westerling itu
cuma Westerling saja dan sekelompok kecii lagi. Sebagian besar
anak buahnya sih Oosterling semua alias bangsa dewek. Nah, jadi
yang membantai di Sulawesi itu . . ."
Pemuda-pemuda kita itu pucat. Kenapa kenyataan sejarah itu bisa
begitu pahit? Seorang berbaya yang selama ini diam menambah
keterangan:
"Pasukan Westerling itu resminya malah pakai nama Indonesia lho!
Angkatan Perang Ratu Adil, begitu bunyinya. Siip ya? Dan ini
APRA mengganas justru di sekitar bioskop Presiden ini. Tepatnya
tanggal 23 Januari 1950. Tapi itu tigapuluh tahun yang lalu.
Kalian semua belum lahir, jadi tidak melihat sendiri bahwa yang
membabi-buta itu ternyata serdadu-serdadu bangsa kita sendiri
juga."
Aduh! Terpegun anak-anak muda ini. Pak guru sejarah tak pernah
menceritakannya. Dan yang selalu nampak di koran bukankah cuma
gambar Raymond Pierre Westerling saja?
Orang berbaya itu balik bertanya: "Sekarang saudara perhatikan
keadaan bangsa kita, tigapuluh tahun sesudah Westerling. Apakah
kita sudah berhenti menindas bangsa kita sendiri,
mentang-mentang bule-bulenya sudah tidak ada di desa, di
kabupaten, di kantor, di pabrik, dan di mana-mana? Orang
rame-rame ngomong bahwa nasionalisme kita luntur, atau tidak
luntur, dan bukti-bukti yang mereka ajukan apa?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo