Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Pembatasan Konstitusional atas Kebebasan

Mahkamah Agung menolak kasasi Hizbut Tahrir Indonesia atas keputusan pembubarannya oleh pemerintah.

5 Maret 2019 | 07.00 WIB

Pembatasan Konstitusional atas Kebebasan
Perbesar
Pembatasan Konstitusional atas Kebebasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Arif Susanto
Analis politik Exposit Strategic

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Mahkamah Agung menolak kasasi Hizbut Tahrir Indonesia atas keputusan pembubarannya oleh pemerintah. Apakah negara memang berwenang untuk melarang operasi suatu organisasi?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Integrasi merupakan suatu kebutuhan berkelanjutan bagi setiap negara. Berhadapan dengan fakta perbedaan dan kebutuhan persatuan, negara tidak harus memilih. Tantangan suatu negara justru adalah bagaimana menjaga kekukuhan integrasi tanpa harus kehilangan kemajemukan.

Tantangan tersebut dijawab para pendiri negara lewat kebangsaan Indonesia sebagai suatu Bhinneka Tunggal Ika. Hidup berkeluasan dalam kemajemukan, tiada pihak yang memperoleh kedudukan istimewa, dan warga terikat oleh solidaritas inklusif sebagai suatu masyarakat politik.

Dalam posisi setara, warga negara berdiri sejajar dengan segenap hak dan kewajiban mereka. Dalam naungan kebebasan, orang pun leluasa mengupayakan perwujudan nilai-nilai penting dalam kehidupan mereka, sejauh hal itu tidak mengancam tertib sosial.

Batasan terakhir ini krusial untuk menjamin keberlangsungan masyarakat politik. Bukan berarti bahwa orang tidak bebas memiliki kepentingan partikular, melainkan bahwa partikularitas kepentingan tidak boleh mengancam kebersamaan. Demokrasi inklusif, secara cerdas, meniti tegangan di antara keduanya.

Pengakuan terhadap "yang berlainan sebagai yang setara" merupakan suatu tali kekang kebebasan yang memastikannya tidak destruktif menelan perbedaan. Dengan melingkupi kemajemukan, demokrasi inklusif tidak membiarkan kebersamaan terancam oleh perbedaan ataupun kebebasan.

Dalam demokrasi inklusif, keberagaman pandangan membantu menjembatani realitas dan obyektivitas dalam suatu tindakan bersama (Young, 2002). Agar putusan bersama dapat disepakati mendekati obyektif, pandangan-pandangan bernalar diekspresikan tanpa bersikap ofensif terhadap perbedaan.

Sayangnya, tertib sosial menjadi kemewahan bagi Indonesia kontemporer. Kehadiran organisasi-organisasi anti-demokrasi membawa serta kesangsian terhadap gagasan kebebasan dan kesetaraan sekaligus menjadikan kekerasan sebagai instrumen efektif pengunjukan kepentingan.

Pada 1 Juni 1945, Presiden Sukarno menyarikan suatu pandangan kegotongroyongan melalui Pancasila. Lima asas tersebut, yang kemudian diselaraskan oleh para pendiri bangsa, disepakati sebagai suatu dasar negara yang melandasi keberlangsungan Indonesia untuk selamanya.

Indonesia dioperasikan berlandaskan Pancasila dan penampikan terhadap Pancasila adalah suatu pernyataan "tidak" untuk keindonesiaan. Adalah memprihatinkan bahwa organisasi-organisasi anti-demokrasi mendompleng kebebasan justru untuk menyangkal Pancasila dan keindonesiaan.

Mereka mengutuk demokrasi sembari menuntut agar negara diatur berdasarkan tafsiran sepihak mereka atas "hukum Tuhan". Mengupayakan suatu tatanan tunggal, relasi-relasi pun mereka identifikasi secara bertentangan: kami berada di jalan kebenaran dan yang lain menempuh kesesatan.

Demi memelihara keberlangsungan negara, gagasan anti-demokrasi tidak mungkin dibiarkan sebagai suatu ancaman. Negara tidak semata berwenang untuk melindungi kebebasan dan mengupayakan tatanan berkeadilan, tapi bahkan dibekali instrumen pemaksa untuk menjalankan kewenangan tersebut.

Larangan keberadaan organisasi-organisasi anti-demokrasi dapat diberlakukan, sedikitnya dengan syarat-syarat berikut. Pertama, pelarangan sebagai suatu pembatasan dilakukan demi melindungi kebebasan yang lebih luas. Kedua, putusan pelarangan tidak menafikan deliberasi publik. Ketiga, putusan ditetapkan melalui suatu pengadilan yang adil.

Pembatasan konstitusional tersebut merupakan tindakan absah, sesuai dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945 yang spiritnya menyelaraskan antara pemenuhan hak atas kebebasan serta tuntutan keadilan dan pemeliharaan tertib sosial. Ekspresi kebebasan dituntut untuk memiliki basis legitimasi tanpa menabrak nilai-nilai dasar yang menjamin keberlangsungan masyarakat demokratis.

Rawls (2001) menempatkan perlindungan kebebasan sebagai hal pokok, sedangkan pembatasan diterapkan demi tujuan "mengatur suatu sistem kebebasan dalam bentuk terbaiknya". Demikianlah kebebasan dan keadilan berkelindan; tanpa ditopang pertimbangan keadilan, ekspresi kebebasan berpeluang melahirkan penindasan.

Negara tidak boleh kalah melawan organisasi-organisasi anti-demokrasi dan anti-Pancasila. Namun pemberlakuan sanksi, termasuk melalui pengadilan, tidak boleh melampaui tataran yang dibutuhkan untuk memulihkan kebebasan umum dan keadilan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus