Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Umar Mubdi
Kandidat Master International Peace and Conflict Studies, Collegium Civitas Warsawa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Modernisasi telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Hal ini dapat dipahami melalui pemanfaatan istilah modernisasi demokrasi yang mengandung beberapa kriteria, yaitu (i) pembentukan lembaga-lembaga demokrasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan umum yang bebas dan adil (Hiariej, 2017), (ii) adanya perimbangan kekuatan antar-kelompok utama (Moore, 1966), dan (iii) kelompok masyarakat sipil dan kelompok subordinat yang performatif (Dietrich Rueschemeyer, et al., 1992).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dalam hal ini, modernisasi demokrasi di Indonesia baru menunjukkan kemajuan secara formal. Beberapa pakar menyimpulkan modernisasi demokrasi Indonesia mengalami stagnasi (Tornquist, 2015). Penyebabnya adalah praktik klientelisme.
Substansi demokrasi untuk mendistribusikan keadilan seluas-luasnya kepada rakyat, termasuk jaminan persamaan hak atas kesempatan dalam politik, menjadi terdindingi karena praktik klientelisme erat hubungannya dengan oligarki kekuasaan. Tujuan untuk menciptakan demokrasi Indonesia yang konsolidatif terancam gagal karena yang terjadi adalah munculnya bentuk politik baru pasca-klientelisme, yang dapat disimak dengan melihat proses saling mempengaruhi antara populisme dan klientelisme (Hiariej, 2015).
Praktik klientelisme ini ditandai dengan penguasaan sumber daya pada segelintir elite atau patron untuk ditukarkan dengan loyalitas politik klien (Hopkin, 2006). Terdapat paling tidak dua unsur penting dalam praktik klientelisme (Erawan, 2008). Pertama, resiprositas simetris: dua kelompok yang terlibat dalam penyediaan barang dan jasa saling bertukar keuntungan dalam kondisi sukarela atau "pertemanan". Kedua, resiprositas asimetris: hubungan di antara dua kelompok tidak setara. Akibatnya, kelompok yang satu menjadi superior dibanding kelompok yang lain.
Agaknya, pola klientelisme di Indonesia kini berubah dari vertikal menjadi horizontal. Perbedaannya terletak pada pola hubungan yang tidak lagi hierarkis, melainkan lebih demokratis (Hopkin, 2006). Patron masih menguasai sumber daya, tapi klien tidak lagi bergantung pada patron, terutama dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Klien menjadi lebih bebas untuk mengakumulasi kepentingan dan aspirasinya.
Kemunculan Joko Widodo (Jokowi) dianggap sebagai keberhasilan rakyat menuntut perubahan dan mematahkan kekuasaan oligarki melalui demokrasi. Hal ini dapat dipahami dari latar belakang Jokowi yang bukan dari keluarga politikus, konglomerat, sosial-keagamaan, atau faktor sosial lain yang mengindikasikan golongan elite.
Namun, karena apresiasinya yang tinggi terhadap demokrasi sekaligus momentum antitesis dari presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang terkesan formalistik, Jokowi berhasil menampilkan gaya politik populis dan mengantarkannya sebagai presiden. Jokowi juga mengkombinasikannya dengan model klientelisme yang tidak konvensional melalui program kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial, sebagai perekat tuntutan sebagian besar rakyat.
Meski kalah dalam pemilihan umum, populisme Prabowo lebih kental secara ontologis dan janji kampanyenya sebagian besar berbicara tentang masalah distribusi kesejahteraan. Prabowo hendak menampilkan diri sebagai sosok karismatik, tegas, nasionalis, dan dekat dengan rakyat.
Sebagai pemimpin populis, Prabowo juga memainkan wacana kesejahteraan. Dia, misalnya, mengkritik "kebocoran" kekayaan Indonesia ke luar negeri karena investasi asing dinilai tidak menghasilkan distribusi kesejahteraan kepada rakyat. Sentimen-sentimen semacam itu tumbuh dari tuntutan golongan pro-perubahan, yang kemudian efektif digunakan oleh Prabowo untuk menguji konsistensi elite penguasa.
Lantas, sejauh mana implikasi pasca-klientelisme terhadap demokrasi modern di Indonesia setelah pemilihan presiden 2019? Ada beberapa catatan. Pertama, muncul kekhawatiran populisme akan merusak demokrasi modern dengan beberapa asumsi, yakni pola relasi vertikal yang akan berujung pada totalitarianisme, janji pemenuhan tuntutan yang cenderung utopis, dan kecenderungan adanya ketidakpatuhan terhadap rule of law (Crabtree, 2000).
Kedua, populisme merupakan bagian dari politik modern yang tidak terhindarkan. Namun kekhawatiran tersebut tak perlu berujung jauh karena dalam demokrasi yang mapan, setidaknya di Indonesia, terdapat pembatasan antar-aktor berupa checks and balances.
Ketiga, populisme Indonesia hanya sebatas praktik politik untuk memenangi pemilihan tanpa mempengaruhi konstitusi atau mencederai institusi demokrasi. Meski terdapat beberapa ekses, tidak ada kekerasan yang signifikan mencederai demokrasi.
Keempat, pasca-klientelisme adalah alarm bagi negara untuk segera menyelesaikan persoalan kesejahteraan dengan pendistribusian sumber daya yang berkeadilan. Partai politik juga harus melakukan perbaikan sistem kaderisasi agar pendidikan politik di masyarakat menjadi lebih baik dan dapat melahirkan aktor alternatif untuk menghentikan lingkaran oligarki.