Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mengapa Pemahaman HAM Polisi Masih Rendah?

Maraknya represi terhadap kebebasan sipil yang dibiarkan kepolisian menandakan minimnya pemahaman nilai hak asasi manusia.

28 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Serangkaian insiden represi terjadi dengan pola dan pendekatan yang sama. Ada kemungkinan bertujuan membunuh pesan yang hendak disampaikan.

  • Ironisnya, polisi terkesan membiarkan berbagai tindakan premanisme.

  • Patut diduga polisi membiarkan kehadiran kelompok preman karena menguntungkan.

SEPANJANG tahun ini sejumlah insiden represi berupa pembubaran acara diskusi dan unjuk rasa menunjukkan fenomena kembalinya cara-cara premanisme. Tindakan ini melibatkan perampasan, ancaman, hingga penganiayaan.

Dalam diskusi People's Water Forum (2024) di Denpasar, Bali, Mei 2024, misalnya, sekelompok orang memaksa masuk ruangan diskusi, mencabut alat peraga, serta mengusir dan menghalangi peserta untuk memasuki lokasi acara. Aksi serupa terjadi pada September 2024 saat demonstrasi Global Climate Strike di Jakarta. Acara ini diadakan sejumlah organisasi dan komunitas yang membawa manekin "Raja Jawa".

Hanya sehari berselang, pada 28 September 2024, diskusi Forum Tanah Air di Jakarta juga mengalami pembubaran oleh kelompok preman. Serangkaian insiden ini terjadi dengan pola dan pendekatan yang sama. Ada kemungkinan kejadian itu bertujuan membunuh pesan yang hendak disampaikan. Sebab, secara tidak langsung, fokus media massa dan publik teralihkan ke kericuhan yang terjadi, bukan pada substansi pesan yang disampaikan dalam diskusi atau unjuk rasa.

Kehadiran preman melahirkan situasi sulit yang mengharuskan peserta demonstrasi atau diskusi mengambil pilihan kemungkinan yang berisiko. Apabila melawan, akan ada benturan baik verbal maupun fisik dengan preman. Hal ini dapat dijadikan landasan bagi petugas kepolisian melakukan “penangkapan” dengan alasan menjaga situasi agar kondusif.

Biasanya tindakan represi dalam demonstrasi dan diskusi dilakukan oleh aktor keamanan resmi seperti kepolisian. Namun belakangan ini muncul kembali kelompok preman yang turut merepresi kebebasan dengan dalih nasionalisme dan seolah-olah bertindak sebagai centeng moralitas.

Kelompok semacam ini, oleh Tilly (1985), disebut sebagai “para spesialis kekerasan non-pemerintah”1. Kemunculan preman ini menggenapkan penyempitan kebebasan sipil di Indonesia, situasi yang dapat memandu Indonesia masuk ke dalam rezim baru ketertiban melalui pengendalian kebebasan. 

Ironisnya, polisi terkesan membiarkan berbagai tindakan premanisme dalam merepresi acara diskusi dan demonstrasi. Pembiaran ini jelas merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia karena negara mengabaikan kewajibannya untuk melindungi dan/atau memenuhi HAM (by omission).

Padahal jaminan kebebasan berekspresi dan berkumpul dihormati serta dilindungi dalam konstitusi, seperti Undang-Undang Dasar 1945, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi Indonesia.

UU Nomor 9 Tahun 1998 dengan tegas mendefinisikan bahwa tindakan menghalang-halangi kebebasan menyampaikan pendapat merupakan tindak "kejahatan". Tindakan yang menyertainya, seperti kekerasan, ancaman kekerasan, dan perampasan, seharusnya juga dapat dijerat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Sebagai pihak yang bertanggung jawab atas perlindungan hukum dan HAM, polisi terlihat permisif serta terkesan merestui tindakan yang terjadi dalam tiga kejadian di atas. Padahal kepolisian dapat menggunakan kewenangannya untuk menghalau dan memastikan kegiatan tersebut berlangsung damai sehingga para peserta bisa berpendapat secara bebas tanpa gangguan. Perilaku permisif polisi ini harus dilihat sebagai penyimpangan yang bertentangan dengan kewajiban. 

