Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Omong Kosong Pembatalan Kenaikan Biaya Kuliah

Pembatalan kenaikan UKT tak menyelesaikan masalah sepanjang aturannya tak disentuh. Komersialisasi bisa ugal-ugalan.

30 Mei 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEPUTUSAN Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim membatalkan kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) dan iuran pengembangan institusi (IPI) tahun ajaran 2024/2025 di perguruan tinggi negeri laksana obat pereda nyeri. Pembatalan itu terkesan hanya untuk meredam protes mahasiswa dan kritik pedas dari pelbagai kalangan. Sedangkan peraturan pemerintah dan undang-undang yang menjadi dasar hukum komersialisasi pendidikan tinggi sama sekali tak diotak-atik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembatalan uang kuliah tunggal tanpa pencabutan peraturan dan revisi Undang-Undang tentang Pendidikan Tinggi sama saja dengan omong kosong. Uang kuliah memang tidak naik tahun ini, tapi akan naik tahun depan seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo selang sehari setelah Menteri Nadiem mengumumkan pembatalan kenaikan UKT dan IPI. Pernyataan Jokowi itu seolah-olah menegaskan bahwa pemerintah tak peduli dengan akar persoalan yang menjadi kritik publik. Masalah bukan pada kenaikan uang kuliah yang terkesan mendadak seperti yang disampaikan Jokowi, melainkan pada komersialisasi pendidikan yang ugal-ugalan.

Polemik kenaikan biaya kuliah ini terjadi setelah terbit Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan. Aturan yang terbit pada Januari 2024 ini memberikan keleluasaan kepada kampus untuk mematok nilai uang kuliah tunggal. Akibatnya, sejumlah perguruan tinggi negeri ramai-ramai menaikkan UKT dan IPI atau uang pangkal yang angkanya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Kebijakan ini direspons mahasiswa sejumlah perguruan tinggi negeri dengan menggelar unjuk rasa, bahkan ada yang melakukan aksi mogok makan. Pelbagai kalangan, seperti lembaga swadaya masyarakat, pegiat pendidikan, dan orang tua calon mahasiswa, mengecam keras kenaikan ini menggunakan berbagai saluran, salah satunya melalui media sosial. Setelah panen kecaman dan viral di media sosial, pemerintah buru-buru membatalkan kebijakan tersebut tanpa membenahi akar persoalannya. Sikap setengah hati seperti ini menunjukkan bahwa pemerintah tak berniat menyudahi komersialisasi pendidikan tinggi.

Dalih Menteri Nadiem bahwa UKT mahal merupakan wujud keadilan karena mahasiswa kaya mensubsidi mahasiswa miskin hanyalah akal-akalan komersialisasi pendidikan tinggi. Pada 2023, misalnya, alokasi kuota penerima Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah) di berbagai kampus anjlok hampir 50 persen. Hal ini membuat sejumlah mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi menjadi kesulitan membayar kuliah. Praktik subsidi silang yang disebut Nadiem sebagai alasan UKT mahal pada kenyataannya tak pernah terwujud. Prinsip pembiayaan pendidikan tinggi yang berkeadilan dan inklusif hanya slogan belaka.

Komersialisasi pendidikan juga membuat perguruan tinggi negeri hanya melihat besaran gaji orang tua untuk menentukan UKT tanpa memperhatikan jumlah tanggungan lainnya. Akibatnya, banyak calon mahasiswa dari keluarga menengah pas-pasan harus menanggung beban berat biaya kuliah. Pada akhirnya, perguruan tinggi negeri menjelma menjadi institusi komersial yang semakin berjarak dari aspek fungsi dan filosofis pembentukannya. Padahal Undang-Undang 1945 sudah jelas menyatakan bahwa pemerintah menyediakan pendidikan yang layak untuk setiap warga negara, tak peduli kaya atau miskin.

Tak mengherankan jika, sejak pemerintah menetapkan otonomi kampus pada 1999 yang menjadi tonggak komersialisasi pendidikan tinggi, mutu perguruan tinggi di Indonesia tak kunjung membaik. Peringkat kampus seperti Universitas Indonesia, misalnya, hanya bertengger di level ke-537 dunia seperti yang disampaikan laporan terbaru dari Webometrics. Bukan hanya tak menjamin peningkatan mutu pendidikan, keleluasaan kampus mencari dana tak membuat perguruan tinggi mandiri secara finansial. Pada akhirnya, perguruan tinggi mengambil jalan mudah dengan membebankan pendanaan kepada mahasiswa melalui UKT yang mahal.

Karena itu, praktik komersialisasi perguruan tinggi harus diakhiri agar tak semakin liar. Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan aturan turunannya yang menjadi dasar komersialisasi kampus harus direvisi dan dicabut. Untuk urusan yang satu ini, seperti yang tertuang dalam konstitusi, negara sudah seharusnya hadir menjamin pendidikan untuk semua, bukan hanya untuk orang kaya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus