Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Pencabutan Izin untuk Percepatan Reforma Agraria

Angga Hermanda, Ketua Departemen di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia, mengulas kebijakan pencabutan izin pertambangan dan kehutanan serta perlunya diintegrasikan dengan reforma agraria.

9 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah tengah giat mencabut izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan tanah negara.

  • Izin dicabut karena tidak ada perusahaan aktif, tidak membuat rencana kerja, atau tanah ditelantarkan.

  • Kebijakan ini harus mengarah pada reforma agraria.

Angga Hermanda
Ketua Departemen di Badan Pengurus Pusat Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah tengah giat mengevaluasi dan mencabut izin-izin pertambangan, kehutanan, dan penggunaan tanah negara oleh perusahaan untuk memperbaiki tata kelola penggunaan kekayaan alam. Sebanyak 192 izin dengan luas 3.126.439 hektare di sektor kehutanan dicabut karena tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, atau ditelantarkan. Beberapa konsesi lain di kawasan hutan saat ini juga sedang dievaluasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, hak guna usaha (HGU) perusahaan perkebunan seluas 34.448 hektare yang ditelantarkan sudah dicabut. Demikian juga dengan pemegang 2.078 izin pertambangan mineral dan batu bara yang tidak pernah menyampaikan rencana kerja ikut dicabut. Mungkinkah kebijakan ini menjadi angin segar untuk percepatan reforma agraria?

Pada hakikatnya, penertiban izin-izin pengelolaan kekayaan alam ini memang merupakan kewajiban pemerintah, baik perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah saat ini maupun sebelumnya. Yang patut menjadi catatan ke depan ialah soal kemudahan pemberian atau pembaruan izin tersebut. Apakah betul pemberian izin kepada korporasi tersebut lebih baik secara sosial dan ekonomi ketimbang tanah tersebut dikelola rakyat?

Salah satu indikator untuk menjawabnya adalah ketika pemerintah melakukan moratorium izin perkebunan sawit, yang berakhir pada September 2021. Selama tiga tahun penerapan moratorium, area perkebunan sawit ternyata lebih luas dibanding area perizinan yang terdaftar. Berdasarkan identifikasi citra satelit, tutupan lahan perkebunan sawit di 26 provinsi diperkirakan seluas 16,3 juta hektare, sedangkan lahan perkebunan sawit dalam daftar perizinan hanya berkisar 14,6 juta hektare. Ada selisih luas sekitar 1,7 juta hektare.

Dengan mempertimbangkan kasus moratorium sawit itu, pemerintah mesti menimbang dengan cermat untuk juga menunda berbagai izin pertambangan, kehutanan, dan pengelolaan tanah negara. Penundaan berbagai izin akan memberikan ruang dan waktu bagi pemerintah untuk menyeleksi perusahaan yang terbukti menelantarkan tanah, tidak taat aturan, tidak kredibel, dan tidak memiliki komitmen dalam menjaga kelestarian alam.

Ketegasan pemerintah selama proses evaluasi tak cukup ditunjukkan dengan pencabutan izin, tapi juga harus diikuti dengan sanksi, baik secara pidana maupun administrasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Seperti yang ditemukan pada saat moratorium izin perkebunan sawit, area kebun yang melebihi luas perizinan harus ditindak karena kelebihan batas luas menjadi salah satu pemicu sumber konflik agraria.

Upaya pemerintah untuk menertibkan izin korporasi yang bermasalah patut mendapat dukungan. Namun upaya itu harus dilanjutkan dengan mempercepat pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria. Tanah-tanah yang sudah dicabut izinnya mendesak untuk ditetapkan sebagai tanah obyek reforma agraria (TORA) demi memenuhi target redistribusi tanah seluas 9 juta hektare yang belum tercapai sejak 2014. Terutama untuk TORA dari pelepasan kawasan hutan yang masih jauh panggang dari api dalam upaya mencapai target seluas 4,1 juta hektare.

Subyek utama penerima TORA adalah petani. Hampir 60 persen petani di Indonesia masih berstatus gurem atau memiliki tanah kurang dari setengah hektare. Maka reforma agraria tidak sekadar retorika untuk menjalankan program pemerintah atau mengejar angka-angka, melainkan bertujuan lebih luhur, yakni mengurangi ketimpangan agraria dan pengentasan kemiskinan.

Berdasarkan laporan Serikat Petani Indonesia (SPI), sepanjang 2021 telah terjadi sekurang-kurangnya 104 kasus konflik agraria yang mengakibatkan delapan orang meninggal, 62 orang mengalami luka-luka maupun cedera fisik, dan 119 kasus kriminalisasi ataupun pemanggilan. Dari data tersebut, SPI mencatat konflik agraria masih didominasi oleh sektor perkebunan (46 kasus), pertambangan (20 kasus), kehutanan (8 kasus), pesisir (4 kasus), dan proyek strategis nasional (4 kasus).

Perkebunan, pertambangan, dan kehutanan menjadi sektor utama penyumbang konflik agraria secara nasional. Fokus pemerintah saat ini adalah melakukan evaluasi dan pencabutan izin di tiga sektor tersebut sejalan dengan semangat penyelesaian konflik agraria. Kendati linier, konflik agraria di sektor lain tak boleh dikesampingkan untuk juga diatasi dan diselesaikan. Berbagai konflik agraria yang masih tinggi dan berlarut-larut menjadi cermin agar pemerintah tidak sembarang menyerahkan tanah negara kepada korporasi atau pihak yang tidak tepat.

Untuk itu, kelembagaan pelaksana reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria yang ada sekarang mesti dirombak secara serius. Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Agraria Tahun 2021, yang menjadi wadah kerja kolaborasi antara pemerintah dan organisasi rakyat, telah berakhir. Tim banyak menemui kendala dan belum bekerja secara signifikan. Sebut saja soal masalah sektoral dan birokrasi yang masih menjadi benang kusut. Belum lagi dukungan dari pemerintah daerah yang masih setengah-setengah.

Sebagai gambaran, penyelesaian konflik di sektor kehutanan masih mengedepankan kemitraan, bukan pelepasan kawasan hutan untuk TORA. Sementara itu, di wilayah non-hutan, pemerintah lebih memprioritaskan perusahaan untuk melakukan perpanjangan atau pembaruan hak ketimbang menetapkannya sebagai TORA. Potret ini yang melatari Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) belum berjalan sesuai dengan harapan.

Penguatan kelembagaan dapat dilakukan dengan merevisi peraturan mengenai reforma agraria, seperti Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Pasal-pasal tentang kelembagaan pelaksana reforma agraria dan percepatan penyelesaian konflik agraria harus diperbaiki agar lebih kuat, dipimpin langsung oleh presiden, memiliki anggaran yang jelas, dan menempatkan organisasi rakyat sebagai bagian terpenting. Upaya tersebut tak bisa ditunggu lagi, mengingat bank tanah, yang juga memiliki kewenangan melaksanakan reforma agraria, sementara ini belum bisa berjalan setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat sampai masa perbaikan dalam kurun waktu dua tahun ke depan.

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus