Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Pembatasan Transaksi Tunai

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berupaya agar Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal bisa segera dibahas di parlemen untuk menjadi undang-undang.

30 April 2018 | 07.00 WIB

Pengendara mobil melakukan pembayaran nontunai menggunakan kartu uang elektronik ataue-toll di Gerbang tol RAMP Taman Mini 2,  Jakarta, 7 September 2017. Mulai Oktober 2017 pemerintah mengharuskan pengguna tol membayar secara non tunai menggunakan transaksi elektronik dengan kartu E-Toll. TEMPO/Subekti.
Perbesar
Pengendara mobil melakukan pembayaran nontunai menggunakan kartu uang elektronik ataue-toll di Gerbang tol RAMP Taman Mini 2, Jakarta, 7 September 2017. Mulai Oktober 2017 pemerintah mengharuskan pengguna tol membayar secara non tunai menggunakan transaksi elektronik dengan kartu E-Toll. TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah berupaya agar Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal bisa segera dibahas di parlemen untuk menjadi undang-undang. Beleid tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Isu pokok rancangan itu adalah pembatasan nilai transaksi tunai. KPK menghendaki limit transaksi di level Rp 25 juta. PPATK lebih moderat dengan mengusulkan batas maksimal nilai transaksi Rp 100 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Besaran nilai pembatas berimbas pada sanksi administratif bagi para pelanggarnya. Denda ditetapkan sebesar persentase tertentu atas nilai yang dilanggar. Penalti akan dikenakan oleh lembaga terkait kepada pihak yang tertangkap melakukan transaksi uang tunai melebihi Rp 100 juta.

Dalam skenario PPATK dan KPK, penetapan batas nilai transaksi tunai dan sanksinya bisa mempersempit ruang gerak tindak penyuapan, korupsi, pencucian uang, dan pendanaan terorisme. Karena itu, rancangan ini adalah ikhtiar dalam menekan kejahatan finansial yang kian marak sekaligus mendorong masyarakat nirtunai.

Namun, pembatasan nilai transaksi uang kartal, yang berbentuk uang logam dan kertas, menuntut beberapa prasyarat. Masyarakat, khususnya lapisan bawah dan menengah, harus sudah terbiasa dengan transaksi non-tunai. Selain itu, layanan perbankan sudah menjangkau seluruh wilayah di Tanah Air.

Dua prasyarat di atas tampaknya masih jauh dari harapan. Harus diakui pula, tingkat melek keuangan masyarakat relatif masih rendah dibanding negara berkembang lain. Maka, jumlah bank dan lembaga teknologi finansial yang ada tidak sebanding dengan optimalitas kemanfaatannya.

Pembatasan transaksi tunai menuntut juga keandalan sistem pembayaran. Aplikasi pembayaran non-tunai lintas bank secara real time harus memadai. Faktanya, Gerbang Pembayaran Nasional yang dirintis Bank Indonesia belum tuntas terkoneksi dengan Visa dan Master Card sehingga menyulitkan investor asing.

Lebih mendasar lagi, pembatasan transaksi tunai harus menjamin ekuivalensi nilai antara uang tunai dan non-tunai. Transaksi tunai tidak memerlukan biaya, sedangkan pemanfaatan jasa lembaga keuangan mensyaratkan biaya tambahan. Artinya, migrasi transaksi tunai ke non-tunai mengubah nilai uang. Biaya adalah distorsi terhadap daya beli uang tunai.

Kalaupun empat prasyarat itu terpenuhi, masih ada persoalan lain. Otoritas finansial niscaya kelimpungan dalam melakukan pengawasan. Celah transaksi uang tunai masih akan terjadi karena otoritas finansial tidak bisa mengawasi kegiatan transaksi tunai masyarakat satu per satu.

Pelaku ekonomi akan menyiasatinya dengan transaksi bertahap. Ketentuan batasan nilai transaksi hanya berlaku untuk satu hari. Transaksi Rp 500 juta, misalnya, akan dibayar tunai dalam lima tahap, masing-masing Rp 100 juta per hari. Undang-undang yang tidak bisa efektif dieksekusi niscaya merusak kredibilitas lembaga pembuatnya.

Besaran Rp 100 juta sebagai ambang batas layak pula dipertanyakan. Angka ini konon merujuk pada batasan maksimum uang tunai yang boleh dibawa lintas negara. Ini analogi yang tidak sepadan. Uang tunai yang dibawa keluar/masuk Indonesia berpotensi mengganggu sistem moneter. Tapi transaksi uang tunai Rp 100 juta di dalam negeri tidak berdampak apa pun pada neraca pembayaran.

Saat ini transaksi tunai Rp 100 juta masih agak jarang. Namun, 10 tahun mendatang, dengan asumsi inflasi 4 persen per tahun saja, nilai tersebut akan menyusut sepertiganya. Artinya, transaksi "partai kecil" yang semestinya bisa diselesaikan dengan tunai nantinya harus melalui non-tunai. Konkretnya, transaksi menjadi tidak efisien.

Namun, dalam tenggat yang sama, tidak ada jaminan undang-undang ini akan direvisi mengikuti perkembangan inflasi. Konsekuensinya, batasan nilai transaksi uang tunai yang riil tereduksi, daya beli berkurang, dan perputaran uang tunai akan melambat.

Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus