Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cari Angin

Pemilu GL

Pada pemilu di era Orde Baru, pemerintah tak netral. Pada era Jokowi, pemerintah menyatakan netral, tapi aparat memihak. 

14 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemilu GL

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semakin dekat hari pencoblosan, semakin lucu tahapan Pemilihan Umum 2024 ini. Lucu bagi mereka yang tidak terlalu pusing mendukung siapa calon presiden dan wakil presiden yang bertarung. Para pendukung fanatik tetap saja saling mencela. Dan kehebohan itu semakin seru ketika acara debat usai digelar, baik debat antarcapres maupun antarcawapres. Banyak orang bertingkah sesuai dengan keterampilannya, meski tampak dipaksakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seusai debat antarcapres pada Ahad lalu, misalnya, berbagai kelucuan kita temui bagaimana orang merespons debat. Ada emak-emak yang menangis karena mengaku tidak tahan Prabowo Subianto dicecar. Video tangisan itu diunggah di media sosial untuk menarik simpati kepada Prabowo. Menjadi lucu karena video itu jelas konten—istilah yang kini top sebagai video rekayasa untuk tayangan media sosial. Lalu konten-konten serupa pun bertebaran. Termasuk konten satire dan memparodikan ucapan para capres. Media sosial, seperti TikTok dan Instagram, dipenuhi konten seperti itu. Facebook dan YouTube pun menyediakan keranjang khusus untuk itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memang ada konten serius. Video bermuatan kampanye dengan “menghidupkan” tokoh yang sudah meninggal, seperti Soeharto. Video ini diunggah oleh Wakil Ketua Umum Partai Golkar Erwin Aksa. Hebatnya, konten ini dibuat dengan artificial intelligence atau kecerdasan buatan sehingga wajah dan suara Pak Harto mirip. “Pesan” Pak Harto: "Lanjutkan pembangunan Orde Baru yang sudah baik. Jika ada yang kurang, harus diperbaiki."

Banyak orang memberi komentar. Apakah kita kembali ke era Orde Baru? Pada pemilu di era Orde Baru, pemerintah sama sekali tak netral. Aparat pemerintah dikerahkan untuk memenangkan Golkar dengan pola apa yang disebut monoloyalitas. Pemilu bukan hari libur sehingga tempat pemungutan suara ada di kantor dan sekolah. Yang tak mencoblos Golkar jadi ketahuan dan kena sanksi. Sedangkan pada era Jokowi, pemerintah menyatakan netral, tapi aparat memihak pasangan calon tertentu. Sama-sama buruk. Urusan video Pak Harto hidup ini bukan sekadar soal pesannya, tapi etiskah orang yang sudah lama tiada dimunculkan dengan suara yang direkayasa? Di beberapa budaya lokal, hal itu sangat tidak etis.

Rupanya, urusan etika, benar dan salah, baik dan buruk, bergantung pada siapa yang berbicara serta siapa yang didukung. Kebenaran itu menghilang dalam setiap kampanye pemilu. Lalu siapa pun bisa saling melaporkan. Seusai debat capres pada Ahad lalu, misalnya, Anies Baswedan dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) oleh pihak yang mengatasnamakan diri Pendekar Hukum Pemilu Bersih. Anies dituding melontarkan pernyataan yang menyerang Prabowo dalam debat, yakni soal tanah yang dimiliki Prabowo dan anggaran Kementerian Pertahanan Rp 700 triliun. Ini adalah laporan yang kesekian untuk Anies.

Ganjar Pranowo pun dilaporkan seusai debat itu. Yang menarik, ucapan Prabowo yang menyebut Anies "goblok" di Riau juga berpotensi melanggar pidana pemilu. Prabowo bisa dihukum 2 tahun penjara. Justru hal ini disampaikan oleh Bawaslu sambil menyebutkan, “Itu jika ada yang melaporkan.” Sayangnya, tim kampanye Anies tak mau repot-repot melaporkannya.

Gibran Rakabuming Raka berkali-kali dianggap melanggar aturan kampanye. Pekan lalu, Gibran melanggar aturan itu karena bertemu dengan para kepala desa di Maluku. Pelanggaran seperti ini, jika pun dilaporkan, apakah proses hukumnya berjalan? Lihat saja Bawaslu Jakarta Pusat yang sudah memutuskan Gibran bersalah tatkala membagikan susu saat acara car-free day di Jakarta. Apa tindak lanjutnya? Justru Bawaslu yang dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu oleh tim Prabowo-Gibran. Bukankah ini jadi lucu?

Pemilu memang tak harus tegang dan membuat masyarakat pecah. Tapi, kalau aturan bisa diacak-acak sejak mendaftarkan calon sampai masa kampanye dan pemerintah terang benderang berpihak, pemilu ini layak diberi julukan—seperti nama akun yang bertebaran di media sosial—pemilu GL. Artinya, pemilu garis lucu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Putu Setia

Putu Setia

Mantan wartawan Tempo yang menjadi pendeta Hindu dengan nama Mpu Jaya Prema. Tinggal di Bali

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus