Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pahitnya sejarah kita

Westerling sebagian besar anak buahnya adalah bangsa kita, yang kejam membantai di sulawesi. bahkan memakai nama indonesia: apra. sudah 30 th westerling pergi, penindasan oleh bangsa sendiri tetap jalan.

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM Mereka Kembali, menurut ukuran film Indonesia dapatlah dikatakan film perang yang paling dahsyat dan gencar. Kalau dihadapkan kepada banjir film perang dari luar negeri sekarang ini, karya penduduk Jawa Barat ini akan mudah bertahan. Apalagi karena yang dikisahkan itu Revo]usi Indonesia, yang tentu tidak sama dengan perang di sembarang tempat lain. Sebagian besar orang yang terlibat dalam Mereka Kembali rupanya tahu medan perang dan akrab dengan pertempuran. Bagaimana sebenarnya gajak perjurit, itu mereka tahu pula. Tak ada kesan bahwa ada pangeran bungalow dan raja disko dan setan metropolitan yang disuruh bersandiwara sebagai tentaa ekstremis. Tak nampak ada nyonya-nyonya gedongan yang menyamar sebagai rakyat jelata yang berlarian lintang-pukang didera peluru-peluru perang. Mereka yang paling tahu hal-ihwal perang ini untung saja mengutamakan perang. Maka jadilah film perang yang sebenar-benarnya. Kalau di sana-sini perlu muncul makhluk gedongan, itu mereka serahkan saja kepada beberapa "artis" metropolitan. Namanya memang gemerlapan, tapi soloknya sangat dibatasi. Pelaku-pelaku utamanya ialah pasukan-pasukan perang. *** Setamat pertunjukan, Letnan-Kolonel Lukman Madewa dari Dinas Sejarah Militer di Bandung langsung mempersilakan sejumlah penonton muda duduk membincangkan film ini. Dia langsung minta kritik. Segala kritik akan dia terima dengan baik, dan akan diperhatikannya dalam membuat film-film selanjutnya. Laku tidak, itu soal nomor dua. Pokoknya dia mau membuat film-film perjuangan bagi rakyat banyak. Minuman penggeranyam lidah dipesan, dan lidah tergeranyam rupanya lebih terangsang melontarkan kritik dan pertanyaan. Mau tak mau ada saja kritik yang berasal dari kealpaan sejarah. Kejutan pertama ialah bahwa film ini tidak membatasi diri kepada perang antara kita dengan Belanda. Separuh film membentangkan perang antara kita dan kita tanpa sepotong Belanda. Pahit memang. Tapi mau bagaimana lagi. Begitulah sejarah revolusi kita. Ataukah film dan sandiwara kita mau terus-terusan saja menembaki Belanda melulu? Seorang pemuda merasa bahwa perang antara kita dan kita itu terlalu kejam. Jawab Lukman Madewa, banyak film kita sekarang sebetulnya jauh lebih kejam. Tapi ya, semua itu keletulan bukan kisall revolusi, jadi diterima orang saja. Revolusi Indonesia itu rupanya sudah begitu diagungkan sehingga orang hanya mau melihat kekejaman itu sebagai bikinan Belanda dan Jepang saja, pokoknya bikinan orang asing. Dalam seluruh sejarah Indonesia, begitu pula citranya. Sampai kapan kita harus begitu terus? Perwira Siliwangi ini menerangkan bahwa kekejaman. Mereka Kembali itu tadinya disesuaikan dengan kenyataan yang benar-benar terjadi dalam revolusi. Tapi ini sulit ditelan sensor. Barangkali karena khawatir kalau Revolusi Indonesia bakal kehilangan pamornya. Maka sibuklah sang gunting berkerip-kerip. Kebenaran sejarah mesti dibatasi. Seorang anggota Mahawarman berkeberatan bahwa orang bulenya cuma satu dua gelintir saja. Kenapa pasukan Belanda itu terdiri dari orang-orang bangsa dewek saja? Bukankah penonton nanti bakal bingung? Lukman Madewa kaget, Oh, iya ya. Memang, dia sangat kekurangan orang bule. Maklumlah, film ini dibuat tahun 1972. Tapi dasar perwira ini orang sejarah maka dia jelaskan bahwa banyak pasukan Belanda itu terdiri dari bangsa kita melulu. Cuma komandannya saja Belanda totok atau Indo. Ingatlah ini kalau saudara membaca "KNIL" dalam buku sejarah, katanya. Dan sambungnya: "Coba, saudara tahu semua mengenai kekejaman Westerling. Tapi yang Westeriing dalam pasukan Westerling itu cuma Westerling saja dan sekelompok kecii lagi. Sebagian besar anak buahnya sih Oosterling semua alias bangsa dewek. Nah, jadi yang membantai di Sulawesi itu . . ." Pemuda-pemuda kita itu pucat. Kenapa kenyataan sejarah itu bisa begitu pahit? Seorang berbaya yang selama ini diam menambah keterangan: "Pasukan Westerling itu resminya malah pakai nama Indonesia lho! Angkatan Perang Ratu Adil, begitu bunyinya. Siip ya? Dan ini APRA mengganas justru di sekitar bioskop Presiden ini. Tepatnya tanggal 23 Januari 1950. Tapi itu tigapuluh tahun yang lalu. Kalian semua belum lahir, jadi tidak melihat sendiri bahwa yang membabi-buta itu ternyata serdadu-serdadu bangsa kita sendiri juga." Aduh! Terpegun anak-anak muda ini. Pak guru sejarah tak pernah menceritakannya. Dan yang selalu nampak di koran bukankah cuma gambar Raymond Pierre Westerling saja? Orang berbaya itu balik bertanya: "Sekarang saudara perhatikan keadaan bangsa kita, tigapuluh tahun sesudah Westerling. Apakah kita sudah berhenti menindas bangsa kita sendiri, mentang-mentang bule-bulenya sudah tidak ada di desa, di kabupaten, di kantor, di pabrik, dan di mana-mana? Orang rame-rame ngomong bahwa nasionalisme kita luntur, atau tidak luntur, dan bukti-bukti yang mereka ajukan apa?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus