Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA menambah komando daerah militer (kodam), seperti dinyatakan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam Rapat Pimpinan TNI pada 28 Februari lalu, harus dihentikan. Gagasan ini tak hanya akan menambah beban anggaran dan menjauhkan tentara yang profesional, tapi juga mengembalikan dwifungsi TNI yang telah dihapus sejak reformasi 1998.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal Agus Subiyanto secara spesifik menyatakan akan menambah jumlah kodam dari 15 menjadi 37. Artinya, kodam akan berada di setiap provinsi. Dalam struktur TNI, kodam adalah organ militer teratas di daerah dalam konsep teritorial yang berada di bawah TNI Angkatan Darat. Di bawahnya ada komando resor militer setingkat residen, komando distrik militer di kabupaten, komando rayon militer tingkat kecamatan, dan paling bawah bintara pembina desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan reformasi coba menghapus konsep komando teritorial melalui revisi Undang-Undang TNI pada 2004. Sebab, konsep teritorial menjadi senjata ampuh Orde Baru untuk mencampuri urusan politik dan pemerintahan. Tentara, pada masa itu, bahkan menangani urusan keamanan dengan kewenangan menangkap siapa saja yang dianggap mengganggu ketertiban umum. Dalam praktiknya, tentara berhadapan dengan masyarakat dalam konflik-konflik agraria.
Tentara di negara-negara modern tak mengenal konsep teritorial. Konsep ini diadopsi Indonesia sebagai kelanjutan strategi perang gerilya di masa revolusi yang bermuara pada konsep pertahanan semesta. Akarnya berasal dari gagasan Carl von Clausewitz, komandan jenderal militer Prussia pada 1792-1831, tentang teori perang yang menyebutkan peran tentara dalam politik pemerintahan. Kalimatnya yang terkenal, “Perang adalah kebijakan politik dalam cara lain.”
Dengan kata lain, konsep teritorial militer berlaku ketika terjadi darurat militer. Tentara punya peran memberikan pembekalan kepada masyarakat dalam urusan pertahanan. Maka, ketika dalam keadaan damai, gagasan tersebut tak relevan lagi. Ide Jenderal Agus Subiyanto soal penambahan kodam, dengan begitu, mengandaikan Indonesia selalu terancam sehingga TNI harus bermarkas di setiap wilayah.
Penghapusan komando teritorial memang belum tuntas dalam rencana depolitisasi militer sejak reformasi 1998. Fungsi militer dalam UU TNI masih menyebutkan tentara membantu pemerintah daerah. Padahal, sejak 1999, urusan keamanan yang menjadi urusan pemerintah daerah sudah didelegasikan kepada kepolisian seiring dengan pemisahan TNI/Polri.
Rencana penambahan kodam tanpa studi yang mumpuni dan pertimbangan yang matang juga makin menguatkan kesan politik akomodasi Presiden Joko Widodo. Akibat perubahan usia pensiun tentara dari 55 tahun menjadi 58 tahun dalam UU TNI, TNI kini kelebihan 500 perwira menengah setingkat kolonel yang tak punya jabatan. Kodam merupakan jalan pintas menampung mereka.
Penambahan kodam, karena itu, seperti gula-gula kepada TNI yang diperlukan Jokowi untuk menancapkan kekuasaannya di segala lini setelah keputusannya mendistribusikan tentara ke jabatan-jabatan sipil. Apalagi pernyataan Agus Subiyanto itu beriringan dengan pemberian jenderal kehormatan bagi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang pernah diberhentikan secara tidak hormat akibat memimpin penculikan aktivis prodemokrasi pada 1998.
Dengan menambah kodam, anggaran negara juga bertambah. Padahal, dengan jumlah kodam yang ada sekarang saja, ada ketimpangan alokasi anggaran TNI untuk setiap matra. Studi Edy Prasetyono dalam publikasi The Ridep Institute (2002) menyebutkan komando teritorial menyedot 45 persen belanja pertahanan, 69,8 persen anggaran seluruh pasukan TNI Angkatan Darat, dan 51,7 persen dari seluruh anggaran pasukan TNI.
Inefisiensi anggaran TNI akibat komando teritorial membuat tentara Indonesia tak kunjung profesional mengurusi pertahanan. Penambahan jumlah kodam akan membebani anggaran tanpa menghasilkan tujuan yang jelas, selain menguatkan watak militeristik yang coba dihapus gerakan reformasi 1998.
Memakai wilayah administrasi pemerintahan daerah sebagai basis pengembangan kodam juga bermasalah. Kodam akan membuat struktur komando teritorial TNI menduplikasi birokrasi pemerintahan. Dengan struktur semacam itu, pemimpin atau komandan komando teritorial bisa terlibat dan mempengaruhi secara langsung kebijakan pemerintah daerah.
Gagasan Jenderal Agus Subiyanto itu bisa menghidupkan kembali tangan tentara mengontrol masyarakat dalam dwifungsi ABRI. Penambahan kodam akan menjadi batu sandungan demokrasi Indonesia yang sehat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo