Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendapat

Pencopotan Berulang Direktur Pertamina

Melalui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 20 April 2018, Elia Massa Manik akhirnya dicopot dari kursi Direktur Utama Pertamina

26 April 2018 | 07.00 WIB

Elia Massa Manik Direktur Utama Pertamina
Perbesar
Elia Massa Manik Direktur Utama Pertamina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Fahmy Radhi
Pengamat ekonomi energi UGM dan mantan anggota Tim Anti-Mafia Migas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Melalui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 20 April 2018, Elia Massa Manik akhirnya dicopot dari kursi Direktur Utama Pertamina, yang baru didudukinya kurang dari dua tahun. Sebelumnya, Dwi Soetjipto, yang baru menjabat direktur utama kurang dari dua tahun, juga dicopot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kalau indikatornya adalah capaian kinerja, sebetulnya tidak ada alasan untuk mencopot Dwi Soetjipto. Selama kepemimpinannya, Pertamina mencapai kinerja spektakuler. Di tengah turunnya harga minyak dunia, Pertamina bisa meraup laba bersih sekitar US$ 1,83 miliar pada semester pertama 2016 atau naik 221 persen dibanding periode yang sama pada 2015. Tapi, bukan perkara kinerja yang menjadi alasan pencopotannya, melainkan lebih karena ketidakakuran antara dia dan Wakil Direktur Utama Achmad Bambang yang memunculkan "matahari kembar" di Pertamina.

Berbeda dengan Dwi, selama kepemimpinan Elia Masa Manik, kinerja Pertamina cenderung jeblok. Sepanjang 2017, pendapatan Pertamina memang masih meningkat hingga US$ 42,86 miliar atau naik 17 persen dibanding pendapatan pada 2016. Tapi, laba bersih mengalami penurunan, dari US$ 3,15 miliar pada 2016 menjadi US$ 2,4 miliar pada 2017. Menurut Elia, penurunan sebesar 23 persen itu lantaran pemerintah tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) penugasan, Premium, dan solar pada saat harga minyak dunia naik.

Ada beberapa alasan di balik pencopotan Elia. Alasan itu, antara lain, adalah kelangkaan Premium, tidak kunjung tuntasnya pembentukan holding migas, molornya pembangunan kilang minyak, serta bocornya pipa Pertamina yang membawa korban di Balikpapan.

Sesuai dengan instruksi Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik dan harga BBM penugasan hingga akhir 2019. Tujuannya untuk menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan inflasi. Tapi Elia cenderung resistan dan melakukan berbagai manuver melalui corporate action untuk meminimalkan potensi kerugian Pertamina.

Salah satu langkahnya adalah mengurangi pasokan Premium di Jawa, Madura, dan Bali. Memang, pengurangan itu tidak melanggar aturan karena kewajiban menjalankan penugasan BBM hanya di luar tiga pulau itu. Tapi hal itu menyebabkan kelangkaan Premium di tiga pulau.

Kelangkaan Premium belum reda, Pertamina kembali melakukan manuver dengan menaikkan harga Pertalite, dari Rp 7.800 per liter menjadi Rp 8.000 per liter. Kenaikannya hanya Rp 200, tapi hal itu menyebabkan disparitas harga Premium dan Pertalite menjadi semakin menganga, mencapai Rp 1.450 per liter.

Dengan disparitas harga sebesar itu, tidak bisa dihindari terjadi gelombang remigrasi dari Pertalite ke Premium, yang menyebabkan peningkatan permintaan atas Premium. Lantaran Pertamina tidak menambah pasokan, kelangkaan Premium semakin bertambah parah. Jika kelangkaan Premium terus berlanjut, hal itu dapat menimbulkan keresahan di masyarakat.

Namun terlalu seringnya pencopotan Direktur Utama sudah pasti akan sangat mengganggu manajemen Pertamina dalam menjalankan usahanya. Pencopotan itu akan menghambat Pertamina dalam mewujudkan perencanaan strategis, yang biasanya membutuhkan waktu minimal lima tahun.

Ke depan, pergantian direktur utama yang menjabat kurang dari dua tahun sebaiknya dihindari. Untuk itu, perlu dirumuskan sistem penilaian kinerja yang terukur sebagai dasar bagi pemegang saham untuk memutuskan penggantian direktur utama secara lebih transparan dan obyektif. Dengan sistem itu, pertimbangan pergantian lebih karena tidak tercapainya ukuran kinerja, bukan lantaran pertimbangan politik ataupun alasan subyektif lainnya.

Dengan semakin seringnya pencopotan direktur utama dalam waktu singkat, jangan berharap Pertamina bisa menjalankan penugasan dan meraup untuk menyetor dividen kepada negara. Mustahil pula bagi Pertamina menjadi perusahaan minyak dan gas kelas dunia.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus