Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INISIATIF pemerintah untuk menghemat biaya pemilihan umum mestinya disokong, bukan direspons secara emosional. Secara prinsip ide berhemat tak boleh ditolak. Kalaupun ada perentil-perentil yang berpotensi jadi masalah, bolehlah dicatat, jangan lantas membenamkan ide baik ini.
Masih ada waktu untuk bicara soal teknis penyelenggaraan pemilu. Apatah mau tetap mencoblos pakai paku, atau diganti dengan menulis nama kandidat atau angka, hal ini bisa dibahas dengan tenang belakangan. Soal kertas suara mau selebar surat kabar, atau dipermak menjadi mini, baiklah nanti diuji coba.
Ketika Komisi Pemilihan Umum menyodorkan rencana bujet Pemilu 2009 yang mencapai Rp 47,9 triliun, terang saja banyak yang terperanjat. Apalagi yang dilapori seorang Jusuf Kalla, wakil presiden yang juga saudagar—profesi yang mengharuskannya cerewet soal angka. Benar angka yang disodorkan itu lebih rendah dibandingkan dengan biaya Pemilu 2004 sebesar Rp 55,8 triliun—Rp 6,9 triliun datang dari anggaran belanja negara (APBN), sisanya ditutup oleh anggaran daerah (APBD). Tapi semua orang tahu, ketika itu, terjadi penggelembungan biaya yang besar, tindakan yang berakibat sejumlah petinggi Komisi Pemilihan Umum dihukum penjara.
Untuk Pemilu 2009, rencananya APBN menyediakan Rp 22,3 triliun, yang berarti daerah harus menanggung lebih dari Rp 25 triliun. Beban berat inilah mungkin yang membuat Kalla putar otak untuk memilih alternatif termurah, apalagi kocek negara sedang kembang-kempis didera defisit. Semua pos biaya layak dikaji ulang.
Katakanlah jumlah wilayah administrasi meningkat—seiring dengan spirit otonomi dan pemekaran daerah. Harga barang-barang dan nilai tukar juga berubah dibanding 2004. Tapi situasi ini tak boleh dijadikan kambing hitam untuk menafikan efisiensi di segala lini.
Ada banyak cara untuk irit biaya. Pemikiran Kalla untuk memakai sebanyak mungkin peralatan Pemilu 2004 adalah salah satu caranya. Kabarnya, kalau 25 persen saja peralatan Pemilu 2004 bisa dipakai, anggaran sudah susut hampir Rp 4 triliun. Satu tempat pemungutan suara yang biasanya hanya menampung 300 orang, kalau perlu, menampung empat kali lipat lebih banyak. Kartu tanda penduduk dipakai menggantikan kartu pemilih. Kalau mau, dan punya niat baik, masih banyak item biaya bisa dipangkas.
Hitung-hitungan Kalla yang mengempiskan bujet Pemilu 2009 menjadi Rp 10,4 triliun tentu juga bukan harga mati. ”Bola” kelak ada di tangan parlemen untuk mengesahkan anggaran itu secara transparan. Kalau DPR setuju dengan bujet baru, berarti bisa dihemat sekitar Rp 37,5 triliun. Duit segunung itu bisa menutup separuh defisit anggaran negara. Bisa menambal biaya pendidikan atau sarana infrastruktur yang sangat urgen. Kalau mau gagah-gagahan, dengan jumlah yang dihemat tadi, Indonesia bisa membeli 10 pesawat superjumbo Airbus A-380!
Pemilu ”pahe”—paket hemat—boleh dirancang, tapi kualitas tak boleh kurang. Tujuan menyelenggarakan pemilu yang jujur dan adil tidak semestinya dikorbankan demi menghemat biaya. Kalau benar KTP akan dipakai menggantikan kartu pemilih, sejak sekarang sistem administrasi kependudukan diperbaiki.
Kalaupun harus mematangkan perkara-perkara teknis tadi, jangan sampai terjebak dalam debat kusir, apalagi sengketa yang membuat suhu politik semakin panas. Walhasil, perlu dihitung biaya pemilu yang pantas, sesuai dengan kemampuan negara, tapi menjamin terselenggaranya pemilu berkualitas.
Jadi, mau mencoblos oke, mencontreng kolom ayo, melingkari nama kandidat juga silakan. Yang penting hemat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo