Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pelajaran jimmy carter

Keluarga-keluarga kennedy diwarisi semboyan congkak dari kakeknya. rebut tempat pertama, tempat ke-2 kalah. sukses profesional tidak diukur berdasarkan jenjang promosi. karena bisa baik bila pada tempatnya.

12 Maret 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA bertamasya ke pantai Carita bersama keluarga paman saya, maka hal yang paling menarik adalah tingkah-pola ketiga orang anaknya. Si bungsu di kelas III SD bernama Yani, putera. Yang kedua puteri bernama Santi, sekarang di kelas I SMP. Yang sulung, Yanto, di SMP kelas III, putera yang juga jadi bintang keluarga ini: Cerdas, percaya diri, tak acuh, angkuh tapi setia. Memandang ombak yang memecah, kami mengambil tempat di bawah sebatang perdu dan berbicara tentang segala hal, antaranya tentang cita-cita mereka. Yani mau jadi apa nanti? - Jadi doktorandus, kak! - Santi mau jadi penyanyi seperti Emilia Contessa! - Kenapa? - Biar banyak teman. Bisa surat-suratan di koran. Pakai foto segala. Asyooi! - Yanto tentu jadi penerbang, ya kan? - kataku menggoda. - Tidak!! - Lalu jadi apa, To? - Jadi bandit! Boleh To, asal bandit yang nomor satu kata ayahnya, yang juga mendengar jawaban anaknya. Semua tertawa. Hanya saya yang bengong bercampur kagum. *** Menjadi apa nanti, bagi ayah itu, nampaknya bukanlah perkara utama. Yang menantang ialah menjadi yang bagaimana, dengan kwalitas apa. Sang ayah rupanya berpendapat: kalau mandi jangan kepalang basah. Tidak keberatan kalau anaknya jadi apa pun juga bandit asal yang hebat, dengan mutu terbaik. Mungkin hal tersebut terdengar extrim. Tetapi sikap di baliknya sebetulnya mulia, agung, mungkin aristokratis dalam makna sesungguhnya. Yaitu menjadi yang terkemuka dan terbaik dalam posisi apapun, sebagai apapun: dirjen, guru besar, direktur, juru tik atau polisi lalu-lintas. Konon, keluarga-keluarga Kennedy diwarisi dengan sebuah semboyan yang congkak dari kakek mereka Patrick Kennedy, itu Kennedy pertama yang lahir di Amerika. Semboyan itu kemudian dianggap sebagai amanat, dan belakangan dijalankan pula: rebut tempat pertama, tempat kedua itu kalah namanya. (Come in frst, second place is failure). Ketika Joseph Kennedy - bapak Presiden Kennedy - menjadi ayah, maka diapun ingin menjadi ayah yang berhasil. Kepada isterinya Rose Mary dia bahkan berjanji: "Untuk tiap anak yang kau berikan kepadaku akan saya sediakan satu juta dollar. Uang itu boleh mereka gunakan sekehendak hatinya, setelah mereka berumur 21 tahun". Menurut sebuah perkiraan ketika John Kennedy menjadi presiden, uang yang disediakan ayahnya total berjumlah 200 juta dollar. *** Kalau seseorang memasuki sebuah pekerjaan, maka kerja itu dapat menjadi tempat dia mengembangkan potensinya atau pekerjaan itu hanya dijadikan jalan bagi promosi dirinya. Seorang menjadi supir bis karena "mengukur jalan raya" memang sesuai dengan bakat dan tenaganya, atau karena setelah empat atau lima tahun menjadi supir, dia berharap akan diangkat menjadi pengawas supir, kemudian kepala bahagian di sebuah departemen perusahaan bis dan, siapa tahu, pada akhirnya menjadi direktur. Sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua keinginan itu. Secara teoritis, seorang pengawas supir akan dipilih dari antara mereka yang tclah membuktikan dirinya sebagai supir-teladan. Akan tetapi tidak selalu harus demikian. Reporter sebuah harian dapat mengembangkan dirinya menjadi amat sukses (juga secara ekonomis) tanpa perlu berharap menjadi wakil pemimpin redaksi. Pada taraf yang berhasil, dia akan menjadi rebutan tiap majalah berita, untuk membuat sebuah reportase penting. Hal yang pada hemat saya tidak benar ialah bahwa sukses profesionil biasanya diukur berdasarkan jenjang promosi, dan bukan berdasarkan volume prestasi dalam posisi tertentu. Bukankah sia-sia mengambil guru SMA yang berhasil dan menjadikannya dosen Fakultas yang gagal? Atau mengangkat seorang dirjen yang berhasil menjadi menteri yang gagal? Sebabnya ialah karena seseorang hanya bisa menjadi yang terbaik di tempatnya yang benar. "Right man on the wrong place" tak lain dari pemborosan. Ketika mendengar tentang adanya program "produksi" beberapa ratus Dr. dalam beberapa tahun, teman sekantor saya nyeletuk: "Apa masalah kita yang sebenarnya? Memperbaiki mutu guru-guru SD dan SMP atau menghasilkan ratusan Dr.?" Persoalannya adalah pilihan antara kenaikan ke atas atau perbaikan di rempat. Jimmy Carter serasa menggema dengan amat simpatik juga di Indonesia: Why not the best?, mengapa bukan yang nomor satu, juga sebagai guru SD?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus