Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Editorial Tempo.co
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
---
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SALAH satu ukuran keberhasilan pemilihan presiden dan wakil presiden adalah jika prosesnya berlangsung secara jujur dan adil, bebas dari intervensi kekuasaan dan pemanfaatan alat negara dalam pemenangan calon. Namun, prinsip ini sulit terpenuhi jika dalam praktiknya para menteri hingga kepala daerah yang maju dalam pemilihan presiden-wakil presiden tidak mundur dari jabatan mereka.
Sejumlah aturan memang memperbolehkan kepala daerah dan menteri yang dicalonkan sebagai presiden atau wakil presiden untuk tidak mundur dari jabatannya. Sebelumnya, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 disebutkan bahwa pejabat negara yang menjadi calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri kecuali presiden, wakil presiden, anggota MPR, pimpinan dan anggota DPR, anggota DPD, dan kepala daerah.
Belakangan, Presiden Joko Widodo menambahkan aturan bahwa menteri juga tidak perlu mengundurkan diri saat maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2023 yang disahkan Presiden Jokowi pada 21 November lalu. Sebelumnya, pada Oktober 2022, Mahkamah Konstitusi juga membatalkan ketentuan Undang-undang Pemilu yang mewajibkan menteri untuk mundur ketika menjadi calon presiden atau calon wakil presiden.
Aturan baru ini makin memperlebar pintu bagi penyalahgunaan wewenang pejabat negara sekaligus memperbesar kemungkinan terjadinya pelanggaran dalam pemilihan umum. Bagaimana memastikan keputusan dan perilaku pejabat-pejabat tersebut bukan untuk kepentingan pencalonannya?
Menteri maupun kepala daerah yang masih menjabat saat menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dapat menyalahgunakan wewenang dan jabatan mereka untuk membatasi ruang gerak lawan politiknya. Mereka juga berpeluang memanfaatkan aparatur pemerintah di bawahnya sebagai tim sukses dan membantu pemenangannya—menggerakkan pejabat untuk diam-diam berkampanye bagi mereka.
Aturan baru pemerintah ini jelas bertentangan dengan semangat netralitas aparatur sipil negara atau ASN. Sulit bagi ASN untuk bersikap netral jika calon presiden dan wakil presiden adalah menteri atau kepala daerah yang menjadi pemimpin mereka.
Kinerja kementerian atau daerah pun pasti terganggu karena pemimpinnya pasti dengan berbagai aktivitas dan kampanye. Ujung-ujungnya, publik yang akan dirugikan karena pelayanan pemerintah tidak maksimal.
Di sisi lain, aturan ini menimbulkan ketidakadilan bagi calon presiden atau wakil presiden yang bukan pejabat negara. Berbeda dengan para pejabat, mereka tidak punya akses kepada birokrasi dan sumberdaya pemerintah.
Agar pemilihan presiden dan wakil presiden terhindar dari mudarat kecurangan dan ketidakadilan, semestinya para menteri dan kepala daerah yang menjadi calon melepas jabatan. Mundurnya mereka dari jabatan akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap netralitas pemilihan presiden dan wakil presiden yang sudah tercoreng oleh putusan MK mengenai batas usia yang hanya untuk meloloskan seorang calon.
Jika ada menteri dan kepala daerah yang bersikeras untuk terus menjabat maka kita boleh menduga mereka memang berniat menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pemilu. Itu berarti, mereka bukan calon pemimpin yang dapat dipercaya. Rakyat semestinya tidak memilih mereka sebagai presiden atau wakil presiden.