Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Umum Partai Golkar melantik 183 orang untuk menjadi pengurus dan anggota Badan Penelitian dan Pengembangan Kekaryaan partai itu dua pekan lalu. Kalau saja tidak ada sekitar 50 nama pegawai negeri sipil yang ikut dilantik, pasti pembentukan Badan Penelitian dan Pengembangan ini tak akan menuai banyak kritik. Mungkin banyak orang akan memujinya sebagai langkah strategis Jusuf Kalla sebagai ketua umum partai itu.
Tapi, harus diakui, justru sekitar 50 nama pegawai negeri sipil yang menduduki berbagai pos penting di jajaran birokrasi itulah yang membuat Badan Penelitian dan Pengembangan menarik. Sebagai seorang pengusaha yang terbiasa berpikir menangkap peluang, Jusuf Kalla tahu benar bahwa kaum cerdik pandai itu merupakan intangible asset yang berharga. Bergabungnya para cendekiawan itu sama dengan suntikan modal besar untuk perusahaan di pasar bursa. Partai Golkar akan menjadi saham blue chip yang diperebutkan. Selain menjadi aset tanpa wujud, siapa tahu para cendekiawan tadi bisa menjadi panutan bagi komunitasnya dalam memilih partai di Pemilu 2009. Sebuah pemikiran yang sangat strategis.
Yang jadi persoalan, Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang dimaklumkan pada 1999 melarang pegawai negeri sipil menjadi anggota atau pengurus partai politik. Ketentuan ini bukan tidak diketahui Partai Golkar. Bahkan pengurus Partai sudah menyiapkan argumen legal formal. Pegawai negeri sipil yang dilantik menjadi anggota Badan Penelitian dan Pengembangan, demikian argumen Partai Beringin, bukanlah anggota Partai. Karena bukan anggota Partai, pegawai negeri sipil tadi tidak memenuhi syarat menjadi pengurus Partai Golkar. Dengan begitu, para pegawai negeri tadi boleh menjadi anggota Badan Penelitian dan Pengembangan karena bukan anggota atau pengurus partai politik.
Argumentasi itu seakan menempatkan Badan Penelitian dan Pengembangan di luar Partai Golkar. Padahal susunan personalia badan itu ditetapkan dengan surat keputusan Dewan Pengurus Pusat Partai yang ditandatangani Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Golkar. Apalagi, dalam Musyawarah Nasional Partai Golkar di Bali pada 2005, Badan Penelitian dan Pengembangan dimasukkan secara resmi ke jajaran Pengurus Pusat Partai Golkar. Dengan begitu, untuk menjadi anggota atau pengurus Badan Penelitian dan Pengembangan seharusnya berlaku syarat keanggotaan seperti aturan anggaran rumah tangga Partai. Dengan kata lain, para pegawai negeri tentu tak bisa masuk Badan Penelitian dan Pengembangan.
Agar tidak dituduh melanggar undang-undang, Partai Golkar perlu mengembalikan badan tadi kepada ide semula, ketika masih bernama Pusat Kajian Kekaryaan. Ketika itu, pada 2001, sekelompok cendekiawan berkumpul untuk mengkaji urusan bangsa tanpa berpikir mengabdi pada satu partai, walau berada ”dekat” Golkar.
Semestinya Partai Golkar memelihara kelompok cendekiawan ini. Partai Beringin perlu melindungi agar mereka tidak tersisih oleh kelompok avonturir—mereka yang hanya mencari cara berkuasa, setelah gagal masuk kepengurusan Partai dalam Musyawarah Nasional 2005. Konon kelompok avonturir inilah yang berhasil mendorong Badan Penelitian dan Pengembangan masuk jajaran pengurus Partai. Kalau benar begitu, dikhawatirkan bukan kajian masalah bangsa yang akan dihasilkan, tapi kalkulasi untung-rugi politik semata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo