Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan Komisi Pemilihan Umum menggelar pemungutan suara ulang pemilihan anggota legislatif 2024 mengkonfirmasi dugaan kecurangan pemilu dan penyelenggaraan yang tak sesuai dengan prosedur. Cacat prosedur ini membuat pemilu dan demokrasi di Indonesia tercemar berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan 44 dari 297 gugatan sengketa hasil pemilu DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Bisa jadi masih banyak kecurangan yang tidak sampai ke Mahkamah Konstitusi. Temuan kecurangan terjadi dalam 20 laporan di 20 daerah pemilihan, seperti Gorontalo, Sumatera Barat, Riau, Jayawijaya, Papua Barat Daya, dan Sumatera Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan legislatif 2024 di Gorontalo menjadi sorotan karena terjadi pelanggaran hak keterwakilan perempuan. KPU abai menyetip partai yang tak memenuhi kewajiban keterwakilan 30 persen perempuan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. Dengan regulasi yang sudah jelas itu pun, KPU tak profesional mengatur pemilu dengan meloloskan partai yang tak memenuhi aturan tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengungkap buruknya KPU mengelola pemilu di setiap tahap. Gugatan-gugatan dari banyak daerah itu bukan hanya soal pelanggaran prosedur di hari pencoblosan pada 14 Februari 2024, tapi juga pelanggaran dari tahap pencalonan, kampanye, hingga rekapitulasi suara.
Pelanggaran prosedur pemilu yang meluas bisa merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Juga tanda tanya penyelenggaraan pemilihan presiden yang diwarnai pelbagai kecurangan sejak manipulasi hukum untuk meloloskan salah satu kandidat, netralitas presiden serta aparatur negara, hingga bagi-bagi bantuan sosial yang menodai pemilu yang jujur dan adil.
Putusan Mahkamah Konstitusi kali ini menguatkan dissenting opinion tiga hakim konstitusi dalam putusan pada 26 April 2024 yang menyatakan kecurangan-kecurangan pemilihan presiden terbukti. Hanya karena suara tiga hakim konstitusi itu lebih sedikit dibanding hakim yang menolak gugatan kecurangan, putusan Mahkamah Konstitusi membuat hasil pemilu yang ternoda menjadi sah.
Bukti-bukti kecurangan dan perintah Mahkamah Konstitusi menggelar pemilihan ulang akan berdampak pada legitimasi KPU, pemilu, dan lembaga perwakilan serta pemerintahan terpilih. Putusan MK juga akan membuat tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi Indonesia runtuh. Padahal, pada 27 November mendatang, akan ada pemilihan kepala daerah serentak.
Untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemilu yang jujur dan adil, KPU mesti memperbaiki transparansi serta akuntabilitas dalam setiap tahap pemilihan. Juga penguatan kapasitas dan independensi KPU. Tak kalah penting: sanksi tegas buat para pelaku kecurangan, dari KPU ataupun partai politik.
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bisa menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi itu dengan memberhentikan anggota KPU yang terbukti menyalahi prosedur atau membiarkan bahkan mendukung kecurangan. Bukti-bukti kecurangan dan pelanggaran telah disahkan oleh lembaga tertinggi hukum di Indonesia.
Jangan sampai runtuhnya kredibilitas KPU itu mendorong warga negara mengabaikan pemilu yang membuat perangkat-perangkat demokrasi tak memiliki legitimasi. Sanksi dan hukuman berat tanpa pandang bulu bisa sedikit mengembalikan kepercayaan publik.