Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pamer Otot di Ambalat

Unjuk kekuatan militer di Blok Ambalat tiada guna. Jalur diplomasi perlu digiatkan, termasuk untuk mengurus batas wilayah lain yang masih abu-abu.

8 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENGKETA Ambalat perlu diselesaikan di meja perundingan, bukan dengan kekuatan militer. Pemerintah Indonesia dan Malaysia mestinya mafhum, pamer mesin perang tak ada manfaatnya. Aksi provokasi seperti yang sekarang terjadi di blok yang letaknya di perairan Laut Sulawesi di sebelah timur Pulau Kalimantan itu bisa memburuk, bahkan mengundang perang. Sebab, tak semua personel militer bisa tetap tenang jika kapalnya dikunci radar musuh atau ditodong meriam, sungguhpun kuncian itu hanya gertak dan meriamnya tak berisi peluru.

Sejarah militer penuh kisah tragis itu. Seperempat abad lalu, pesawat sipil Boeing 747 milik maskapai Korea Selatan berpenumpang 269 orang ditembak pesawat Rusia di perbatasan karena dikira pesawat mata-mata. Lima tahun kemudian, Airbus Iran berisi 290 orang ditembak kapal Amerika di Selat Hormuz karena disangka pesawat tempur musuh. Di Ambalat insiden militer juga pernah terjadi, ketika kapal perang Indonesia dan Malaysia bersenggolan. Syukurlah, insiden pada 2005 itu bisa didamaikan, sehingga tidak menjadi ”perang negara serumpun”.

Sekalipun aksi militer di Ambalat tidak pernah mengakibatkan perang, saling pamer otot itu merugikan kedua negara. Selain menyedot anggaran yang tak kecil, aksi militer mengoyak persahabatan kedua negara yang sedang memburuk gara-gara kasus tenaga kerja, pembajakan budaya, hingga—apa boleh buat ini harus disebut karena begitu riuh-rendah, walau sekadar konflik rumah tangga—urusan Manohara Odelia Pinot, yang ”lari” meninggalkan suaminya yang putra Sultan Kelantan.

Kedua tetangga tak lantas perlu terus bersitegang karena ”setitik blok” di perbatasan. Persaudaraan serumpun lebih mahal nilainya dibandingkan kandungan minyak di wilayah itu. Sejarah konfrontasi dua negara pada masa lalu sudah lebih dari cukup untuk mengingatkan betapa penting sekarang ini merekat kembali ”arang yang retak”. Jalan damai terbuka luas, tinggallah niat baik dan kemauan politik dari kedua pemerintah.

Benar bahwa perundingan akan alot, mengingat keduanya mengklaim sebagai pemilik sah blok itu. Alasannya pun sama-sama kuat. Sejak keputusan Mahkamah Internasional pada 2002 yang menyerahkan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, negeri jiran itu menganggap perairan Ambalat masuk ke kawasan zona ekonomi eksklusifnya. Karena itu, tiga tahun kemudian Malaysia memberikan konsesi kepada Petronas dan Shell untuk mengeksplorasi minyak di dasar laut perairan itu.

Indonesia juga memiliki hak yang kuat secara yuridis maupun faktual untuk memiliki wilayah itu. Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 menetapkan, wilayah kedaulatan dan zona ekonomi eksklusif Indonesia ditentukan dengan menarik garis lurus dari pulau-pulau terluarnya. Atas dasar ini, Blok Ambalat tetap masuk wilayah Indonesia, walaupun Pulau Sipadan dan Ligitan telah jatuh ke tangan Malaysia.

Ada fakta lain untuk menguatkan kepemilikan Indonesia. Sejak 1961 Indonesia sudah mengeksplorasi blok ini tanpa pernah diprotes Malaysia. Indonesia juga telah memberikan konsesi eksplorasi di Ambalat kepada ENI, perusahaan Italia, pada 1990-an, dan kepada Chevron, perusahaan Amerika Serikat, pada 2004.

Masih ada perairan lain yang batasnya dengan tetangga tergolong ”abu-abu”. Usaha diplomasi diperlukan untuk memperjelas batas itu. Pekerjaan ini jauh lebih penting daripada sibuk meladeni provokasi di Ambalat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus