Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Binsar M. Gultom
Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat (2001-2005)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Indonesia pernah menggelar Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2001-2005. Pengadilan itu mengadili kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok. Adapun Pengadilan HAM Makassar pernah menangani kasus pelanggaran HAM di Abepura, Papua. Namun sekarang tidak terdengar lagi kabar tentang penanganan kasus di Pengadilan HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, terdapat empat wilayah hukum Pengadilan HAM di Indonesia, yakni Jakarta Pusat, Medan, Surabaya, dan Makassar. Namun, sangat disayangkan, kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelum dan sesudah berlakunya undang-undang itu tak ada lagi yang dilimpahkan ke Pengadilan HAM. Padahal cukup banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Mengapa begitu krusialnya kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini diungkap dan dituntaskan oleh pemerintah dari waktu ke waktu? Mungkin karena kasus itu melibatkan banyak pihak, termasuk aparat keamanan di lapangan, hingga bisa menyeret tanggung jawab komandan (militer atau kepolisian) atau atasan sipil (gubernur hingga presiden) serta tokoh masyarakat. Jika itu alasannya, tidak ada alasan bagi presiden mendatang untuk tidak menuntaskan setiap pelanggaran HAM. Janganlah kasus-kasus HAM ini dianaktirikan dibanding kasus korupsi, teroris, dan narkoba.
Tanggung jawab negara dan pemerintah dipertaruhkan di sini. Inilah risiko suatu negara hukum. Negara harus mampu mengatasi dan menyelesaikan setiap permasalahan hukum, bukan membuat kasusnya berlarut-larut, sehingga masyarakat tidak lagi mempertanyakan penyelesaian kasus tersebut.
Yang juga menjadi pertanyaan krusial adalah mengapa Undang-Undang Pengadilan HAM masih dipertahankan jika memang tidak dapat digunakan lagi. Padahal pengaturan tentang hak asasi sudah begitu lengkap sebagai pengejawantahan konstitusi. Ada Kementerian Hukum dan HAM, ada Undang-Undang Hak Asasi Manusia, dan ada Undang-Undang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang bertugas sebagai penyelidik kasus-kasus pelanggaran HAM. Namun regulasi tersebut sebatas retorika. Sebab, fungsi kewenangan itu tidak pernah dapat direalisasi untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM lewat jalur hukum.
Pembentukan suatu undang-undang tidak mudah, memerlukan energi dan biaya yang mahal, sehingga tidak mungkin dihapus begitu saja tanpa alasan yang sah menurut hukum. Maka, hemat saya, pemerintah mendatang harus lebih serius menangani dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM sampai ke akar-akarnya. Penyelesaiannya bisa dalam bentuk rekonsiliasi secara politik atau diselesaikan melalui jalur hukum, seperti pernah dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia dan Timor Leste.
Ketika saya mencermati debat calon presiden pada 17 Januari lalu, pembahasan masalah penegakan hukum di bidang HAM hanya retorika, seperti hak kebebasan berpendapat, hak agraria, pendidikan, dan agama. Semua itu sudah diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Namun, jika terjadi pelanggaran HAM, sanksi apa yang harus dijatuhkan kepada pelaku tidak dibahas dalam debat. Seharusnya debat berikutnya dapat mempertajam hal ini agar pada pemerintahan mendatang, sanksi pidana tersebut diatur secara tegas dalam undang-undang. Alternatif lain adalah penyelesaian dalam bentuk musyawarah secara individu atau nasional dan/atau melalui jalur hukum di Pengadilan HAM.
Menurut asas legalitas, tiada perbuatan dapat dipidana jika terlebih dulu tidak diatur dalam undang-undang. Jadi, setiap kasus pelanggaran HAM harus terlebih dulu diatur secara tegas sanksi pidananya. Dengan demikian, saat pelaku pelanggaran HAM disidang di Pengadilan HAM, hakim dapat memastikan apakah terdakwa tersebut dapat dipidana atau tidak. Dengan cara ini diharapkan kasus-kasus pelanggaran HAM nanti tidak akan terulang lagi, setidaknya dapat diminimalkan, karena sudah ada sanksi pidana yang tegas dari Pengadilan HAM.