Pembiaran polisi tergambar jelas ketika membiarkan para preman merampas dan merusak alat peraga, poster, serta spanduk dalam demonstrasi Global Climate Strike dan diskusi Forum Tanah Air. Bahkan, dalam kasus ini, sempat terjadi kekerasan terhadap petugas keamanan hotel lokasi diskusi tersebut. Ironisnya, berdasarkan video yang berseliweran di media sosial, terlihat salah satu anggota kelompok pengacau itu berpelukan dengan polisi.

Patut diduga polisi membiarkan kehadiran kelompok preman karena menguntungkan. Polisi tidak usah berlama-lama berjaga di lokasi kegiatan sehingga mereka lebih “hemat biaya dan tenaga”. Namun pembiaran ini akan memberikan dampak meluas yang buruk (chilling effects) terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Awal Oktober lalu, Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya memang telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus Forum Tanah Air dan memeriksa 30 anggota kepolisian yang bertugas di lokasi. Namun penegakan hukum tersebut rasanya terlambat. Seharusnya sedari awal polisi dapat melakukan tindakan preventif sehingga demonstrasi dan diskusi dapat berjalan tanpa hambatan.

Meski begitu, penegakan hukum kasus pembubaran diskusi juga tidak berdiri sendiri karena ada kemungkinan dipengaruhi oleh opini dan tekanan publik. Terlebih, sejumlah anggota Forum Tanah Air adalah tokoh dan mantan pejabat publik. Alih-alih menegakkan hukum secara proporsional, transparan, dan imparsial, polisi malah mendahulukan kasus ini serta mengabaikan kasus pembubaran demonstrasi Global Climate Strike.

Padahal keduanya merupakan kasus yang sama dan seharusnya penindakannya dapat dilakukan secara bersamaan karena keduanya merupakan “delik biasa”. Diskriminasi ini menyempurnakan buruknya penegakan hukum di kepolisian.

Polisi harus secara komprehensif mengungkap auktor intelektualis di belakang para preman. Sebab, pada umumnya, tidak mungkin aksi premanisme seperti ini dilakukan secara spontan dan sukarela. Hal yang tak kalah penting adalah penindakan terhadap anggota kepolisian yang melakukan pembiaran.

Langkah ini penting untuk menimbulkan efek jera dan mencegah terulangnya pelanggaran karena hal tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap kewajiban atau bentuk penyimpangan prosedur. Dari kacamata pelayanan publik, penyimpangan ini merupakan bagian dari maladministrasi.

Dalam masyarakat demokrasi, maladministrasi mencerminkan kegagalan suatu pemerintahan dalam memenuhi hak-hak sipil (Agung Nugraha, 2021)2, termasuk kebebasan berekspresi dan berkumpul. Sialnya, kepolisian tampak konsisten melakukan maladministrasi.

Pada periode 2019 hingga triwulan I 2024 saja, misalnya, Ombudsman RI melaporkan setidaknya ada 7.844 laporan masyarakat perihal buruknya pelayanan publik oleh kepolisian. Tingginya angka pengaduan tersebut menunjukkan ada ketidakberesan dan menjadi bukti reformasi kepolisian mengalami kemunduran. 

Dalam kasus pembiaran aksi premanisme dalam demonstrasi dan diskusi, kepolisian juga tampak tidak memiliki pemahaman serta pengetahuan mengenai HAM. Karena itu, diperlukan intensifikasi pendidikan dan pelatihan jangka panjang yang menyasar semua anggota kepolisian, tidak terbatas pada jenjang kepangkatan.

Meski ini bukan masalah tunggal, setidaknya reformasi kepolisian dapat dimulai dari upaya peningkatan pemahaman polisi soal HAM. Sebab, membiarkan polisi bekerja tanpa pengetahuan mengenai HAM sama saja dengan membiarkan preman memegang senjata api. Semua orang bisa menjadi korban. 


1 Dikutip dari: Ian Douglas Wilson, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde  Baru, cetakan kedua-Mei 2019, Marjin Kiri, hlm. 1
2 Agung Nugraha, 2021, Yuk Kenali Bentuk-bentuk Maladministrasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus