Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Joko Widodo mewajibkan direksi dan komisaris BUMN setia kepada Pancasila dan UUD 1945.
Problem perusahaan negara adalah benturan kepentingan karena direksi dan komisarisnya titipan penguasa.
Jokowi tak menyentuh area penting ini dengan, misalnya, membuat sistem seleksi terbuka dengan melarang calon yang berpotensi membawa konflik kepentingan.
DI media sosial, jika ada kebijakan Presiden Joko Widodo yang tak masuk akal, warganet membanjirinya dengan pujian. Dalam pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan ataupun pemandulan Komisi Pemberantas Korupsi melalui revisi undang-undangnya, misalnya, pengguna media sosial menilainya sebagai terobosan genius Jokowi. Tapi pujian itu diakhiri dengan kalimat, “Bismillah, komisaris BUMN….”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ejekan warganet itu sarkasme yang menohok. Publik tahu Jokowi tak punya rem untuk membatasi para pendukung dan relawannya menempati kursi-kursi empuk komisaris atau dewan pengawas perusahaan negara. Gaji dan fasilitas perusahaan negara hanya jadi cara membalas jasa kepada mereka yang mengantarnya ke kursi presiden.
Maka, jika Jokowi mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 45/2005 menjadi No. 23/2022 tentang pendirian, pengurusan, pengawasan, dan pembubaran BUMN pada 8 Juni 2022 dengan mewajibkan direksi dan komisaris setia kepada Pancasila dan UUD 1945, sungguh menggelikan.
Bukan itu persoalan genting perusahaan negara kita. Borok menahun BUMN yang terus merugi padahal menguasai pasar dan memonopoli komoditas terjadi karena manajemennya yang sarat konflik kepentingan. Bertahun-tahun BUMN kita menjadi bancakan politikus, jarahan pelbagai kepentingan, atau sekadar ajang bagi-bagi kekuasaan karena direksi dan komisarisnya orang-orang titipan penguasa.
Lagi pula, mengukur kesetiaan calon komisaris atau dewan pengawas BUMN kepada konstitusi bisa terlihat jika rekrutmen dilakukan terbuka dan transparan. Seleksi terbuka akan melahirkan direksi dan komisaris yang cakap serta punya pengetahuan mengurus bisnis. Juga, yang terpenting, bebas dari kepentingan politik para sponsornya. Dalam aturan baru, Jokowi tak menyentuh area penting ini.
Jika benar Jokowi peduli pada BUMN, sejak awal ia akan melarang relawan dan para pendukungnya menjadi komisaris dan dewan pengawas BUMN atau jabatan-jabatan publik lainnya. Jika benar Jokowi hendak membenahi BUMN, ia tak akan membiarkan menterinya memakai fasilitas negara berkampanye demi menaikkan popularitas menjadi calon presiden. Jika betul Jokowi ingin BUMN maju, ia tak membiarkan perusahaan keluarga Menteri BUMN bertransaksi dengan perusahaan negara seperti investasi Telkomsel di Gojek.
Di perusahaan-perusahaan negara lain, konflik kepentingan sangat diharamkan. Bukan hanya karena ia awal korupsi, konflik kepentingan juga akan mengganggu bisnis perusahaan karena kerja direksi ataupun komisaris akan diganduli oleh kepentingan politik yang dibawanya. Caranya mencegahnya dengan penelisikan rekam jejak melalui kontestasi secara terbuka itu tadi.
Maka, membenahi BUMN dengan mewajibkan komisaris dan dewan pengawas setia kepada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah, menunjukkan sekali lagi watak Jokowi yang gandrung pencitraan mengurus Indonesia. Atau, barangkali, itu gula-gula untuk menutupi ketidakmampuannya membereskan republik ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo