Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Parsel untuk Pansel

27 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zainal Arifin Mochtar*)

Salah satu perdebatan yang mengisi ruang publik hampir setahun belakangan ini akhirnya terjawab sudah. Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya bersabda melalui Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 perihal uji materi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk masa jabatan pimpinan KPK. Isinya secara jelas mengatakan bahwa penafsiran yang benar sebagai maksud dari Undang-Undang KPK tentang masa jabatan dalam kepemimpinan KPK mustahil dipisahkan antara masa jabatan pimpinan yang datang melalui proses pemilihan pimpinan secara alamiah empat tahunan dan yang datang sebagai ”pengganti” pimpinan yang diberhentikan.

Cara pandang MK termaktub jelas dalam putusan MK bahwa meskipun sebagai ”pengganti” pimpinan yang diberhentikan, durasi jabatannya tetaplah sama, empat tahun. Ini berarti, penafsiran DPR keliru secara hukum. ­Busyro Muqoddas seharusnya memimpin KPK selama empat tahun dan tidak ada lagi penafsiran selain hal yang digariskan MK.

Bukan hanya mengedepankan penafsiran hermenetik atas pasal-pasal Undang-Undang KPK, tapi MK sesungguhnya juga telah menegakkan salah satu ciri teoretik staggered terms terhadap lembaga negara independen seperti KPK. Ciri yang dinisbahkan kepada lembaga negara independen adalah adanya penggantian berjenjang bagi komisionernya dengan tujuan adanya kesinambungan kerja terhadap KPK. Singkatnya, mulai saat ini, setiap waktu proses pergantian pimpinan KPK akan tetap ada orang lama di KPK yang menjaga kesinambungan kerja agar tidak terjadi unsur ahistorik.

Anehnya, beberapa anggota DPR masih saja keukeuh mengatakan berbeda dengan putusan MK. Salah satunya adalah dengan menggunakan logika putusan MK yang berlaku ke depan (prospectively). Dengan berlaku ke depan, maka hanya akan berfungsi untuk pemilihan KPK berikutnya.

Sesungguhnya vonis peradilan pada titik tertentu bisa dipertimbangkan untuk diberlakukan surut, demi menjaga beberapa hal yang memang harus ditegakkan untuk menjaga kegunaan suatu putusan punya fungsi dari keberlakuannya. Inilah yang dinyatakan dalam poin (3.26) pertimbangan hukum di putusan MK tentang Undang-Undang KPK yang menyebutkan: ”meskipun menurut Pasal 47 UU MK mengatakan Putusan MK berlaku sejak ditetapkan (prospektif), namun demi asas kemanfaatan yang merupakan tujuan universal hukum, maka untuk kasus-kasus tertentu MK dapat memberlakukan secara retroaktif”. Sebagai contoh, salah satu putusan MK yang bersifat retroaktif adalah yang berkenaan dengan penghitungan tahap III penetapan anggota DPR. MK memutuskan untuk diberlakukan secara retroaktif dalam hal penetapan anggota DPR di Pemilu 2009. Logika inilah yang kemudian dikatakan dalam putusan MK sebagai dasar untuk mengatakan: ”Oleh karena itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dalam masa transisi sebagai akibat dari Putusan ini, maka putusan ini berlaku bagi Pimpinan KPK yang sudah terpilih dan menduduki Pimpinan KPK sekarang untuk masa jabatan selama empat tahun sejak terpilih”.

Karena itu, apa pun opini anggota DPR tetaplah dipandang sebagai pendapat yang tidak lagi mengikat. Vonis MK telah mengakhiri perdebatan tersebut. Selain itu, DPR tidak lagi memiliki peran pada tahapan yang dibutuhkan sekarang. Saat ini keputusan berada di tangan Presiden. Maka Presiden seharusnya segera mengeluarkan keputusan presiden (keppres) untuk merevisi keppres pelantikan Busyro Muqoddas yang setahun menjadi empat tahun. Mengeluarkan keppres merupakan kewenangan presiden dalam melaksanakan kebijakan yang diperintahkan oleh undang-undang, hal yang mustahil ditolak. Tapi pada saat yang sama, vonis MK telah mengimbuhi sifat imperatif dan kewajiban di dalam kewenangan presiden dalam mengeluarkan keppres. Hal yang berarti, presiden menjadi harus untuk mengeluarkan keppres yang merevisi ketentuan masa jabatan yang secara keliru telah tercantum di keppres yang lama.

Jika Presiden Yudhoyono mengeluarkan keppres baru tersebut, itu dapat menjadi kado yang cukup melegakan bagi prospek penguatan lembaga pemberantas korupsi. Bukan hanya dari sisi personal kiprah Busyro Muqoddas, tapi juga akan menegakkan bangunan kesinambungan kerja yang memang dibutuhkan oleh KPK. Dengan model staggered terms, kesinambungan tersebut akan terjaga. Bahkan bukan hanya pada kelembagaan KPK, tapi juga memberikan keuntungan bagi panitia seleksi (pansel) calon anggota pimpinan KPK yang sedang bekerja saat ini.

Setidaknya, akan ada dua keuntungan untuk panitia seleksi KPK. Pertama, mereka tidak lagi diharuskan mencari sepuluh orang kandidat untuk dibawa ke DPR untuk fit and proper test, melainkan hanya delapan orang. Hal yang tentunya akan melegakan panitia seleksi KPK di tengah makin sulitnya ditemukan orang yang memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas yang mumpuni untuk memimpin KPK. Selisih dua orang akan cukup signifikan bagi panitia seleksi untuk menghasilkan delapan orang terbaik untuk kandidat pimpinan KPK.

Apalagi di ujung dari proses seleksi panitia seleksi akan memasuki tahapan ”politis” di DPR. Jika panitia seleksi gagal menemukan delapan orang terbaik, besar kemungkinan terbajaknya KPK oleh kekuatan politik. Sedangkan sebaliknya, jika panitia mampu menemukan delapan orang terbaik, itu akan menjadi ”buah simalakama” untuk DPR. Siapa pun yang akan dipilih hanya akan menjadi ”mati bapak” atau ”mati ibu” bagi kepentingan politik yang mau dimainkan di tingkat fit and proper test.

Kedua, juga akan punya implikasi besar untuk kerja panitia seleksi. Bagaimanapun, dengan hanya mencari delapan orang, panitia seleksi akan memiliki posisi waktu dan sumber daya keuangan yang lebih leluasa untuk mengejar delapan orang yang terbaik. Bukan sekadar itu, panitia itu juga akan memiliki kesempatan untuk merancang cara kerja yang jauh lebih baik, termasuk untuk lebih meninggikan standar pemilihan calon komisioner KPK.

Secara garis besar, kita membutuhkan orang yang memiliki kapabilitas, integritas, dan akseptabilitas. Kapabilitas yang berarti mampu bukan hanya dari sisi teoretis, tapi juga kapabel dalam artian memiliki keberanian kuat dan mampu mengambil keputusan yang cepat manakala dihadapkan pada posisi yang sulit. Integritas tentu saja dalam artian memiliki catatan yang benar-benar bersih. Dan akseptabilitas yang bisa berarti dia diterima oleh publik secara luas dan bukan karena akseptabilitas secara politik semata.

Khusus untuk keberanian, panitia seleksi harus mampu melacak secara komprehensif ”urat berani” masing-masing calon. Langkah ini diperlukan karena yang menjadi salah satu titik lemah sebagian pimpinan KPK selama ini, mereka sepertinya kehilangan nyali untuk menindaklanjuti megaskandal yang melibatkan banyak kalangan yang mempunyai posisi politik sangat kuat. Banyak kalangan percaya, bila panitia seleksi gagal menemukan calon yang memiliki urat berani luar biasa, jangan pernah berharap pimpinan KPK ke depan mampu menyentuh dan menuntaskan semua megaskandal yang hingga saat masih terbengkalai.

Karena itu, untuk menemukan orang-orang dengan kriteria tersebut, panitia seleksi harus memiliki keberanian pula untuk memangkas semua calon yang bermasalah dengan masa lalunya. Percayalah, sekiranya pansel memilih calon yang memiliki kelemahan karena cacat masa lalu, sekecil apa pun kelemahan itu akan dijadikan ruang untuk memukul balik setiap langkah yang dilakukan KPK. Hanya dengan memilih calon yang berintegritas dan memiliki keberanian luar biasa, putusan MK dapat menjadi semacam parsel bagi pansel dan sekaligus menjadi parsel istimewa untuk agenda pemberantasan korupsi.

Ucapan terima kasih layak kita berikan kepada MK. Putusannya telah menjadi angin yang cukup segar untuk eksistensi pemberantasan korupsi bahkan juga sangat menolong panitia seleksi KPK. Semoga panitia seleksi mau dan mampu memilih orang yang pas untuk KPK, seakan menerjemahkan parsel tersebut menjadi hadiah lain bagi bangsa dan negara ini.

*)Pengajar ilmu hukum di Fakultas Hukum UGM. Direktur PuKAT Korupsi FH UGM, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus