Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagong Suyanto
Guru Besar dan Dosen Sosiologi Anak di FISIP Universitas Airlangga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindak kekerasan dan pelecehan seksual kebanyakan memang dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti kerabat atau tetangga korban. Namun yang sulit dinalar akal sehat adalah ketika pelaku ternyata adalah orang atau sosok yang disegani, dihormati, bahkan memegang jabatan sakral sebagai pemuka agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Itulah yang terjadi dalam kasus menghebohkan yang terjadi di Surabaya baru-baru ini. Seorang pemuka gereja yang cukup terkenal di kota itu dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur karena diduga melakukan pelecehan seksual. Dia sehari-hari tampak alim dan ramah, tapi ternyata merupakan seorang pedofil yang tega mencabuli salah satu anggota jemaatnya sendiri selama tujuh tahun sejak korban masih berusia 10 tahun.
Korban, yang selama ini menyembunyikan tindakan bejat pelaku, baru berani buka suara setelah tidak lagi mampu menyembunyikan emosi dan kegeramannya. Orang tua korban yang baru mengetahui kelakuan bejat pelaku akhirnya membawa kasus ini ke ranah hukum.
Siapa pun dan apa pun alasan pelaku, kasus kekerasan seksual dan tindak pelanggaran terhadap hak-hak anak adalah sebuah perbuatan yang tercela dan karena itu tidak dapat dibenarkan. Menurut Richard J. Galles (2004), tindak kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak termasuk tindak child abuse, yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak, baik secara fisik maupun emosional.
Bentuk tindak kekerasan dan pelecehan seksual yang menimpa anak-anak bisa bermacam-macam. Yang masuk kategori tindak kekerasan dan pelecehan seksual adalah segala tindakan yang muncul dalam bentuk paksaan atau mengancam untuk melakukan hubungan seksual, melakukan penyiksaan, atau bertindak sadis, atau melakukan pencabulan.
Segala perilaku yang mengarah pada tindakan pelecehan seksual terhadap anak-anak, baik di sekolah, keluarga, maupun lingkungan sekitar tempat tinggal anak, termasuk kategori kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak jenis ini. Kasus pemerkosaan anak, juga pencabulan yang dilakukan oleh guru, ayah kandung, orang lain, atau bahkan pemuka agama yang sering terekspos dalam pemberitaan berbagai media massa, merupakan contoh konkret tindak kekerasan dan pelecehan seksual.
Studi yang saya lakukan tahun lalu menemukan bahwa tindak kekerasan seksual yang dilakukan orang terdekat korban atau orang-orang yang disakralkan, seperti pemuka agama, biasanya tidak mudah terbongkar. Seperti kasus inses, tindak pelecehan seksual yang dilakukan orang-orang tertentu yang terhormat biasanya tidak terduga, berlangsung dalam jangka waktu yang lama, dan baru terbongkar ketika korban menginjak usia dewasa.
Banyak orang biasanya baru mengetahui, kaget, kemudian mengutuk pelaku ketika tindakan bejat mereka terbongkar dan masuk ke ranah hukum. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan masyarakat dan jemaat ketika mengetahui pemuka agama yang selama ini mereka hormati ternyata adalah pelaku terhadap pelecehan seksual kepada anak-anak.
Marah, mengutuk, dan mendukung upaya penanganan hukum terhadap pemuka agama yang melakukan tindak pelecehan seksual niscaya saat ini tengah berkecamuk di benak warga masyarakat, termasuk jemaat yang selama ini rajin mendengarkan ceramah pelaku.
Sudah sepantasnya pelaku tindak kekerasan seksual memperoleh hukuman yang setimpal, apalagi pelaku adalah sosok yang memanfaatkan kedok statusnya yang terhormat sebagai pemuka agama untuk memperdaya korban. Masalahnya, ketika korban sudah telanjur jatuh, pelecehan seksual yang dialaminya tentu akan menimbulkan luka psikologis yang mendalam. Seberapa berat pun hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku, niscaya tidak akan pernah sepadan dengan penderitaan yang dialami korban.
Penderitaan yang ditanggung anak-anak korban pelecehan seksual bukan sekadar luka fisik. Anak-anak yang menjadi korban niscaya akan hidup di bawah tekanan perasaan trauma, merasa tidak berharga, malu, bahkan bukan tidak mungkin mengalami depresi yang mendalam.
Mereka umumnya membutuhkan konsultasi psikologis dan rehabilitasi sosial-psikologis yang serius dan berkelanjutan. Berbeda dengan tindak kekerasan fisik yang luka-lukanya lebih cepat sembuh, anak-anak yang mengalami tindak pelecehan seksual biasanya memendam perasaan terhina yang mendalam dan membutuhkan penanganan yang benar-benar membutuhkan kesabaran dan empati yang luar biasa.
Saat ini, kunci untuk menyelamatkan masa depan korban adalah peran keluarga dan dukungan orang-orang terdekat di sekitarnya. Anak yang menjadi korban tindak pelecehan seksual adalah sosok yang rentan dan membutuhkan pendekatan yang benar-benar memahami apa yang berkecamuk di pikiran mereka. Lebih dari sekadar simpati, untuk menyelamatkan masa depan anak yang menjadi korban tindak pelecehan seksual, yang dibutuhkan adalah empati dan terapi yang berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo