Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Para Pencari-Mu

1 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi Kartika Teguh W.*

Judul di atas diambil dari salah satu lagu terkenal kelompok band ternama saat ini: Ungu. Mari kita simak penggalan liriknya berikut ini.

Akulah para pencari-Mu ya Allah/akulah yang merindukan-Mu ya Rabbi.

Adakah yang janggal dalam deret lirik tersebut? Tentu saja. Bagaimana mungkin aku—kata ganti orang pertama tunggal—bersanding dengan para yang merupakan kata penyerta yang mengacu pada kelompok (bentuk jamak)? Bukankah hanya diperlukan logika sederhana untuk menyempurnakan lirik tersebut? Barangkali untuk keperluan harmonisasi sebuah lagu, sembarang kata dijejalkan saja tanpa mengindahkan apakah kalimat tersebut terdengar logis atau tidak.

Mari kita perhatikan cuplikan dua lirik berikut ini: kau membuatku berantakan/kau membuatku tak karuan/kau membuatku tak berdaya/kau menolakku acuhkan diriku (Cinta Ini Membunuhku, D’Masiv). Lirik kedua: kau boleh acuhkan diriku/dan anggap ku tak ada/tapi takkan merubah perasaanku kepadamu (Aku Mau, Once).

Dalam bahasa cakapan, kita sudah jamak mendengar, sekaligus ”memaafkan”, pemakaian kata bahasa Indonesia yang salah kaprah, baik dalam hal makna maupun pembentukan kata jadian. Contohnya acuh, yakni kata yang kerap diartikan ’tak peduli’, padahal makna leksikalnya yang benar ’peduli’. Contoh lainnya, pemakaian bentukan yang salah: merubah, yang seharusnya mengubah: me + ubah. Namun, jika kekeliruan makna acuh dan pemakaian bentuk merubah itu kemudian diabadikan, seperti dalam lirik lagu, ini menjadi persoalan serius. Lebih celaka lagi, kesalahan itu kemudian gencar dipublikasikan karena, misalnya, lagu tersebut ternyata meledak di pasar.

Pengetahuan kelas kata seharusnya juga dikuasai oleh seorang penulis lagu. Dengan demikian, kesalahan penempatan sebuah kata dalam kalimat dapat dihindari. Terkait dengan kekacauan kategorisasi kata, saya menemukan petikan syair berikut ini.

Ku takut rindu bila tak lagi bertemu/haruskah kuterima cinta yang dilema…//sesungguhnya ku ingin dirimu tuk cairkan hatiku yang beku tapi aku belum siap/aku jadi dilema (Dilema, Intan Nuraini).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pusat Bahasa, 2005) disebutkan bahwa dilema termasuk kata benda: ’situasi sulit yang mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan membingungkan’. Jadi kalimat kuterima cinta yang dilema atau aku jadi dilema jelas tak berterima. Cinta termasuk kata sifat (ajektiva). Dalam hal ini, untuk membentuk frase ajektival, bisa digunakan kata dilematis (ajektiva), sehingga kita mendapatkan frase cinta dilematis—dilematis: ’berkenaan dengan dilema’—misalnya. Di sinilah kreativitas seorang musisi ditantang, sehingga kesesuaian nada dan kata-kata yang tepat harus sama-sama dipertahankan.

Sempat saya dengar pula lirik yang berbunyi bukannya aku tak takut mati/hanya karna sering patah hati/yang aku takut bila patah hati/engkau nekat lalu bunuh diri (Patah Hati, Radja). Pembubuhan konjungsi lalu dalam bait tersebut pun membuat kalimat menjadi tak logis. Boleh jadi, lagi-lagi, seperti beberapa kasus di atas, kata itu dicomot begitu saja guna memenuhi selera nada yang sudah tercipta.

Mungkin ada baiknya bagi para penulis lirik lagu untuk lebih bertanggung jawab, umpamanya dengan cara lebih ”melek kamus” dalam memanfaatkan diksi dan merangkai kata. Jangan sampai lagu-lagu indah yang sudah tercipta jadi tercoreng akibat kurangnya pengetahuan tentang bahasa. Selain itu, ada baiknya para penulis lagu lebih cermat menulis syair agar kata yang diuntai tidak kehilangan nalar. Entah bagaimana proses kreatif sebagian penulis lagu kita. Ada kecenderungan pemaksaan kata masuk ke dalam notasi lagu, sehingga tercipta pula lirik seperti ini.

Walaupun tlah kututup mata hati/begitu pun telingaku/namun bila di kala cinta memanggilmu/dengarkan ini (Sang Dewi, Titi D.J.).

Sebagai catatan, sementara dalam puisi berlaku licentia poetica, yakni kebebasan pengarang untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan, untuk mencapai suatu efek, penulis lirik lagu pun lazimnya dibebaskan dari jerat aturan bahasa baku. Namun, dalam kasus di atas, kiranya tak ada efek yang akan dicapai dengan pemakaian kata yang salah, apalagi kekacauan logika.

Saya bukanlah pengamat lagu. Namun, ketika lagu-lagu pop dengan lirik bermasalah itu nyelonong mampir ke saluran radio saat kita berkendara, misalnya, rasanya cukup mengganggu konsentrasi. Meminjam bahasa ”gaul”, saya pun bergumam dalam hati: Kasian deh lu!

*) Redaktur Bahasa Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus