Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi*)
KITA sering mengeluhkan kualitas kampanye dalam pemilihan umum. Kita mencampurkan kampanye negatif dan kampanye hitam serta memakai keduanya sebagai indikator untuk menilai betapa buruknya isi pernyataan dan janji yang dilontarkan para kandidat, petinggi partai, ataupun tim sukses yang resmi dan siluman di berbagai media.
Kualitas kampanye yang buruk membawa keburukan lain secara berantai. Awalnya pemilih tidak mendapat informasi yang tepat dan memadai sebagai bahan untuk menentukan pilihan yang bermutu. Berikutnya, secara agregat, banyak pilihan politik pemilih yang dibentuk dari informasi yang bias, tidak lengkap, dan menyesatkan. Dan, akhirnya, pemilu demokratis hanya memproduksi pemimpin yang kurang bermutu dengan kebijakan yang buruk.
Untuk memutus lingkaran keburukan ini, sesungguhnya kampanye negatif justru perlu diperbanyak. Kita perlu memisahkannya dari kampanye hitam. Dan, ketika ekologi media berubah, kita perlu filter penyaring kedua jenis kampanye ini.
Mungkin kita semua memiliki kecenderungan untuk menilai bahwa kampanye negatif secara moral itu salah. Kampanye jenis ini umumnya agresif, menekankan kekurangan pihak lawan, menghantam lawan dengan menyoroti kelemahannya. Akibatnya, pemilih mendapat kesan bahwa lawan yang dijadikan obyek serangan tidak layak dipilih. Dari basis moral yang sama, kita juga cenderung membela kampanye positif, yakni kampanye yang menekankan kekuatan kandidat atau partai itu sendiri dengan melihat prestasi yang telah diraihnya dan pengalaman yang sudah dijalaninya.
Pandangan moral semacam ini memiliki akar religius yang dalam. Semua agama menganjurkan bahwa kita sebaiknya hanya membicarakan kebaikan seseorang atau sekelompok orang dan melupakan keburukan-keburukannya.
Tapi pandangan moral semacam itu terasa tak mencukupi lagi untuk dijadikan panduan bersikap dalam silang kompetisi politik mutakhir dalam pemilu. Seorang kandidat yang ingin menawarkan perbaikan bagi kehidupan masyarakat tentu harus mampu menunjukkan bahwa kondisi yang sekarang atau sebelumnya belum baik. Adalah keniscayaan bahwa seorang kandidat presiden mengevaluasi kondisi sekarang dengan kritis, mencari hulu permasalahan, dan kemudian menawarkan kebijakan untuk perbaikan di masa depan. Tak terhindarkan, kritik itu pasti berbunyi negatif. Jika kritik itu dilemparkan ke wilayah publik, ia berkembang menjadi sebuah kampanye negatif.
Situasi ini lebih terang jika kita berbicara persaingan politik antara posisi inkumben dan oposisi. Kekuatan oposisi justru akan gagal meyakinkan publik pemilih jika mereka menekankan keberhasilan inkumben. Jika Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, menekankan keberhasilan pemerintahan di bawah Susilo Bambang Yudhoyono, tentu upaya memenangi pemilu akan percuma. Karena itu, slogan "Indonesia Hebat" dibikin karena berangkat dari penilaian bahwa Indonesia di bawah Yudhoyono belumlah hebat.
Sama halnya ketika Partai Gerindra mengajukan enam program aksi yang nasionalistik, tentu berangkat dari kritik dan penilaian bahwa pemerintahan di bawah Yudhoyono kelewat lunak terhadap asing dan abai atas kepentingan domestik. Penyematan label lusuh neoliberal untuk corak kebijakan Yudhoyono merangkum kritik yang ditembakkan Gerindra ke pemerintah dalam setahun terakhir.
Sama persis dengan Partai Golkar yang menjual keemasan masa silam Orde Baru dalam pemilu DPR kemarin. Jualan masa lampau tersebut hendak menegaskan bahwa masa kini, di era reformasi, adalah teritori yang tak menawarkan perbaikan kemakmuran. Jualan itu tak begitu laris, tapi intinya adalah kritik terhadap pemerintahan Yudhoyono.
Ringkasnya, serangan dan kampanye negatif justru menjadi basis untuk menuju berkampanye secara positif. Karena itu, sikap moral yang menilai buruk praktek kampanye negatif justru merugikan, karena justifikasi mengapa sebuah alternatif kebijakan yang ditawarkan partai atau kandidat justru dihilangkan.
Argumen lain atas sikap moral antikampanye negatif diringkas dalam ungkapan pembunuhan karakter. Lawan yang menyerang sifat, kepribadian, dan sejarah masa lalu seorang kandidat dianggap tidak etis karena itu bisa mematikan karier politik. Menjelang pemilu presiden, serangan terhadap calon presiden lawan makin meruyak.
Argumen ini terasa memiliki bobot karena sasaran dari serangan jenis ini persona atau karakter perseorangan, bukan isu kebijakan yang diusung oleh kandidat. Dalam ungkapan sekuler berbahasa Latin, argumen ini dinyatakan dalam ungkapan yang menerbitkan aura ilmiah: argumentum ad hominem. Dalam ungkapan yang religius, argumen ini mendapatkan sandarannya karena membongkar kekurangan dan kelemahan karakter seseorang termasuk perbuatan tercela.
Namun argumen ini pun pada dasarnya keropos. Publik pemilih berhak memiliki pemimpin atau presiden dengan karakter yang kuat. Dari mana mereka mengetahui karakter mulia itu dimiliki calon pemimpin jika setiap penyelidikan terhadap karakter calon itu dibunuh dengan argumen bahwa kita harus memendam sifat buruk dan kekurangan para calon pemimpin?
Sejarah personal dan pengalaman masa silam para kandidat juga menjadi urusan yang penting untuk diketahui publik. Pengalaman seseorang sebagai komandan tempur, sebagai wali kota atau gubernur, dan sebagai pengusaha, misalnya, memberi informasi tentang gaya kepemimpinan dan jenis kebijakan yang kelak akan diambil kandidat itu jika terpilih memimpin republik ini. Apakah pengalaman kandidat sebagai komandan tempur cocok untuk menangani permasalahan politik dan ekonomi yang melibat negeri ini? Apakah pengalaman sebagai wali kota atau gubernur bisa dijadikan jaminan kemampuan untuk menangani permasalahan ekonomi-politik bangsa yang lebih besar dan jauh lebih kompleks? Dan apakah gaya pengusaha cocok untuk membawa manajemen pemerintahan dengan gaya korporasi?
Diskusi dan jawaban terhadap semua pertanyaan ini suka-tidak suka diperlukan oleh publik pemilih untuk menentukan pilihan politik mereka dengan bekal informasi yang memadai. Lebih khusus lagi kita memerlukan perdebatan tentang kekurangan pengalaman tiap kandidat dan karakter mereka. Taruhan bangsa ini kelewat besar jika kita tidak mendapat informasi yang lengkap dan akurat tentang mereka yang berkompetisi untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia setelah pemilu presiden Juli nanti.
Untuk tujuan yang sama, kita berhak berbicara tentang karakter calon presiden. Mana yang lebih menguntungkan bagi Indonesia ke depan: memiliki presiden yang jujur dan sederhana tapi masih harus membangun visinya atau calon presiden yang tegas tapi bengis dengan visi yang telah digariskannya? Apakah nasib Indonesia lima tahun ke depan lebih bagus jika dipimpin calon presiden yang mau mendengar dan belajar atau calon presiden yang jemawa dan merasa dirinya sudah komplet?
Sementara kampanye negatif ternyata justru perlu digalakkan, lain halnya dengan kampanye hitam. Yang terakhir inilah yang justru merugikan dan perlu dipangkas.
Perbedaan kampanye negatif dan kampanye hitam terletak pada dua hal. Pertama, soal basis faktual yang mendasari sebuah pernyataan atau penilaian. Kampanye negatif umumnya bertolak dari peristiwa atau kenyataan faktual, sementara kampanye hitam tidak mempedulikan data atau bukti. Kedua, dalam kampanye negatif, penafsiran terhadap kenyataan lebih besar porsinya melampaui deskripsi faktual dari sebuah peristiwa. Dan terakhir, dalam kampanye negatif, sumber pernyataan yang termuat dalam kampanye diketahui, sementara kreator kampanye hitam, karena tak berbasis fakta dan bukti, cenderung akan menyembunyikan diri.
Bahwa Jalaluddin Rakhmat menjadi calon legislator dari PDIP adalah kenyataan faktual. Tapi pernyataan yang tersebar melalui media sosial bahwa kelak, jika di bawah Joko Widodo, penganut Syiah akan jadi menteri—yang sebenarnya juga tak jadi masalah jika kualitasnya bagus dan berguna bagi publik—adalah spekulasi yang keluar dari proporsi fakta.Â
Kampanye hitam yang lebih canggih dilancarkan melalui teknik framing. Fakta dasar peristiwanya ada dan tersedia, tapi penafsiran dan cara pengemasannya serampangan tapi disengaja. Misalnya pertemuan Jokowi dengan para duta besar negara asing adalah kenyataan faktual, tapi bahwa itu diartikan menyerahkan leher ke negara asing adalah lompatan penafsiran liar dari kenyataan faktual yang ada. Prabowo Subianto bertandang ke Singapura untuk berpidato dan didengarkan oleh para pebisnis. Kehadiran Prabowo di sana ingin menegaskan bahwa dia tidak memusuhi para investor asing. Kelak—kalau terpilih—pesan yang hendak disampaikan Prabowo adalah bahwa kebijakan pilihannya akan ramah terhadap pasar. Dua peristiwa ini mirip belaka bahan baku faktanya, tapi berlainan frame-nya. Mengapa yang satu ditafsirkan menyerahkan leher, tapi yang lain demi Indonesia?
Akhirnya, jika informasi dalam bentuk kampanye negatif dan kampanye hitam sama-sama berpotensi membentuk pilihan politik pemilih, penyedia informasi adalah pemain strategis yang akan mengarahkan pilihan pemilih.
Dalam 10 tahun terakhir, ekologi media telah berubah radikal sejak kehadiran Internet dan media sosial. Kini kita harus menghafal pemain-pemain anyar dengan beragam fungsi spesifik yang muncul dari dalam teritori media baru: blogger, feeder, endorser, news aggregator, spin doctor, buzzer, dan banyak lagi. Merekalah produser, konsumer, penyebar, penafsir, sekaligus penekuk informasi yang memproduksi kampanye putih dan kampanye hitam yang bekerja untuk tuannya. Tanpa memeriksa asal-usul informasi dan memvalidasi fakta dan informasi di media konvensional dan media sosial, publik pemilih berpotensi menjadi korban informasi sesat dan menjadi sekadar pecundang dalam pemilu presiden Juli nanti.
*) Dosen Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo