Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Bukti Pelanggaran HAM di Rumoh Geudong

Tulang manusia di Rumoh Geudong menjadi bukti kuat pelanggaran HAM. Pemerintah berutang menyingkap kebenaran dan keadilan.

14 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENEMUAN tulang-tulang manusia di lokasi pembangunan Memorial Living Park Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh, menggambarkan betapa kelamnya sejarah di wilayah bekas konflik tersebut. Dengan temuan ini, petunjuk tentang adanya extrajudicial killing alias pembunuhan oleh aparat tanpa proses hukum makin nyata.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan tulang-tulang ini mendapat sorotan luas setelah pada 3 Maret 2024, di tengah kegiatan konstruksi yang sibuk dengan raungan alat berat, beberapa orang terlihat melakukan prosesi seperti pemulasaraan jenazah. Orang-orang itu membungkus tulang-tulang tersebut dengan kain kafan dan mendaraskan doa untuk mereka yang dikubur di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebenarnya tulang-tulang ini sudah ditemukan oleh para pekerja proyek antara akhir Oktober dan November 2023. Pada rentang waktu tersebut, pekerja proyek menemukan satu per satu sisa kerangka manusia saat menggali bekas selokan di sebelah kiri Rumoh Geudong. Tulang-tulang ini diduga kuat merupakan sisa jasad korban semasa konflik Aceh pada 1976-2005, terutama saat pemberlakuan daerah operasi militer pada 1989-1998.

Dalam ingatan keluarga korban, Rumoh Geudong adalah lokasi penjagalan yang mengerikan: tempat aparat menahan, menyiksa, dan membunuh. Namun, sejak awal, pemerintah salah kaprah menangani kasus pelanggaran berat hak asasi manusia tersebut. Alih-alih membongkar dan mengungkap kebenaran, pemerintah malah memilih membangun monumen peringatan di area reruntuhan rumah jagal tersebut.

Presiden Joko Widodo pada 27 Juni 2023 memang mengatakan bahwa tujuan pembangunan monumen Rumoh Geudong adalah mengingat terjadinya pelanggaran HAM serta mencegah kejadian serupa terulang. Namun apakah membangun monumen cukup untuk mencegah kekejaman serupa di masa yang akan datang? Tentu saja tidak.

Dalam konteks ini, perbandingan Memorial Living Park Rumoh Geudong dengan Monumen Holocaust di Jerman menjadi relevan. Di Jerman, Monumen Holocaust bukan hanya sebagai pengenangan, tapi juga sebagai simbol komitmen terhadap keadilan dan penegakan kebenaran. Sedangkan pembangunan Memorial Rumoh Geudong lebih mirip tindakan kosmetik untuk menutupi kegagalan penegakan hukum.

Selama hampir satu dekade memerintah, Jokowi lebih tertarik pada upaya rekonsiliasi non-yudisial daripada penuntasan secara hukum kasus pelanggaran HAM berat. Pemerintah memilih rekonsiliasi tanpa mengungkap dulu kebenaran. Seolah-olah hak korban dan keluarganya bisa dipulihkan dengan berbagai bantuan materi semata.

Selama hampir 10 tahun memerintah, Jokowi pun memilih merawat impunitas daripada menghukum para pelaku pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong. Alih-alih mendapat hukuman setimpal, pelaku pelanggaran HAM malah menikmati privilese politik dengan menduduki pelbagai jabatan publik.

Walhasil, sampai hari ini, Rumoh Geudong masih mewakili luka yang dalam dan pertanyaan yang tak terjawab dari masa lalu yang kelam. Para penyintas dan keluarga korban jelas lebih merindukan kebenaran ketimbang monumen yang mewah. Karena itu, pemerintah seharusnya menjadikan pemenuhan keadilan sebagai fokus utama, bukan sebagai janji kosong atau komoditas politik belaka.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus