Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian tentang kepolisian dan pemolisian menjadi telaah menarik bagi banyak kalangan mulai dari akademisi, praktisi, kalangan hukum, hingga masyarakat umum yang menaruh minat besar pada isu-isu seputar penegakan hukum dan isu-isu sosial secara umum. Kondisi ini selaras dengan fakta bahwa konsep dan praktik pemolisian selalu mengalami perkembangan yang disebabkan oleh kondisi sosial masyarakat yang terus berubah. Dinamika perubahan tersebut dipicu banyak hal, mulai dari pergeseran nilai-nilai sosial, kemajuan teknologi, hingga globalisasi.
Handbook of Police and Policing menyebut perubahan pada dinamika sosial tersebut mendorong kepolisian di seluruh dunia untuk memberikan respons yang tidak hanya cepat, tetapi juga inovatif agar pemolisian mampu turut berkembang untuk tetap dapat menghadirkan keteraturan sosial. Dalam konteks Indonesia, kepolisian sebagai bagian dari arsitektur birokrasi pemerintahan negara yang diberi mandat untuk menjalankan peran, tugas pokok, dan fungsi dalam mendukung pemerintahan melalui undang-undang, dituntut untuk turut mengadopsi perkembangan tersebut.
Dalam konsep dan praktik pemolisian, pakar ilmu sosial University of Lincoln, Inggris Peter Somerville mengatakan terdapat setidaknya tiga komponen dasar yang melatari perkembangan pemolisian. Pertama, konsep pemolisian oleh individu di ruang publik atau kondisi di mana aturan dipelihara oleh masyarakat itu sendiri telah berkembang. Kondisi dan tuntutan yang ada saat ini telah mendorong pemolisian untuk turut pula berubah seturut dengan perkembangan zaman. Kedua, di tengah perkembangan tersebut, masyarakat masih—atau bahkan semakin—membutuhkan institusi yang dapat memelihara keteraturan dan menjaga hak-hak serta kepentingan individu atau kelompok masyarakat saat berhubungan dengan sesamanya sebagai makhluk sosial, termasuk ketika menghadapi perubahan sosial.
Ketiga, dengan tuntutan dan kebutuhan tersebut, pemolisian harus berinteraksi secara kooperatif dengan masyarakat –baik individu maupun kelompok—untuk menjaga keseimbangan perannya sebagai penegak hukum dan ketertiban dengan perannya sebagai pendorong terciptanya pemolisian oleh individu. Dalam hal ini, keamanan publik akhirnya harus diwujudkan melalui implementasi strategi penanganan kejahatan yang efektif. Caranya dengan memperbaiki hubungan antara polisi dan warganya, sebagai upaya upaya modernisasi pemolisian.
Sebelum adanya pemolisian ‘modern’–jika boleh disebut demikian, standar pemolisian hanya disandarkan pada metode kepolisian tradisional yang mengukur peran polisi hanya melalui kegiatan patroli polisi rutin, respons cepat terhadap panggilan polisi, dan investigasi kejahatan dengan tujuan untuk mengurangi angka kejahatan. Pola-pola pemolisian dalam metode tradisional ini cenderung lebih bersifat legalistik dan teknokratik-birokratis; sehingga dikhawatirkan tidak akan bisa mengatasi tantangan penegakan hukum terhadap jenis-jenis kejahatan yang berkembang akibat munculnya globalisasi dan kemajuan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ditambah lagi, kondisi masyarakat juga telah berkembang sedemikian rupa. Hal ini bisa dilihat dengan munculnya gelombang kebebasan sipil, penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia, serta peningkatan hubungan antara warga negara dengan pemerintahan di era demokrasi. Karenanya, kepolisian tidak punya pilihan lain kecuali mendorong lahirnya pola-pola pemolisian yang terbarukan, salah satunya adalah pemolisian yang berbasis pada masyarakat.
Masuknya demokratisasi, globalisasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah hampir seluruh pondasi peradaban kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah perubahan-perubahan yang fundamental pada konsep dan praktik-praktik pemolisian dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban sosial. Penulis ingin menekankan bahwa dalam konteks pemolisian di Indonesia, transformasi pemolisian yang turut mengalami perkembangan itu selalu tegak lurus dengan UndangUndang dan peraturan yang berlaku.
Sebagai alat negara di bidang penyelenggara keamanan dan ketertiban masyarakat, kepolisian memiliki kewenangan untuk menggunakan kekuatan dalam penyelenggaraan kamtibmas. Namun, merebaknya fenomena supremasi hukum, HAM, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas telah memunculkan berbagai paradigma baru dalam melihat dan memaknai ulang tujuan, tugas, fungsi, wewenang, dan tanggung jawab Polri. Paradigma tersebut menuntut pelaksanaan tugas Polri agar semakin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayani dan mengarah pada paradigma democratic policing.
Secara harfiah, konsep democratic policing dapat diartikan sebagai segala upaya untuk mengintegrasikan institusi kepolisian dalam sistem demokrasi. Dengan pemaknaan ini, semua anggota kepolisian didorong agar selalu bekerja selaras dengan nilai-nilai demokrasi yang di dalamnya terkandung nilai-nilai penghormatan terhadap HAM, perlindungan terhadap kebebasan berserikat, termasuk pula kebebasan media. Dengan demikian, hakikat dari democratic policing adalah transformasi pemolisian agar dapat selaras dengan nilai dan sistem demokrasi.
Institusi kepolisian harus bisa menerima penyebaran nilai-nilai demokratisasi yang berdampak langsung pada praktik-praktik pemolisian. Dampak tersebut dapat dilihat pada menguatnya peran legislatif, peran media, tuntutan kebebasan individu dan supremasi hukum, serta menguatnya non-state actors yang secara optimal telah turut memperbaiki kinerja Polri. Dalam kondisi ini, supremasi hukum juga menguat sehingga hukum dapat melindungi seluruh warga masyarakat tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak mana pun, termasuk dari penyelenggara negara.
Hingga saat ini, di era Kapolri, Jenderal Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si, kepolisian konsisten dalam menjalankan undang-undang. Ini berarti, polisi harus pula selalu peduli terhadap kebutuhan perkembangan hukum. Maka, dalam hal ini terdapat penekanan penting dalam penegakan hukum oleh polisi, Pertama, polisi harus menjalankan hukum untuk menjaga hak dan keadilan warga negara, atau polisi menjalankan kekuatan dari Undang-Undang yang dibuat oleh para elit politik tersebut untuk mengatur kuat masyarakat”. Kedua, kepolisian harus menyadari bahwa era demokratisasi telah membawa perubahan besar dalam kehidupan sosial masyarakat.
Sistem demokrasi memang menjunjung tinggi hak untuk bebas, tetapi polisi sebagai pemegang wewenang penegakan hukum dapat menertibkan kebebasan tersebut. Dalam kondisi-kondisi tertentu, polisi memang kerap dihadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka ‘membatasi’ kebebasan, seperti ketika mereka harus melakukan penyidikan, penggeledahan, penyitaan, penangkapan, penahanan, hingga upaya-upaya hukum lainnya.
Itulah sebabnya, tidak sedikit kalangan yang menyebut demokrasi tidak cocok untuk tugas-tugas kepolisian. Sebabnya, demokrasi mewakili konsensus kebebasan, partisipasi, dan kesetaraan, sedangkan polisi mewakili pengaturan, pembatasan, dan pelaksanaan wewenang pemerintah sesuai undang-undang kepada seseorang secara tegas. Tentang ini, renungan Micheal Novak menarik untuk diperhatikan. Dia mengatakan polisi di era demokratisasi dituntut memenuhi harapan dan keinginan masyarakat, tetapi masyarakat sendiri terkadang tidak peduli seberapa adilnya, atau seberapa efektifnya polisi bekerja untuk menegakkan demokrasi itu sendiri.
Keterangan :
Tulisan ini bagian pertama dari tiga tulisan, yang diambil dari orasi ilmiah Pengukuhan Guru Besar Kehormatan Komisaris Jenderal Prof. Dr. Gatot Eddy Pramono M.Si di Universitas Riau, pada Rabu 20 Juli 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini